Target Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Bakal Buat Defisit Energi Membengkak
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menargetkan angka pertumbuhan ekonomi dalam asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2020 mencapai sebesar 5,3-5,6%. Dengam tingginya target pertumbuhan tersebut, Kemenkeu memastikan akan menjaga poin-poin external balance perekonomian nasional, salah satunya defisit perdagangan (Current Account Deficit/CAD).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, perekonomian negara cenderung akan mendapatkan suatu gejolak yang tinggi, dengan semakin tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa terjadi diakibatkan negara membutuhkan kebutuhan yang lebih besar untuk merealisasikan angka pertumbuhan ekonomi, sehingga mendorong adanya pertumbuhan impor yang lebih besar dibandingkan ekspor.
"Biasanya secara internasional 3 persen dari GDP itu salah satu indikator yang menciptakan vulnerabilitas lebih tinggi," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Dia mengatakan sejak kuartal I-2017 sampai dengan kuartal I-2019 untuk merelasikan angka pertumbuhan di atas 5%, sebagian besar sektor perdagangan nasional mengalami defisit. Bahkan, dari 23 sektor yang Ia jabarkan, hanya 8 sektor yang mengalami surplus.
"Beberapa handicap pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat dari transaksi berjalan. Kalau kita lihat penyumbang defisit transaksi berjalan, komoditas maupun subsektor hanya sedikit yang surplus," tutur dia.
Salah satu sektor defisit yang disoroti oleh Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ialah sektor energi. Menurutnya, sektor energi selama ini selalu menyumbangkan defisit ke transaksi perdagangan, sejalan dengan tingginya permintaan dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Makin tumbuh pertumbuhan ekonomi, makin tinggi permintaan energi, kalau kita lihat defisit makin meningkat agar bisa tumbuh tinggi," paparnya.
Oleh karenanya, Ia menekankan komitmen untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, sekaligus memperbaiki angka neraca perdagangan. "Adapun dua program yang kita tekankan untuk merealisasikan hal tersebut ialah, melalui substitusi impor dan promosi ekspor melalui pembangunan infrastruktur," jelasnya
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, perekonomian negara cenderung akan mendapatkan suatu gejolak yang tinggi, dengan semakin tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa terjadi diakibatkan negara membutuhkan kebutuhan yang lebih besar untuk merealisasikan angka pertumbuhan ekonomi, sehingga mendorong adanya pertumbuhan impor yang lebih besar dibandingkan ekspor.
"Biasanya secara internasional 3 persen dari GDP itu salah satu indikator yang menciptakan vulnerabilitas lebih tinggi," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/6/2019).
Dia mengatakan sejak kuartal I-2017 sampai dengan kuartal I-2019 untuk merelasikan angka pertumbuhan di atas 5%, sebagian besar sektor perdagangan nasional mengalami defisit. Bahkan, dari 23 sektor yang Ia jabarkan, hanya 8 sektor yang mengalami surplus.
"Beberapa handicap pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat dari transaksi berjalan. Kalau kita lihat penyumbang defisit transaksi berjalan, komoditas maupun subsektor hanya sedikit yang surplus," tutur dia.
Salah satu sektor defisit yang disoroti oleh Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ialah sektor energi. Menurutnya, sektor energi selama ini selalu menyumbangkan defisit ke transaksi perdagangan, sejalan dengan tingginya permintaan dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Makin tumbuh pertumbuhan ekonomi, makin tinggi permintaan energi, kalau kita lihat defisit makin meningkat agar bisa tumbuh tinggi," paparnya.
Oleh karenanya, Ia menekankan komitmen untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, sekaligus memperbaiki angka neraca perdagangan. "Adapun dua program yang kita tekankan untuk merealisasikan hal tersebut ialah, melalui substitusi impor dan promosi ekspor melalui pembangunan infrastruktur," jelasnya
(akr)