Hadapi UE, Indonesia Perlu Konsep Kawasan Hutan dan Deforestasi
A
A
A
JAKARTA - Para pemangku kepentingan didorong duduk bersama untuk membahas pemahaman mengenai kawasan hutan dan deforestasi. Hal itu supaya ada aturan yang tegas dan tidak multitafsir agar tiap kegiatan ekonomi yang bersentuhan langsung dengan hutan tidak lantas dicap sebagai penyebab deforestasi dan kerusakan lingkungan.
"Tidak adanya definisi kawasan hutan yang jelas selama bertahun-tahun telah melahirkan banyak persoalan," ungkap Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto di Jakarta, Senin (20/5/2019).
Dia menegaskan, tanpa definisi yang jelas, pernyataan provokatif, dangkal serta tidak mempertimbangkan berbagai perbaikan yang dilakukan Indonesia akan terus berulang.
"Isu tentang pasokan rantai sawit kotor dari perkebunan sawit yang melakukan deforestasi seharusnya sudah berakhir. Namun tidak adanya definisi yang jelas tentang kawasan hutan menjadikan isu itu tetap hangat sebagai topik utama kampanye antisawit," kata Budi.
Pemerintah, melalui regulasi tata kelola hutan dan perkebunan sebenarnya sudah melakukan banyak perbaikan yang diapresiasi banyak pihak termasuk sebagian negara di Uni Eropa (UE). Hanya saja, kata dia, definisi itu perlu dipertegas, karena masih banyak kelompok lingkungan di Indonesia yang tidak memahami konsep kawasan hutan sehingga keliru membedakan antara deforestasi dan degradasi.
Menurut Budi, sebagian besar kebun sawit berasal hutan yang terdegradasi dan oleh pemerintah dialokasikan untuk kawasan non hutan. Asal usul kebun sawit lain berasal dari areal penggunaan lain (APL). Secara hukum Indonesia, APL diperbolehkan untuk digunakan untuk kepentingan non hutan termasuk kebun sawit.
"Ketidakpahaman yang dibiarkan itu, kini makin melebar. Bahkan, kelompok tersebut, kini memaksa pemerintah untuk membuka data HGU yang merupakan ranah privat yang dilindungi UU," ujarnya.
Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa. Yanto mengatakan, lahan kebun sawit di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan.
Hasil penelitian bersama timnya pada delapan kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat di Riau menunjukkan lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan. Saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan seluruh PSB sudah bukan merupakan kawasan hutan.
Jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati sebanyak 46.372,38 hektare (ha), sebanyak 68,02% status lahan yang dialihfungsikan berasal dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL), 30,01% berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% berasal dari hutan produksi.
Yanto memastikan, sebagian besar asal-usul perkebunan sawit di Indonesia punya catatan yang jelas. Prosedur kebijakan alih fungsi lahan juga diatur UU melalui beberapa mekanisme pelepasan kawasan atau perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW-P).
Bahkan, kata Yanto, dalam konteks menjaga lingkungan, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan sebagian negara di Eropa yang langsung menambang gambut untuk dijadikan briket energi sebagai bahan biomassa. "Di Indonesia, rakyat menanam sawit di lahan gambut terdegradasi. Ini jauh lebih ramah lingkungan. Karena itu, kita masih punya luasan gambut yang masih baik sekitar 11 juta ha," kata Yanto.Di sisi lain, Yanto mengingatkan, UE harus punya pemahaman deforestasi berdasarkan kajian akademisi yang kredibel Indonesia. "Setahu saya, LSM di Indonesia termasuk Greenpeace hanya berteriak soal deforestasi, namun tidak punya satupun kajian tentang deforestasi," kata dia.
"Tidak adanya definisi kawasan hutan yang jelas selama bertahun-tahun telah melahirkan banyak persoalan," ungkap Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto di Jakarta, Senin (20/5/2019).
Dia menegaskan, tanpa definisi yang jelas, pernyataan provokatif, dangkal serta tidak mempertimbangkan berbagai perbaikan yang dilakukan Indonesia akan terus berulang.
"Isu tentang pasokan rantai sawit kotor dari perkebunan sawit yang melakukan deforestasi seharusnya sudah berakhir. Namun tidak adanya definisi yang jelas tentang kawasan hutan menjadikan isu itu tetap hangat sebagai topik utama kampanye antisawit," kata Budi.
Pemerintah, melalui regulasi tata kelola hutan dan perkebunan sebenarnya sudah melakukan banyak perbaikan yang diapresiasi banyak pihak termasuk sebagian negara di Uni Eropa (UE). Hanya saja, kata dia, definisi itu perlu dipertegas, karena masih banyak kelompok lingkungan di Indonesia yang tidak memahami konsep kawasan hutan sehingga keliru membedakan antara deforestasi dan degradasi.
Menurut Budi, sebagian besar kebun sawit berasal hutan yang terdegradasi dan oleh pemerintah dialokasikan untuk kawasan non hutan. Asal usul kebun sawit lain berasal dari areal penggunaan lain (APL). Secara hukum Indonesia, APL diperbolehkan untuk digunakan untuk kepentingan non hutan termasuk kebun sawit.
"Ketidakpahaman yang dibiarkan itu, kini makin melebar. Bahkan, kelompok tersebut, kini memaksa pemerintah untuk membuka data HGU yang merupakan ranah privat yang dilindungi UU," ujarnya.
Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa. Yanto mengatakan, lahan kebun sawit di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan.
Hasil penelitian bersama timnya pada delapan kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat di Riau menunjukkan lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan. Saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan seluruh PSB sudah bukan merupakan kawasan hutan.
Jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati sebanyak 46.372,38 hektare (ha), sebanyak 68,02% status lahan yang dialihfungsikan berasal dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL), 30,01% berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% berasal dari hutan produksi.
Yanto memastikan, sebagian besar asal-usul perkebunan sawit di Indonesia punya catatan yang jelas. Prosedur kebijakan alih fungsi lahan juga diatur UU melalui beberapa mekanisme pelepasan kawasan atau perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW-P).
Bahkan, kata Yanto, dalam konteks menjaga lingkungan, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan sebagian negara di Eropa yang langsung menambang gambut untuk dijadikan briket energi sebagai bahan biomassa. "Di Indonesia, rakyat menanam sawit di lahan gambut terdegradasi. Ini jauh lebih ramah lingkungan. Karena itu, kita masih punya luasan gambut yang masih baik sekitar 11 juta ha," kata Yanto.Di sisi lain, Yanto mengingatkan, UE harus punya pemahaman deforestasi berdasarkan kajian akademisi yang kredibel Indonesia. "Setahu saya, LSM di Indonesia termasuk Greenpeace hanya berteriak soal deforestasi, namun tidak punya satupun kajian tentang deforestasi," kata dia.
(fjo)