Neraca Perdagangan Migas Diperbaiki
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah merumuskan sejumlah bauran kebijakan untuk memperbaiki neraca perdagangan migas. Adapun langkah kebijakan yang diambil terkait pencatatan impor minyak hasil eksplorasi Pertamina yang masuk ke Indonesia.
Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar defisit neraca perdagangan migas bisa semakin ditekan. Seperti diketahui, neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit sebesar USD2,50 miliar. Defisit April 2019 disebabkan oleh defisit sektor migas sebesar USD1,49 miliar dan nonmigas sebesar USD1,01 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, masyarakat perlu mengetahui bahwa hasil eksplorasi minyak yang dilakukan Pertamina di luar negeri dan dibawa ke dalam negeri tercatat sebagai barang impor. Hal inilah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan menjadi lebar.
"Sebetulnya, defisit migas kita tidak terlalu lebar. Ini berkaitan dengan investasi Pertamina di luar negeri yang melakukan eksplorasi. Hasil eksplorasi Pertamina dibawa ke Indonesia dan itu tercatat sebagai barang impor," ujarnya di Jakarta kemarin.
Untuk itu, dalam rapat koordinasi tentang Neraca Perdagangan Migas ini, pemerintah merumuskan sejumlah bauran kebijakan. Pertama, kebijakan ESDM per Mei 2019, terkait dengan pemanfaatan crude oil hasil eksplorasi di dalam negeri yang biasanya diekspor, sekarang sebagian diolah di dalam negeri untuk pasar dalam negeri.
Crude oil hasil eksplorasi bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri yang selama ini diekspor, sebagian diolah di kilang Pertamina di dalam negeri. Hal ini akan mengurangi impor crude oil yang dibutuhkan oleh Pertamina untuk memproduksi BBM, seperti solar dan avtur.
Kedua, pencatatan impor atas importasi crude oil hasil eksplorasi dari investasi pertamina di luar negeri tetap dicatat. Pencatatan atas importasi crude oil hasil investasi dari Pertamina di luar negeri tetap dicatat di neraca perdagangan.
Di samping itu, hasil investasi dari Pertamina di luar negeri juga akan dicatat sebagai pendapatan primer di neraca pembayaran. Kedua pencatatan tersebut sesuai dengan standar International Merchandise Trade Statistic (IMTS) dan standar Balance of Payment Manual IMF.
Dengan pencatatan hasil investasi Pertamina tersebut, maka pendapatan primer di neraca pembayaran akan meningkat sehingga dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit). "Kita harapkan dengan adanya kebijakan ini defisit neraca perdagangan migas akan dapat dikurangi dalam waktu dekat," kata
Keekonomian Proyek IDD Masih Dikaji
PT Chevron Pacific Indonesia bersama Satuan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi masih mengkaji keekonomian proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) tahap II. Senior Vice President Policy Goverment and Public Affairs Chevron Pasific Indonesia, Wahyu Budiarto mengatakan, saat ini Chevron dan SKK Migas masih melakukan diskusi soal keekonomian proyek IDD.
Menurut dia, terdapat perbedaan cara pandang dalam menentukan keekonomian proyek. “Di sini kita menganggap sudah eko nomis, tapi belum tentu buat negara. Apa yang menurut negara cukup untuk kontraktor, belum tentu cukup untuk kami. Jadi ini masih jalan,” ujar dia di Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, proses penen tuan keekonomian memang masih alot untuk segera diputuskan. Namun diakuinya, kelanjutan pembahasan proses negosiasi pembahasan proyek IDD terbilang lebih maju dibandingkan sebelumnya. “Kontraktor tentu saja kita juga mesti sepakat dengan negara. Kesepakatan di mana kedua belah pihak melihat hal yang sama. Agak alot, tapi progresnya sudah bagus,” kata Wahyu.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengakui belum ada kesepakatan antara Chevron dengan pemerintah terkait keekonomian proyek.
Dia mengatakan, Chevron akan menggunakan skema gross split untuk Proyek IDD tahap II yang mencakup lapangan Gendalo di Blok Ganal dan Lapangan Gehem di Blok Rapak. Meski masih melalui proses negosiasi, namun Dwi menargetkan, dalam waktu dekat kedua belah pihak akan mendapatkan kesepakatan.
Dia menargetkan hitungan bagi hasil bisa disepakati pada Semester I/2019. Menurutnya, SKK Migas dan Chevron sudah sepakat terkait biaya pengembangan IDD tahap kedua. “Ini tahap finalisasi karena development cost-nya sudah bisa diterima,” ujarnya. (Oktiani Endarwati/Nanang Wijayanto).
Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar defisit neraca perdagangan migas bisa semakin ditekan. Seperti diketahui, neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit sebesar USD2,50 miliar. Defisit April 2019 disebabkan oleh defisit sektor migas sebesar USD1,49 miliar dan nonmigas sebesar USD1,01 miliar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, masyarakat perlu mengetahui bahwa hasil eksplorasi minyak yang dilakukan Pertamina di luar negeri dan dibawa ke dalam negeri tercatat sebagai barang impor. Hal inilah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan menjadi lebar.
"Sebetulnya, defisit migas kita tidak terlalu lebar. Ini berkaitan dengan investasi Pertamina di luar negeri yang melakukan eksplorasi. Hasil eksplorasi Pertamina dibawa ke Indonesia dan itu tercatat sebagai barang impor," ujarnya di Jakarta kemarin.
Untuk itu, dalam rapat koordinasi tentang Neraca Perdagangan Migas ini, pemerintah merumuskan sejumlah bauran kebijakan. Pertama, kebijakan ESDM per Mei 2019, terkait dengan pemanfaatan crude oil hasil eksplorasi di dalam negeri yang biasanya diekspor, sekarang sebagian diolah di dalam negeri untuk pasar dalam negeri.
Crude oil hasil eksplorasi bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri yang selama ini diekspor, sebagian diolah di kilang Pertamina di dalam negeri. Hal ini akan mengurangi impor crude oil yang dibutuhkan oleh Pertamina untuk memproduksi BBM, seperti solar dan avtur.
Kedua, pencatatan impor atas importasi crude oil hasil eksplorasi dari investasi pertamina di luar negeri tetap dicatat. Pencatatan atas importasi crude oil hasil investasi dari Pertamina di luar negeri tetap dicatat di neraca perdagangan.
Di samping itu, hasil investasi dari Pertamina di luar negeri juga akan dicatat sebagai pendapatan primer di neraca pembayaran. Kedua pencatatan tersebut sesuai dengan standar International Merchandise Trade Statistic (IMTS) dan standar Balance of Payment Manual IMF.
Dengan pencatatan hasil investasi Pertamina tersebut, maka pendapatan primer di neraca pembayaran akan meningkat sehingga dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit). "Kita harapkan dengan adanya kebijakan ini defisit neraca perdagangan migas akan dapat dikurangi dalam waktu dekat," kata
Keekonomian Proyek IDD Masih Dikaji
PT Chevron Pacific Indonesia bersama Satuan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi masih mengkaji keekonomian proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) tahap II. Senior Vice President Policy Goverment and Public Affairs Chevron Pasific Indonesia, Wahyu Budiarto mengatakan, saat ini Chevron dan SKK Migas masih melakukan diskusi soal keekonomian proyek IDD.
Menurut dia, terdapat perbedaan cara pandang dalam menentukan keekonomian proyek. “Di sini kita menganggap sudah eko nomis, tapi belum tentu buat negara. Apa yang menurut negara cukup untuk kontraktor, belum tentu cukup untuk kami. Jadi ini masih jalan,” ujar dia di Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan, proses penen tuan keekonomian memang masih alot untuk segera diputuskan. Namun diakuinya, kelanjutan pembahasan proses negosiasi pembahasan proyek IDD terbilang lebih maju dibandingkan sebelumnya. “Kontraktor tentu saja kita juga mesti sepakat dengan negara. Kesepakatan di mana kedua belah pihak melihat hal yang sama. Agak alot, tapi progresnya sudah bagus,” kata Wahyu.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengakui belum ada kesepakatan antara Chevron dengan pemerintah terkait keekonomian proyek.
Dia mengatakan, Chevron akan menggunakan skema gross split untuk Proyek IDD tahap II yang mencakup lapangan Gendalo di Blok Ganal dan Lapangan Gehem di Blok Rapak. Meski masih melalui proses negosiasi, namun Dwi menargetkan, dalam waktu dekat kedua belah pihak akan mendapatkan kesepakatan.
Dia menargetkan hitungan bagi hasil bisa disepakati pada Semester I/2019. Menurutnya, SKK Migas dan Chevron sudah sepakat terkait biaya pengembangan IDD tahap kedua. “Ini tahap finalisasi karena development cost-nya sudah bisa diterima,” ujarnya. (Oktiani Endarwati/Nanang Wijayanto).
(nfl)