REI Siap Dilibatkan Danai Pembangunan Ibu Kota Baru
A
A
A
PERSATUAN Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menegaskan kesiapan untuk mendukung pemindahan dan pembangunan ibu kota baru yang tengah disiapkan pemerintah di luar Pulau Jawa.
Sebagai asosiasi pengembang tertua dan terbesar di Indonesia, REI memiliki kompetensi teruji dalam mewujudkan citacita tersebut. Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengungkapkan anggota REI selama ini telah mengembangkan 34 kota baru di Jabodetabek, dengan luas areal ratarata sekitar 60.000 hektare.
Hampir semuanya kini menjadi kota-kota baru yang mandiri, termasuk menciptakan sentrasentra pemerataan ekonomi masyarakat. “Contohnya di BSD, Bintaro, Lippo Karawaci dan sebagainya itu luasnya ratarata mencapai 60 ribu hektare, dan itu dikembangkan sekitar 20-30 tahun lamanya,” kata Eman, sapaan Soelaeman.
Untuk itu, dia optimistis bisa membantu pemerintah dalam mengembangkan ibu kota baru. Menurut Eman, pengembangan kawasan baru sebaiknya memang banyak melibatkan swasta dan ahli-ahli di bidangnya masing-masing untuk saling bekerja sama.
Sinergi dan koordinasi dibutuhkan mengingat pengembangan kawasan butuh waktu yang panjang. Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengestimasi pembangunan ibu kota baru akan membutuhkan anggaran sekitar Rp466 triliun.
Namun, dari kebutuhan tersebut, dana yang disiapkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya sekitar Rp30,6 triliun, dan itu pun bersifat multiyears.
Sementara sisanya pemerintah akan menggandeng BUMN serta mengandalkan keterlibatan swasta, antara lain melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Menurut Eman, swasta khususnya pengembang tidak masalah bila diminta mendanai pembangunan fasilitas hunian dan komersial di ibu kota baru.
Setidaknya, ungkap dia, akan ada captive market sebanyak 1,5 juta orang di ibu kota baru tersebut yang dari sisi properti pasti membutuhkan rumah, kawasan komersial, hotel, ruang pertemuan, pusat perbelanjaan, sarana hiburan dan rekreasi, serta fasilitas kota lainnya. “Saya yakin pengembang tentu tertarik melihat captive market -nya yang besar,” ujar pengembang yang juga seorang perencana kota (planner) tersebut.
Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Asia Pasifik itu menjamin swasta, terutama pengembang anggota REI mampu membiayai sendiri pembangunan ibu kota baru yang menurut rencana dibangun di Kalimantan Tengah.
“Investasi swasta tidak perlu dari dana pemerintah. Kami bisa pakai equity dan dana bank. Sedangkan untuk pengembangan beberapa proyek skala besar, kami bisa bentuk konsorsium. Pembiayaan enggak ada masalah, karena captive market-nya sudah jelas,” papar Eman.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah dalam pengembangan kota baru. Pertama, aspek geografis, yakni mencakup perhitungan potensi bencana, tanah gambut atau bukan, dan ketersediaan infrastruktur awal seperti listrik, air, serta akses jalan.
“Lebih baik bila lokasi ibu kota baru nanti tidak jauh dari pelabuhan sehingga biaya logistik untuk pengembang tidak terlalu mahal,” ujar Eman.
Kedua, untuk menciptakan kota baru dibutuhkan regulasi atau payung hukum yang kuat sehingga pengerjaan proyek memiliki kejelasan hukum. Pengelolaan ibu kota baru nantinya juga perlu diatur sebuah otorita yang memiliki kewenangan, apakah setingkat pemerintah kota (pemkot) atau dibentuk badan pengelola (BP) seperti BP Batam. Ketiga, terkait dengan investasi, dibutuhkan insentif-insentif bagi swasta yang menjadi pionir dan membiayai sendiri pembangunan kota baru.
Keempat, terkait jaminan keamanan (secure) tanah dan pengendalian tanah. REI berpendapat pemerintah perlu mengendalikan tata ruang dan mengimplementasikan tata ruang tersebut dengan baik.
Dengan begitu, maka swasta lebih mudah melakukan pembangunan tanpa perlu direpotkan dengan negosiasi rumit untuk menggunakan atau mendapatkan tanah. “Pemerintah harus mampu mencegah dan mengontrol harga tanah sehingga swasta tidak berspekulasi untuk membeli tanah di situ. Ini juga sangat penting bagi pengembang,” kata dia.
Diakui Eman, pengembangan kota-kota baru di Jabodetabek selama ini dipenuhi banyak spekulasi, dan kondisi itu menjadi tantangan besar dari sisi harga dan waktu. (Anton C)
Sebagai asosiasi pengembang tertua dan terbesar di Indonesia, REI memiliki kompetensi teruji dalam mewujudkan citacita tersebut. Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengungkapkan anggota REI selama ini telah mengembangkan 34 kota baru di Jabodetabek, dengan luas areal ratarata sekitar 60.000 hektare.
Hampir semuanya kini menjadi kota-kota baru yang mandiri, termasuk menciptakan sentrasentra pemerataan ekonomi masyarakat. “Contohnya di BSD, Bintaro, Lippo Karawaci dan sebagainya itu luasnya ratarata mencapai 60 ribu hektare, dan itu dikembangkan sekitar 20-30 tahun lamanya,” kata Eman, sapaan Soelaeman.
Untuk itu, dia optimistis bisa membantu pemerintah dalam mengembangkan ibu kota baru. Menurut Eman, pengembangan kawasan baru sebaiknya memang banyak melibatkan swasta dan ahli-ahli di bidangnya masing-masing untuk saling bekerja sama.
Sinergi dan koordinasi dibutuhkan mengingat pengembangan kawasan butuh waktu yang panjang. Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengestimasi pembangunan ibu kota baru akan membutuhkan anggaran sekitar Rp466 triliun.
Namun, dari kebutuhan tersebut, dana yang disiapkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya sekitar Rp30,6 triliun, dan itu pun bersifat multiyears.
Sementara sisanya pemerintah akan menggandeng BUMN serta mengandalkan keterlibatan swasta, antara lain melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Menurut Eman, swasta khususnya pengembang tidak masalah bila diminta mendanai pembangunan fasilitas hunian dan komersial di ibu kota baru.
Setidaknya, ungkap dia, akan ada captive market sebanyak 1,5 juta orang di ibu kota baru tersebut yang dari sisi properti pasti membutuhkan rumah, kawasan komersial, hotel, ruang pertemuan, pusat perbelanjaan, sarana hiburan dan rekreasi, serta fasilitas kota lainnya. “Saya yakin pengembang tentu tertarik melihat captive market -nya yang besar,” ujar pengembang yang juga seorang perencana kota (planner) tersebut.
Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Asia Pasifik itu menjamin swasta, terutama pengembang anggota REI mampu membiayai sendiri pembangunan ibu kota baru yang menurut rencana dibangun di Kalimantan Tengah.
“Investasi swasta tidak perlu dari dana pemerintah. Kami bisa pakai equity dan dana bank. Sedangkan untuk pengembangan beberapa proyek skala besar, kami bisa bentuk konsorsium. Pembiayaan enggak ada masalah, karena captive market-nya sudah jelas,” papar Eman.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah dalam pengembangan kota baru. Pertama, aspek geografis, yakni mencakup perhitungan potensi bencana, tanah gambut atau bukan, dan ketersediaan infrastruktur awal seperti listrik, air, serta akses jalan.
“Lebih baik bila lokasi ibu kota baru nanti tidak jauh dari pelabuhan sehingga biaya logistik untuk pengembang tidak terlalu mahal,” ujar Eman.
Kedua, untuk menciptakan kota baru dibutuhkan regulasi atau payung hukum yang kuat sehingga pengerjaan proyek memiliki kejelasan hukum. Pengelolaan ibu kota baru nantinya juga perlu diatur sebuah otorita yang memiliki kewenangan, apakah setingkat pemerintah kota (pemkot) atau dibentuk badan pengelola (BP) seperti BP Batam. Ketiga, terkait dengan investasi, dibutuhkan insentif-insentif bagi swasta yang menjadi pionir dan membiayai sendiri pembangunan kota baru.
Keempat, terkait jaminan keamanan (secure) tanah dan pengendalian tanah. REI berpendapat pemerintah perlu mengendalikan tata ruang dan mengimplementasikan tata ruang tersebut dengan baik.
Dengan begitu, maka swasta lebih mudah melakukan pembangunan tanpa perlu direpotkan dengan negosiasi rumit untuk menggunakan atau mendapatkan tanah. “Pemerintah harus mampu mencegah dan mengontrol harga tanah sehingga swasta tidak berspekulasi untuk membeli tanah di situ. Ini juga sangat penting bagi pengembang,” kata dia.
Diakui Eman, pengembangan kota-kota baru di Jabodetabek selama ini dipenuhi banyak spekulasi, dan kondisi itu menjadi tantangan besar dari sisi harga dan waktu. (Anton C)
(nfl)