Nanang Abdul Manaf, Ingat Pengalaman Menegangkan di Libya

Kamis, 11 April 2019 - 14:30 WIB
Nanang Abdul Manaf, Ingat Pengalaman Menegangkan di Libya
Nanang Abdul Manaf, Ingat Pengalaman Menegangkan di Libya
A A A
SEBAGAI pegawai karier yang menapaki berbagai jabatan di PT Pertamina (Persero), Nanang Abdul Manaf bisa dibilang sudah kenyang dengan pengalaman di lapangan.

Namun, dari berbagai pengalaman lapangan dan posisi yang disandangnya, menjadi General Manajer Proyek EP, Pertamina EP Libya, bisa jadi yang paling diingat. Di sana, dia harus memimpin proyek namun ‘terpaksa’ pulang ke Indonesia lebih cepat karena kisruh politik di negara itu. “Ya, saya waktu itu ikut siap saja mau penempatan di mana dan kapan pun segera saya sanggupi. Tahu-tahu dapat tempat di Libya. Besoknya langsung terbang tanpa basa-basi,” ungkapnya.

Bertugas di Libya, tepatnya di Kota Tripoli, awalnya biasa saja dan menjadi kepuasan tersendiri bagi Nanang. Libya bagi Nanang adalah negara besar dengan potensi sangat besar. Bagaimana tidak, masa itu adalah masa-masa Libya membangun infrastruktur di kota-kota besarnya di bawah kepemimpinan Moammar Khaddafi.

“Negara ini bagaimana tidak kaya, minyaknya per hari saja bisa capai produksi 1,7 juta per barel. Sedang kan penduduknya cuma 7 juta orang, waktu itu 2009, harga minyak masih di atas USD100. Gasnya bisa 1 billion kubik feet. Dengan kata lain, selama setahun negara itu bisa mengumpulkan dana USD90 miliar,” ungkapnya.

Karena potensi minyak yang besar, Pertamina pun membuka jaringan tak jauh dari lokasi proyek raksasa milik Moammar Khaddafi dikomandoi Nanang Abdul Manaf. Namun, memasuki tahun 2011, bermula dari efek berantai Arab Springs, Libya pun dilanda kekacauan mencekam tidak hanya bagi warganya namun bagi para pendatang di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

“Di Libya itu, total pekerja Indonesia hampir seribu orang. Saya termasuk di dalamnya ketika kekacauan terjadi semua sudah panik. Bandara sudah disterilkan. Akhirnya saya dari Pertamina sisa bertiga, selebihnya para pekerja dan mahasiswa yang ada di Libya. Waktu kekacauan, kami semua bertahan di Kedutaan Besar Indonesia,” ucapnya.

Saat hendak kembali ke Tanah Air pun tidaklah mudah. Nanang bersama warga Indonesia lainnya harus bersabar menunggu kepastian berangkat dengan pesawat selama 40 jam di Bandara Tripoli. Lapar, haus, gelisah, bercampur menjadi satu. Maklum, kendati sudah berada di bandara, jangankan mendapat kepastian jam berangkat, informasi ada atau tidaknya pesawat yang bisa mengangkut saja masih belum jelas.

“Tapi, karena saya juga leader di sana, ya sudah mau tak mau saya harus berani. Kita kompak kerja sama dan saling berbagi,” ujarnya.

Namun, masa-masa sulit itu akhirnya terlewati juga. Sebab pada akhirnya ada pesawat yang bisa ditumpangi orang-orang Indonesia untuk pulang. “Ya sudah, akhirnya saya disambut Ibu Karen waktu itu pimpinan Pertamina. Ya bisa dibayangkan, rasa lapar itu sudah biasa tertahankan di tengah suasana mencekam,” katanya.

Berorganisasi
Kini dengan posisinya sebagai orang nomor satu di Pertamina EP, Nanang berharap bisa terus berkontribusi pada negara melalui industri perminyakan yang digelutinya. Pria kelahiran 6 Februari 1964 itu pun ingin memanfaatkan pengalaman dan jaringannya mengembangkan industri perminyakan di masa mendatang.Terkait hal itu, Nanang juga aktif berorganisasi di sela-sela kesibukannya di kantor. Menurutnya, berorganisasi adalah salah satu cara untuk saling bertukar pikiran bersama teman sejawat di industri.

Dari sana, dia bisa mendapatkan banyak masukkan dari sesama pemain industri migas, baik dari dalam maupun luar negeri. “Kalau hanya dunianya kerja dan rumah, itu tidak akan cukup. Lebih menjaga jaringan dan pertemanan, bagus juga untuk mendukung pekerjaan,” kata salah satu Dewan Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) itu.

Di organisasi lainnya, Nanang juga baru saja ditunjuk menjadi Ketua Alumni Teknik Geologi ITB. Di organisasi ini, Nanang mengaku banyak bertemu kawankawannya semasa di kampus dulu.

Hal lebih menyenangkan karena ilmu geologi itu cakupannya luas, Nanang bisa bertukar pengalaman dengan rekan-rekannya sesama ITB yang berkarier di luar industri perminyakan. “Kan ada yang di pertambangan, pemerintahan, di migas juga, jadi informasinya banyak,” kata dia. (Ichsan Amin/Yanto Kusdiantono)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3895 seconds (0.1#10.140)