Richard Mille Tak Berhenti Berkreasi Demi Ambisi
A
A
A
DESAINER dan pembuat jam tangan Richard Mille berambisi terus berkreasi hingga berusia 120 tahun.
Seperti apa kisahnya membuat jam yang paling prestisius saat ini? Usia bukan halangan untuk berkreasi. Tanyakan hal itu kepada pria bernama Richard Mille. Di usia 50 tahun, Richad Mille seharusnya sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Di usia itu pria Prancis yang lahir satu hari sebelum hari Valentine pada 68 tahun lalu itu sudah memiliki segalanya. Saat itu dia sudah menjadi seorang CEO di perusahaan perhiasan Prancis, Maubussin.
Di tangannya, Mauboussin menjelma menjadi sebuah perusahaan perhiasan yang sangat terkenal di Prancis. Saat itu dia memang sudah berhasil memiliki segalanya. Kekayaan dan harta melimpah sudah dicicipinya di usia itu.
Namun, di balik keberhasilan itu, Richard Mille selalu terkenang akan ayahnya yang seorang akuntan. Setiap hari dia terbayang ayahnya yang bekerja keras untuk mendukung kehidupan keluarga kecil Richard Mille.
Saking gigihnya, figur ayah jadi sosok yang sangat penting buat Richard Mille. Namun, Richard Mille tahu di balik kegigihan sikapnya, ada satu hal yang selalu membuat ayahnya kerap diam terpaku.
Hatinya seolah tidak ada di ruang keluarga, tapi berpetualang entah ke mana. “Dia seorang akuntan, padahal saya sangat tahu dia sangat ingin menjadi seorang pelaut. Dia ingin berpetualang ke mana saja yang dia suka.
Saat itu bekerja di balik meja buat keluarga bagi pria Prancis adalah perjuangan, sekaligus pengorbanan,” ucap Richard Mille. Dari situlah Richard Mille bertekad melepas jabatannya di Mauboussin.
Dia tidak ingin terus-terus terjebak dalam rutinitas yang memang tidak dia suka. Meski umurnya tak lagi muda, dia percaya kali ini dia harus mewujudkan mimpinya sejak dulu, yaitu membuat jam bikinannya sendiri.
Kecintaan Richard Mille pada jam juga berawal dari ayahnya. Waktu itu ayahnya, yang sudah bekerja keras setiap hari, membelikan satu jam tangan buatnya. Melihat jam tangan itu, Richard Mille senang bukan kepalang.
Setiap hari tangannya tidak pernah lepas dari jam tangan hadiah sang ayah. Berawal dari senang, benak Richard Mille kemudian bergerak liar. Dia yakin suatu saat dia akan mampu membuat jam tangan sendiri.
Seperti ayahnya, dia ingin orang-orang yang mengenakan jam tangannya akan merasa istimewa dan bahagia. Tujuan inilah yang kemudian membuat Richard Mille sempat masuk ke dalam bisnis jam tangan.
Pada usia 23 tahun dia bekerja di sebuah perusahaan jam tangan lokal Prancis, Finhor. Selama tujuh tahun dia bekerja di perusahaan tersebut. Dia bahkan tetap dipertahankan ketika perusahaan besar Prancis, Matra mengakuisisi Finhor.
Waktu itu Matra berencana memiliki anak perusahaan yang bergerak di bisnis jam tangan. Inilah mengapa Richard Mille tetap dibawa saat Finhor bergabung dengan Matra.
Sayangnya Matra justru sudah angkat tangan ketika mereka melihat bisnis ini sama sekali tidak menguntungkan buat mereka dan menjualnya ke Seiko. Momen itulah yang membuat Richard Mille sempat patah arang di bisnis jam tangan.
Dia akhirnya pindah ke bisnis perhiasan bersama Mauboussin yang kemudian mengantarnya di posisi tertinggi di perusahaan perhiasan Prancis itu. “Suatu saat ketika saya bermain golf, seorang teman menanyakan lagi apa yang saya inginkan di usia yang tidak muda ini.
Saya bilang kepadanya saya selalu bercita-cita membuat jam. Dia mengatakan, maka lakukanlah,” kenang Richard Mille. Seolah tersetrum arus listrik ratusan volt, Richard Mille kembali berupaya mewujudkan mimpinya yang tertinggal.
Tak tanggung-tanggung dia mempertaruhkan seluruh harta kekayaannya sebagai modal usaha itu. Beberapa orang teman dekatnya justru keheranan dengan kenekatan itu.
Mereka kaget karena bermain di bisnis jam tangan premium bukanlah perkara mudah. Di dunia itu sudah banyak pemain besar yang memiliki tradisi sangat panjang hingga ratusan tahun, seperti Audemars Piguet, Pattek Philippe, Blancpain hingga Rolex.
Bagaimana bisa seorang pria Prancis mau menyaingi mereka hanya bermodalkan kecintaannya pada jam tangan? Tidak ambil pusing, Richard Mille langsung membentuk sebuah tim yang terdiri dari anak-anak muda yang punya cita-cita sama, membuat jam terbaik yang pernah ada.
Mereka kemudian sama-sama pindah ke Swiss, tempat di mana jam-jam terbaik dibuat. “Saya ingin membuat sebuah jam tangan yang powerful seperti mobil Formula 1,” sesumbar Richard Mille.
Untuk memenangi persaingan, Richard Mille sadar bahwa jam buatannya tidak punya sejarah. Desain juga tidak bisa diandalkan karena setiap jam tangan yang ada sekarang saat ini memiliki desain yang abadi.
Namun, hal itu dianggapnya sebagai sebuah peluang. Dia melihat saat ini jam tangan premium berada di dunia yang konservatif. Para pemainnya tidak berani keluar dari pakem yang ada.
Richard Mille mencoba membuat jam tangan yang unik dan mampu beradaptasi dengan zaman. Tapi itu tidak cukup karena dia perlu senjata lainnya, yakni terobosan.
Waktu itu dia pernah mendengar petenis Spanyol Rafael Nadal enggan menggunakan jam tangan saat bermain tenis karena selalu rusak saat dikenakan. Jangankan bertanding, saat berlatih saja dia selalu melepas jam tangannya.
“Saat itu jam tangan tourbillon tidak bisa digunakan untuk berolahraga. Saya ingin membuktikan itu salah,” ucapnya. Setelah melalui beberapa percobaan, akhirnya Richard Mille bisa membuat sebuah prototipe jam buatannya yang berkode RM001 Tourbillon.
Saat itu dia langsung meminta bantuan salah seorang rekannya yang sudah lama bermain jam tangan, Dominique Guenat. Bersama-sama Guenat, Richard Mille akhirnya berhasil meluncurkan secara resmi jam buatannya, RM001 Tourbillon, ke pasar bebas.
Saat peluncuran, Richard Mille bahkan membuat sebuah slogan yang sesuai dengan ambisinya dalam membuat jam, yakni “A Racing Machine on a Wrist”. Ya akhirnya ada jam tangan yang sama powerful-nya dengan mobil Formula 1.
Demi eksklusivitas, mereka hanya merilis 14 jam tangan yang uniknya berhasil membuat dunia geger. Jam tangan itu terbukti sangat reliable digunakan di mana saja dan kapan saja. Bahkan saat berolahraga ekstrem.
Rafael Nadal bahkan sangat bangga menggunakan jam tangan ini saat bermain tenis. Jam tangan yang supermencolok itu kini bahkan menjadi trademark dari dewa-dewi olahraga dunia.
Beberapa juara dunia telah masuk dalam lingkungan keluarga Richard Mille. Sampai-sampai setiap juara cabang olahraga dunia begitu waswas ketika Richard Mille mengawasi pertandingan atau perlombaan mereka.
Ini yang dialami oleh Mark Cavendish, pembalap sepeda profesional yang langsung gemetar ketika bertemu Richard Mille. “Saya seperti bertemu artis besar. Saya sempat tidak yakin ketika dia memberikan jam tangan ini kepada saya,” ujar Mark Cavendish.
Bagi Richard Mille, jam tangan yang dia buat memang awalnya dibuat sebagai teman sejalan dalam perjuangan. Menurutnya, setiap orang yang berjuang dalam bidang apa pun akan mengingat momen-momen di mana mereka berhasil meraih kejayaan atau kekalahan.
Di situlah waktu akan menjadi terasa berharga karena semuanya akan cepat berlalu. “Membaca waktu yang tepat itu tidak mudah dipelajari. Karena biasanya pelajaran memang selalu datang terlambat,” ucapnya.
Inilah mengapa dia terus berupaya membuat terobosan-terobosan baru untuk Richard Mille. Termasuk kerja samanya dengan perusahaan automotif McLaren dalam membuat jam baru.
“Jika mungkin saya ingin hidup sama 120 tahun. Tentu saja saya ingin terus berkreasi hingga 120 tahun. Karena masa depan brand ini tidak berhenti di sini saja,” sebutnya. (Wahyu Sibarani)
Seperti apa kisahnya membuat jam yang paling prestisius saat ini? Usia bukan halangan untuk berkreasi. Tanyakan hal itu kepada pria bernama Richard Mille. Di usia 50 tahun, Richad Mille seharusnya sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Di usia itu pria Prancis yang lahir satu hari sebelum hari Valentine pada 68 tahun lalu itu sudah memiliki segalanya. Saat itu dia sudah menjadi seorang CEO di perusahaan perhiasan Prancis, Maubussin.
Di tangannya, Mauboussin menjelma menjadi sebuah perusahaan perhiasan yang sangat terkenal di Prancis. Saat itu dia memang sudah berhasil memiliki segalanya. Kekayaan dan harta melimpah sudah dicicipinya di usia itu.
Namun, di balik keberhasilan itu, Richard Mille selalu terkenang akan ayahnya yang seorang akuntan. Setiap hari dia terbayang ayahnya yang bekerja keras untuk mendukung kehidupan keluarga kecil Richard Mille.
Saking gigihnya, figur ayah jadi sosok yang sangat penting buat Richard Mille. Namun, Richard Mille tahu di balik kegigihan sikapnya, ada satu hal yang selalu membuat ayahnya kerap diam terpaku.
Hatinya seolah tidak ada di ruang keluarga, tapi berpetualang entah ke mana. “Dia seorang akuntan, padahal saya sangat tahu dia sangat ingin menjadi seorang pelaut. Dia ingin berpetualang ke mana saja yang dia suka.
Saat itu bekerja di balik meja buat keluarga bagi pria Prancis adalah perjuangan, sekaligus pengorbanan,” ucap Richard Mille. Dari situlah Richard Mille bertekad melepas jabatannya di Mauboussin.
Dia tidak ingin terus-terus terjebak dalam rutinitas yang memang tidak dia suka. Meski umurnya tak lagi muda, dia percaya kali ini dia harus mewujudkan mimpinya sejak dulu, yaitu membuat jam bikinannya sendiri.
Kecintaan Richard Mille pada jam juga berawal dari ayahnya. Waktu itu ayahnya, yang sudah bekerja keras setiap hari, membelikan satu jam tangan buatnya. Melihat jam tangan itu, Richard Mille senang bukan kepalang.
Setiap hari tangannya tidak pernah lepas dari jam tangan hadiah sang ayah. Berawal dari senang, benak Richard Mille kemudian bergerak liar. Dia yakin suatu saat dia akan mampu membuat jam tangan sendiri.
Seperti ayahnya, dia ingin orang-orang yang mengenakan jam tangannya akan merasa istimewa dan bahagia. Tujuan inilah yang kemudian membuat Richard Mille sempat masuk ke dalam bisnis jam tangan.
Pada usia 23 tahun dia bekerja di sebuah perusahaan jam tangan lokal Prancis, Finhor. Selama tujuh tahun dia bekerja di perusahaan tersebut. Dia bahkan tetap dipertahankan ketika perusahaan besar Prancis, Matra mengakuisisi Finhor.
Waktu itu Matra berencana memiliki anak perusahaan yang bergerak di bisnis jam tangan. Inilah mengapa Richard Mille tetap dibawa saat Finhor bergabung dengan Matra.
Sayangnya Matra justru sudah angkat tangan ketika mereka melihat bisnis ini sama sekali tidak menguntungkan buat mereka dan menjualnya ke Seiko. Momen itulah yang membuat Richard Mille sempat patah arang di bisnis jam tangan.
Dia akhirnya pindah ke bisnis perhiasan bersama Mauboussin yang kemudian mengantarnya di posisi tertinggi di perusahaan perhiasan Prancis itu. “Suatu saat ketika saya bermain golf, seorang teman menanyakan lagi apa yang saya inginkan di usia yang tidak muda ini.
Saya bilang kepadanya saya selalu bercita-cita membuat jam. Dia mengatakan, maka lakukanlah,” kenang Richard Mille. Seolah tersetrum arus listrik ratusan volt, Richard Mille kembali berupaya mewujudkan mimpinya yang tertinggal.
Tak tanggung-tanggung dia mempertaruhkan seluruh harta kekayaannya sebagai modal usaha itu. Beberapa orang teman dekatnya justru keheranan dengan kenekatan itu.
Mereka kaget karena bermain di bisnis jam tangan premium bukanlah perkara mudah. Di dunia itu sudah banyak pemain besar yang memiliki tradisi sangat panjang hingga ratusan tahun, seperti Audemars Piguet, Pattek Philippe, Blancpain hingga Rolex.
Bagaimana bisa seorang pria Prancis mau menyaingi mereka hanya bermodalkan kecintaannya pada jam tangan? Tidak ambil pusing, Richard Mille langsung membentuk sebuah tim yang terdiri dari anak-anak muda yang punya cita-cita sama, membuat jam terbaik yang pernah ada.
Mereka kemudian sama-sama pindah ke Swiss, tempat di mana jam-jam terbaik dibuat. “Saya ingin membuat sebuah jam tangan yang powerful seperti mobil Formula 1,” sesumbar Richard Mille.
Untuk memenangi persaingan, Richard Mille sadar bahwa jam buatannya tidak punya sejarah. Desain juga tidak bisa diandalkan karena setiap jam tangan yang ada sekarang saat ini memiliki desain yang abadi.
Namun, hal itu dianggapnya sebagai sebuah peluang. Dia melihat saat ini jam tangan premium berada di dunia yang konservatif. Para pemainnya tidak berani keluar dari pakem yang ada.
Richard Mille mencoba membuat jam tangan yang unik dan mampu beradaptasi dengan zaman. Tapi itu tidak cukup karena dia perlu senjata lainnya, yakni terobosan.
Waktu itu dia pernah mendengar petenis Spanyol Rafael Nadal enggan menggunakan jam tangan saat bermain tenis karena selalu rusak saat dikenakan. Jangankan bertanding, saat berlatih saja dia selalu melepas jam tangannya.
“Saat itu jam tangan tourbillon tidak bisa digunakan untuk berolahraga. Saya ingin membuktikan itu salah,” ucapnya. Setelah melalui beberapa percobaan, akhirnya Richard Mille bisa membuat sebuah prototipe jam buatannya yang berkode RM001 Tourbillon.
Saat itu dia langsung meminta bantuan salah seorang rekannya yang sudah lama bermain jam tangan, Dominique Guenat. Bersama-sama Guenat, Richard Mille akhirnya berhasil meluncurkan secara resmi jam buatannya, RM001 Tourbillon, ke pasar bebas.
Saat peluncuran, Richard Mille bahkan membuat sebuah slogan yang sesuai dengan ambisinya dalam membuat jam, yakni “A Racing Machine on a Wrist”. Ya akhirnya ada jam tangan yang sama powerful-nya dengan mobil Formula 1.
Demi eksklusivitas, mereka hanya merilis 14 jam tangan yang uniknya berhasil membuat dunia geger. Jam tangan itu terbukti sangat reliable digunakan di mana saja dan kapan saja. Bahkan saat berolahraga ekstrem.
Rafael Nadal bahkan sangat bangga menggunakan jam tangan ini saat bermain tenis. Jam tangan yang supermencolok itu kini bahkan menjadi trademark dari dewa-dewi olahraga dunia.
Beberapa juara dunia telah masuk dalam lingkungan keluarga Richard Mille. Sampai-sampai setiap juara cabang olahraga dunia begitu waswas ketika Richard Mille mengawasi pertandingan atau perlombaan mereka.
Ini yang dialami oleh Mark Cavendish, pembalap sepeda profesional yang langsung gemetar ketika bertemu Richard Mille. “Saya seperti bertemu artis besar. Saya sempat tidak yakin ketika dia memberikan jam tangan ini kepada saya,” ujar Mark Cavendish.
Bagi Richard Mille, jam tangan yang dia buat memang awalnya dibuat sebagai teman sejalan dalam perjuangan. Menurutnya, setiap orang yang berjuang dalam bidang apa pun akan mengingat momen-momen di mana mereka berhasil meraih kejayaan atau kekalahan.
Di situlah waktu akan menjadi terasa berharga karena semuanya akan cepat berlalu. “Membaca waktu yang tepat itu tidak mudah dipelajari. Karena biasanya pelajaran memang selalu datang terlambat,” ucapnya.
Inilah mengapa dia terus berupaya membuat terobosan-terobosan baru untuk Richard Mille. Termasuk kerja samanya dengan perusahaan automotif McLaren dalam membuat jam baru.
“Jika mungkin saya ingin hidup sama 120 tahun. Tentu saja saya ingin terus berkreasi hingga 120 tahun. Karena masa depan brand ini tidak berhenti di sini saja,” sebutnya. (Wahyu Sibarani)
(nfl)