Ekonom Sebut Ekonomi Digital Salah Satu Sumber Kebocoran Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Sektor ekonomi digital dinilai sebagai salah satu sumber kebocoran ekonomi. Hal ini pula yang menyebabkan rasio pajak Indonesia seacara luas mandek di angka 11%.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, salah satu titik kebocoran rendahnya rasio pajak adalah kegiatan ekonomi yang tidak masuk dalam pencatatan produk domestik bruto (PDB) atau shadow economy. Dari data Schneider, Buehn dan Montnegro sejak 1999-2003, ada 18,9% kegiatan ekonomi Indonesia yang tidak tercatat di PDB. Darussalam menyebut, salah satu contoh shadow economy adalah kegiatan ekonomi digital. Menurutnya, sektor ini masih sulit untuk dipajaki.
"Kebocoran dari PDB kita ini angka yang bisa dicatat bagaimana dengan shadow economy, dan ekonomi informal. Kalau bicara angka shadow economy dari tahun 1999-2003 angkanya 18,9% tidak tercatat di PDB. Kalau tidak tercatat maka tidak bisa dipajaki, contohnya angka di shadow economy termasuk fenomena digital ekonomi," ujar Darussalam di Jakarta, Kamis (4/4/2019)
Darussalam pun menyayangkan keputusan pemerintah yang mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Padahal menurutnya, cara yang ada dalam beleid tersebut cukup baik untuk mencatat ekonomi digital dalam PDB.
"Padahal pajak yang diatur dalam PMK 210 ini cara berpikrinya bagus. Sebab secara ekonomi digital ini susah dipajaki, makanya pemerintah berkepentingan ambil data pajak. Jadi ada kepenting marketplace memberi data ke pemerintah, ini salah satu upaya kurangi shadow economy," jelasnya.
Selain itu, Darussalam pun menganggap aturan pajak digital itu bukanlah suatu yang baru. Adapun tujuan utama dari aturan pajak e-commerce tersebut sebenarnya hanya ingin menciptakan level yang sama dengan dunia konvensional (level of playing field).
"Saya menyayangkan ini dicabut. Di samping ambil data, tapi tidak ada peraturan pajak yang berbeda dengan transaksi konvensional dan digital. Makanya perbedaannya bagaimana data ini bisa ter-record," kata dia.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, keputusan pemerintah untuk mencabut PMK 210/2018 karena belum matangnya pembicaraan dengan semua pihak. Untuk itu, jalan terbaiknya adalah memang menunda atau mencabut PMK tersebut. "Harusnya kan ada aturan dulu," tambahnya.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, salah satu titik kebocoran rendahnya rasio pajak adalah kegiatan ekonomi yang tidak masuk dalam pencatatan produk domestik bruto (PDB) atau shadow economy. Dari data Schneider, Buehn dan Montnegro sejak 1999-2003, ada 18,9% kegiatan ekonomi Indonesia yang tidak tercatat di PDB. Darussalam menyebut, salah satu contoh shadow economy adalah kegiatan ekonomi digital. Menurutnya, sektor ini masih sulit untuk dipajaki.
"Kebocoran dari PDB kita ini angka yang bisa dicatat bagaimana dengan shadow economy, dan ekonomi informal. Kalau bicara angka shadow economy dari tahun 1999-2003 angkanya 18,9% tidak tercatat di PDB. Kalau tidak tercatat maka tidak bisa dipajaki, contohnya angka di shadow economy termasuk fenomena digital ekonomi," ujar Darussalam di Jakarta, Kamis (4/4/2019)
Darussalam pun menyayangkan keputusan pemerintah yang mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Padahal menurutnya, cara yang ada dalam beleid tersebut cukup baik untuk mencatat ekonomi digital dalam PDB.
"Padahal pajak yang diatur dalam PMK 210 ini cara berpikrinya bagus. Sebab secara ekonomi digital ini susah dipajaki, makanya pemerintah berkepentingan ambil data pajak. Jadi ada kepenting marketplace memberi data ke pemerintah, ini salah satu upaya kurangi shadow economy," jelasnya.
Selain itu, Darussalam pun menganggap aturan pajak digital itu bukanlah suatu yang baru. Adapun tujuan utama dari aturan pajak e-commerce tersebut sebenarnya hanya ingin menciptakan level yang sama dengan dunia konvensional (level of playing field).
"Saya menyayangkan ini dicabut. Di samping ambil data, tapi tidak ada peraturan pajak yang berbeda dengan transaksi konvensional dan digital. Makanya perbedaannya bagaimana data ini bisa ter-record," kata dia.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, keputusan pemerintah untuk mencabut PMK 210/2018 karena belum matangnya pembicaraan dengan semua pihak. Untuk itu, jalan terbaiknya adalah memang menunda atau mencabut PMK tersebut. "Harusnya kan ada aturan dulu," tambahnya.
(fjo)