KKP-Kementan Kolaborasi Kembangkan Budidaya Padi dan Udang Windu
A
A
A
JAKARTA - Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan Kementerian Pertanian melakukan inovasi Teknologi Adaptif Perikanan Mina Padi Air Payau (Intan-AP) dan padi udang windu (Pandu) di lahan menganggur di Dusun Uring, Kecamatan Soppengriaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Teknologi ini sangat menarik dan baru, karena menggabungkan udang windu yang biasanya hidup di wilayah laut dengan padi yang biasanya hidup di air tawar.
"Ternyata dengan teknologi mereka bisa didekatkan. Padi dengan varietas khusus yang mampu bertahan dengan air payau sampai 10 ppt. Kemudian udang windu yang tadinya 45 ppt bisa diturunkan menjadi 10 ppt. Setelah panen pertama berhasil, panen kedua ini luar biasa, berhasil juga. Jadi kita lihat teknologi ini sudah mapan untuk bisa dikembangkan di masyarakat secara luas," Kepala BRSDM Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja, Senin (6/5/2019).
Panen ini dilakukan di lahan sekitar 1 hektar (30% untuk udang dan 70% untuk lahan padi). Lahan tersebut merupakan lahan persawahan milik kelompok masyarakat yang sudah ditinggalkan kurang lebih 10 tahun karena dianggap tidak produktif.
Intan-AP Pandu merupakan integrasi teknologi budidaya udang windu dengan padi varietas toleran salin untuk memanfaatkan potensi lahan idle yang disebabkan oleh intrusi air laut.
Kegiatan riset ini diinisiasi Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) pada tahun 2018 melalui sinergitas riset antara Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) Kementerian Pertanian (Kementan).
Dijelaskan bahwa tokolan udang windu yang digunakan adalah hasil riset perakitan strain udang windu unggul BRPBAP3, sedangkan varietas padi toleran salin yang digunakan adalah Inpari 34 dan 35 yang merupakan hasil riset perakitan varietas BBPadi.
"Perbaikan teknologi budidaya mina padi air payau pada tahun ini yaitu pencegahan serangan hama pada tanaman padi tidak lagi menggunakan pestisida kimia. Namun menggunakan bio pestisida atau pestisida nabati yang aman bagi kehidupan udang dan ramah lingkungan. Keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada pemeliharaan dan manajemen lingkungan yang sesuai untuk kehidupan udang windu dan padi karena udang windu dan padi mempunyai toleransi salinitas yang berbeda," terang Sjarief.
Ia juga mengatakan, keberhasilan Intan-AP Pandu serta pengembangan dan keberlanjutan teknologi ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah.
Senada dengan Sjarief, Sulkaf S Latief selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), menyampaikan kegiatan ini mendukung Program Gubernur Sulsel bagi Kebangkitan Udang Windu di Sulawesi Selatan.
"Ini sejalan dengan perintah gubernur di sektor kelautan dan perikanan bahwa kita harus mempertahankan udang windu yang merupakan (spesies) asli Indonesia. Dengan bantuan semua stakeholder, terutama KKP yang mendorong Sulsel untuk mengembangkan udang windu, tahun depan insya Allah, kita dapat menaikan produksi udang windu," ujar Sulkaf.
Lebih lanjut, pihaknya menyampaikan akan ada beberapa daerah yang akan menjadi wilayah pengembangan udang windu di Sulsel untuk meningkatkan produksi di antaranya Barru, Pinrang, Bone, Bajo, Talakalar, Bulukumba, dan Sinjai.
Hal ini diharapkan agar kajian riset Intan-AP Pandu dapat menjadi informasi yang berguna bagi masyarakat dalam pemanfaatan lahan yang tidak termanfaatkan secara optimal akibat adanya interusi air laut.
Berdasarkan hasil panen, lahan idle dengan teknologi Intan-AP Pandu mampu menghasilkan beras 2,5 ton (lahan 0,7 hektar) dan 216 kilogram udang (lahan 0,3 hektar), dalam satu kali masa tanam.
Dengan harga pasaran udang Rp75.000 per kg serta harga beras Rp4.000 per kg, pembudidaya minapadi mampu mendapatkan hasil senilai Rp26 juta dalam satu kali masa tanam.
Sebelumnya, riset teknologi budidaya minapadi air payau telah diujicobakan pada musim kemarau dan musim penghujan. Berdasarkan hasil percontohan di lokasi ini, potensi produksi udang adalah 216 kg per lahan minapadi dengan padat tebar 4 ekor per m², sedangkan produksi padi adalah 2.450 kg per lahan minapadi.
Hasil riset ini juga merupakan bagian dari perwujudan program BRSDM dalam menciptakan desa inovasi digital 4.0 di sejumlah daerah. Di mana sebelumnya BRSDM telah mengembangkan desa inovasi digital 4.0 di Kampung Gabus di Ciseeng, Kampung Sidat di Cilacap, Jawa Tengah dan Kampung Nila di Sleman Yogyakarta.
Teknologi ini sangat menarik dan baru, karena menggabungkan udang windu yang biasanya hidup di wilayah laut dengan padi yang biasanya hidup di air tawar.
"Ternyata dengan teknologi mereka bisa didekatkan. Padi dengan varietas khusus yang mampu bertahan dengan air payau sampai 10 ppt. Kemudian udang windu yang tadinya 45 ppt bisa diturunkan menjadi 10 ppt. Setelah panen pertama berhasil, panen kedua ini luar biasa, berhasil juga. Jadi kita lihat teknologi ini sudah mapan untuk bisa dikembangkan di masyarakat secara luas," Kepala BRSDM Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja, Senin (6/5/2019).
Panen ini dilakukan di lahan sekitar 1 hektar (30% untuk udang dan 70% untuk lahan padi). Lahan tersebut merupakan lahan persawahan milik kelompok masyarakat yang sudah ditinggalkan kurang lebih 10 tahun karena dianggap tidak produktif.
Intan-AP Pandu merupakan integrasi teknologi budidaya udang windu dengan padi varietas toleran salin untuk memanfaatkan potensi lahan idle yang disebabkan oleh intrusi air laut.
Kegiatan riset ini diinisiasi Pusat Riset Perikanan (Pusriskan) pada tahun 2018 melalui sinergitas riset antara Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) Kementerian Pertanian (Kementan).
Dijelaskan bahwa tokolan udang windu yang digunakan adalah hasil riset perakitan strain udang windu unggul BRPBAP3, sedangkan varietas padi toleran salin yang digunakan adalah Inpari 34 dan 35 yang merupakan hasil riset perakitan varietas BBPadi.
"Perbaikan teknologi budidaya mina padi air payau pada tahun ini yaitu pencegahan serangan hama pada tanaman padi tidak lagi menggunakan pestisida kimia. Namun menggunakan bio pestisida atau pestisida nabati yang aman bagi kehidupan udang dan ramah lingkungan. Keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada pemeliharaan dan manajemen lingkungan yang sesuai untuk kehidupan udang windu dan padi karena udang windu dan padi mempunyai toleransi salinitas yang berbeda," terang Sjarief.
Ia juga mengatakan, keberhasilan Intan-AP Pandu serta pengembangan dan keberlanjutan teknologi ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah.
Senada dengan Sjarief, Sulkaf S Latief selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), menyampaikan kegiatan ini mendukung Program Gubernur Sulsel bagi Kebangkitan Udang Windu di Sulawesi Selatan.
"Ini sejalan dengan perintah gubernur di sektor kelautan dan perikanan bahwa kita harus mempertahankan udang windu yang merupakan (spesies) asli Indonesia. Dengan bantuan semua stakeholder, terutama KKP yang mendorong Sulsel untuk mengembangkan udang windu, tahun depan insya Allah, kita dapat menaikan produksi udang windu," ujar Sulkaf.
Lebih lanjut, pihaknya menyampaikan akan ada beberapa daerah yang akan menjadi wilayah pengembangan udang windu di Sulsel untuk meningkatkan produksi di antaranya Barru, Pinrang, Bone, Bajo, Talakalar, Bulukumba, dan Sinjai.
Hal ini diharapkan agar kajian riset Intan-AP Pandu dapat menjadi informasi yang berguna bagi masyarakat dalam pemanfaatan lahan yang tidak termanfaatkan secara optimal akibat adanya interusi air laut.
Berdasarkan hasil panen, lahan idle dengan teknologi Intan-AP Pandu mampu menghasilkan beras 2,5 ton (lahan 0,7 hektar) dan 216 kilogram udang (lahan 0,3 hektar), dalam satu kali masa tanam.
Dengan harga pasaran udang Rp75.000 per kg serta harga beras Rp4.000 per kg, pembudidaya minapadi mampu mendapatkan hasil senilai Rp26 juta dalam satu kali masa tanam.
Sebelumnya, riset teknologi budidaya minapadi air payau telah diujicobakan pada musim kemarau dan musim penghujan. Berdasarkan hasil percontohan di lokasi ini, potensi produksi udang adalah 216 kg per lahan minapadi dengan padat tebar 4 ekor per m², sedangkan produksi padi adalah 2.450 kg per lahan minapadi.
Hasil riset ini juga merupakan bagian dari perwujudan program BRSDM dalam menciptakan desa inovasi digital 4.0 di sejumlah daerah. Di mana sebelumnya BRSDM telah mengembangkan desa inovasi digital 4.0 di Kampung Gabus di Ciseeng, Kampung Sidat di Cilacap, Jawa Tengah dan Kampung Nila di Sleman Yogyakarta.
(ven)