Kapal Tanker Diserang, Harga Minyak Bisa Kembali ke USD80/Barel
A
A
A
NEW YORK - Harga minyak dunia yang belakangan merosot akibat kekhawatiran melemahnya permintaan akibat pelambatan ekonomi global dinilai bisa berbalik arah akibat faktor risiko geopolitik. Hal itu dipicu kekhawatiran mengenai kemungkinan kembali terjadinya serangan pada kapal tanker seperti yang terjadi di Teluk Oman Kamis (13/6) lalu.
Namun, meski harga minyak mungkin melonjak ke USD80/barel akibat ketegangan di Timur Tengah, analis menilai kisaran harga saat ini terentang lebar karena harga minyak bisa juga kembali ke level USD50/barel dipicu kekhawatiran melemahnya permintaan akibat meredupnya ekonomi global gara-gara perang dagang.
"Saya tidak mengatakan kita sudah di ambang pemicunya, tapi kita mengarah ke sana," ujar John Kilduff, mitra dari Again Capital yang dikutip CNBC, jumat (14/6/2019).Kilduff mengatakan, harga minyak tengah mengarah ke USD50/barel sebelum adanya kabar soal serangan tersebut. Setelah kehilangan 4% akibat kekhawatiran menumpuknya suplai pada Rabu (12/6) lalu, harga minyak mengalami rebound sekitar 2% akibat laporan penyerangan terhadap kapal tanker di Selat Oman. Serangan itu tercatat merupakan yang kali kedua terjadi dalam sebulan ini.
Serangan yang terjadi dekat Selat Hormuz, jalur pengapalan minyak tersibuk dunia tersebut membuat kekhawatiran makin tinggi. Kemarin, harga minyak berjangka West Texas Intermediate ditutup di USD52,22/barel, naik 2,2%. Sementara Brent berjangka untuk bulan Mei juga ditutup naik 2,2% di USD61,31/barel, setelah sempat menyentuh angka USD62,64/barel.
"Sekarang harga minyak itu di antara USD60 atau USD80-an. Kalau hanya memperhitungkan soal perang dagang, harga mengarah ke USD60," ujar Helima Croft, Kepala Strategi Komoditas Global di RBC. Dia mengatakan, insiden geopolitikal besar bisa saja mendorong harga minyak Brent hingga USD80/barel.
Kendati demikian, kekhawatiran soal risiko geopolitik dinilai tak lagi sebesar dulu. Sejak Amerika serikat (AS) menjadi pemain dominan di pasar minyak dunia, sebagai produsen terbesar dengan output 12,3 juta barel per hari, kekhawatiran soal pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah agak berkurang. "Suplai di AS telah menjadi semacam firewall terhadap kejadian geopolik," ujar Kilduff.
Namun, meski harga minyak mungkin melonjak ke USD80/barel akibat ketegangan di Timur Tengah, analis menilai kisaran harga saat ini terentang lebar karena harga minyak bisa juga kembali ke level USD50/barel dipicu kekhawatiran melemahnya permintaan akibat meredupnya ekonomi global gara-gara perang dagang.
"Saya tidak mengatakan kita sudah di ambang pemicunya, tapi kita mengarah ke sana," ujar John Kilduff, mitra dari Again Capital yang dikutip CNBC, jumat (14/6/2019).Kilduff mengatakan, harga minyak tengah mengarah ke USD50/barel sebelum adanya kabar soal serangan tersebut. Setelah kehilangan 4% akibat kekhawatiran menumpuknya suplai pada Rabu (12/6) lalu, harga minyak mengalami rebound sekitar 2% akibat laporan penyerangan terhadap kapal tanker di Selat Oman. Serangan itu tercatat merupakan yang kali kedua terjadi dalam sebulan ini.
Serangan yang terjadi dekat Selat Hormuz, jalur pengapalan minyak tersibuk dunia tersebut membuat kekhawatiran makin tinggi. Kemarin, harga minyak berjangka West Texas Intermediate ditutup di USD52,22/barel, naik 2,2%. Sementara Brent berjangka untuk bulan Mei juga ditutup naik 2,2% di USD61,31/barel, setelah sempat menyentuh angka USD62,64/barel.
"Sekarang harga minyak itu di antara USD60 atau USD80-an. Kalau hanya memperhitungkan soal perang dagang, harga mengarah ke USD60," ujar Helima Croft, Kepala Strategi Komoditas Global di RBC. Dia mengatakan, insiden geopolitikal besar bisa saja mendorong harga minyak Brent hingga USD80/barel.
Kendati demikian, kekhawatiran soal risiko geopolitik dinilai tak lagi sebesar dulu. Sejak Amerika serikat (AS) menjadi pemain dominan di pasar minyak dunia, sebagai produsen terbesar dengan output 12,3 juta barel per hari, kekhawatiran soal pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah agak berkurang. "Suplai di AS telah menjadi semacam firewall terhadap kejadian geopolik," ujar Kilduff.
(fjo)