Garuda: Pengakuan Pendapatan dalam Piutang Lazim Dilakukan Korporasi
A
A
A
JAKARTA - Pengakuan pendapatan dalam bentuk piutang merupakan hal lazim dilakukan dalam praktik korporasi. Tentu saja, korporasi mencatatkan pendapatan dalam bentuk piutang tersebut dengan memerhatikan norma Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK.
Pengamat pasar modal, Muhyil Rgina, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (30/4/2019), mengatakan, laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Dia menilai, laporan keuangan GIAA sudah melalui proses audit oleh kantor akuntan publik dan disampaikan dalam rapat umum pemegang saham pekan lalu.
"KAP yang mengaudit tentunya sudah melaksanakan norma pemeriksaan sebaik-baiknya mengingat hal itu berkait dengan reputasi mereka. Tentu semua pihak juga perlu mempertimbangkan Garuda sebagai maskapai nasional dengan reputasi global yang dalam waktu enam bulan terakhir menunjukkan perbaikan kinerja signifikan berkat inovasi-inovasi tim manajemen baru," ujar Muhyil.
Seperti diketahui, sepekan terakhir, GIAA dilanda kampanye negatif berkait penolakan dua komisaris menandatangani laporan keuangan yang disampaikan dalam RUPS perseroan di Jakarta, pekan lalu. Laporan keuangan tersebut diaudit oleh KAP Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan, yang merupakan anggota BOD Internasional dan masuk dalam lima besar firma akuntan publik global.
GIAA mencatat pendapatan usaha tahun 2018 sebesar USD4,37 miliar dan laba tahun berjalan senilai USD5,02 juta. Kinerja GIAA membaik setelah manajemen melakukan sejumlah upaya untuk membenahi kondisi internal perseroan, antara lain efisiensi dan optimalisasi internal korporasi. Pada 2017, GIAA masih merugi USD213,39 juta.
Laporan keuangan ini ditolak Chairal Tanjung, yang mewakili PT Trans Airways, dan Dony Oskaria, yang mewakili Finegold Resources Ltd. Keduanya menolak piutang dari hasil kerja sama PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018 dicatat sebagai pendapatan dalam laporan keuangan GIAA.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, mempertanyakan kenapa hal tersebut dipersoalkan. Dia menegaskan, laporan keuangan GIAA sudah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga independen yang mengawasi pasar modal dan perbankan, sebelum manajemen menyampaikan ke publik dalam RUPS.
"OJK sudah setuju dan laporan ini diaudit KAP ternama," ujar Rini pekan lalu.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Yunanto, menilai, polemik laporan keuangan GIAA bisa dikatakan sebagai upaya mendelegitimasi inovasi-inovasi tim manajemen di bawah kepimpinan I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra.
Dia menyayangkan jika kondisi ini sampai mengabaikan berbagai prestasi perseroan atas kinerja positif tim manajamen dan seluruh karyawan GIAA.
"Sebaiknya manajemen Garuda Indonesia lebih fokus mengimplementasikan rencana-rencana kerja ke depan. Tentu itu lebih baik agar kinerja keuangan dan pelayanan maskapai terbesar Indonesia ini bisa semakin positif lagi," ujar Yunanto di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Pengamat pasar modal, Muhyil Rgina, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (30/4/2019), mengatakan, laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Dia menilai, laporan keuangan GIAA sudah melalui proses audit oleh kantor akuntan publik dan disampaikan dalam rapat umum pemegang saham pekan lalu.
"KAP yang mengaudit tentunya sudah melaksanakan norma pemeriksaan sebaik-baiknya mengingat hal itu berkait dengan reputasi mereka. Tentu semua pihak juga perlu mempertimbangkan Garuda sebagai maskapai nasional dengan reputasi global yang dalam waktu enam bulan terakhir menunjukkan perbaikan kinerja signifikan berkat inovasi-inovasi tim manajemen baru," ujar Muhyil.
Seperti diketahui, sepekan terakhir, GIAA dilanda kampanye negatif berkait penolakan dua komisaris menandatangani laporan keuangan yang disampaikan dalam RUPS perseroan di Jakarta, pekan lalu. Laporan keuangan tersebut diaudit oleh KAP Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan, yang merupakan anggota BOD Internasional dan masuk dalam lima besar firma akuntan publik global.
GIAA mencatat pendapatan usaha tahun 2018 sebesar USD4,37 miliar dan laba tahun berjalan senilai USD5,02 juta. Kinerja GIAA membaik setelah manajemen melakukan sejumlah upaya untuk membenahi kondisi internal perseroan, antara lain efisiensi dan optimalisasi internal korporasi. Pada 2017, GIAA masih merugi USD213,39 juta.
Laporan keuangan ini ditolak Chairal Tanjung, yang mewakili PT Trans Airways, dan Dony Oskaria, yang mewakili Finegold Resources Ltd. Keduanya menolak piutang dari hasil kerja sama PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018 dicatat sebagai pendapatan dalam laporan keuangan GIAA.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, mempertanyakan kenapa hal tersebut dipersoalkan. Dia menegaskan, laporan keuangan GIAA sudah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga independen yang mengawasi pasar modal dan perbankan, sebelum manajemen menyampaikan ke publik dalam RUPS.
"OJK sudah setuju dan laporan ini diaudit KAP ternama," ujar Rini pekan lalu.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Yunanto, menilai, polemik laporan keuangan GIAA bisa dikatakan sebagai upaya mendelegitimasi inovasi-inovasi tim manajemen di bawah kepimpinan I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra.
Dia menyayangkan jika kondisi ini sampai mengabaikan berbagai prestasi perseroan atas kinerja positif tim manajamen dan seluruh karyawan GIAA.
"Sebaiknya manajemen Garuda Indonesia lebih fokus mengimplementasikan rencana-rencana kerja ke depan. Tentu itu lebih baik agar kinerja keuangan dan pelayanan maskapai terbesar Indonesia ini bisa semakin positif lagi," ujar Yunanto di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
(ven)