Virus Demam Babi Afrika Akan Tingkatkan Inflasi di Pasar Negara Berkembang
A
A
A
BEIJING - Virus demam babi Afrika (African Swine Fever/ASF) sedang melanda China, Jepang, beberapa negara Asia Tenggara, Australia, Polandia, dan Rusia. Virus ini telah merusak peternakan babi di China dan mendorong kenaikan harga pangan di Negeri Tirai Bambu.
Melansir dari CNBC, Selasa (18/6/2019), perusahaan riset Capital Economics mengatakan virus demam babi Afrika bisa meningkatkan inflasi di China. Harga pangan naik karena langkanya daging babi, salah satu pangan utama di China.
Untuk mengendalikan wabah, Pemerintah China mengatakan pada bulan April, mereka telah memusnahkan lebih dari 1 juta ekor babi. Namun analis dari Rabobank dan TS Lombard memperkirakan jumlah babi yang dimusnahkan bisa lebih dari 100 juta ekor.
"Virus ini telah berdampak di pasar negara berkembang. Harga pangan yang naik membuat inflasi yang lebih tinggi," ujar James Swanston, asisten ekonom di Capital Economics. Ia menambahkan bahwa penyakit ini menyebar dan memberi kontribusi pada tingkat inflasi di Asia Timur dan Eropa Timur.
James pun menyebut China, Taiwan, Kamboja, Vietnam, Rusia, Polandia, dan Rumania, negara dengan tingkat konsumsi daging babi yang besar. Daging babi berkontribusi pada indeks harga konsumen di negara tersebut hingga 2%. Bahkan di China hingga 3,5%.
Akibat virus demam babi Afrika, Biro Statistik Nasional China mengatakan harga daging babi melonjak 18,2% pada bulan Mei lalu, yang juga mendorong kenaikan harga pangan lain hingga 7,7%.
Capital Economics menambahkan kenaikan inflasi di China diperkirakan akan terus berlanjut. Kenaikan harga daging babi akan memberikan kontribusi 0,3% terhadap tingkat inflasi di China. Pasalnya daging babi telah menjadi makanan pokok di China, dimana sekitar setengah dari penduduk mengkonsumsi daging babi.
Namun seiring dengan merebaknya virus demam babi Afrika, para ahli menilai akan mendorong konsumen mengkonsumsi daging lain. Capital Economics melaporkan sejak mewabahnya virus tersebut, konsumsi unggas dan daging sapi telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1970.
Dan meningkatnya konsumsi unggas juga akan menurunkan permintaan terhadap kedelai dan jagung. Kedua komoditas tersebut merupakan bahan utama pakan untuk ternak babi. Dan China banyak menggantungkan impor kedelai dari AS untuk pakan babi.
"Kedepan, China harus mulai meningkatkan konsumsi unggas. Jika China makan lebih banyak unggas maka permintaan kedelai dan jagung bisa berkurang. Selama ini China mengimpor kedelai dari AS," kata Capital Economics.
Melansir dari CNBC, Selasa (18/6/2019), perusahaan riset Capital Economics mengatakan virus demam babi Afrika bisa meningkatkan inflasi di China. Harga pangan naik karena langkanya daging babi, salah satu pangan utama di China.
Untuk mengendalikan wabah, Pemerintah China mengatakan pada bulan April, mereka telah memusnahkan lebih dari 1 juta ekor babi. Namun analis dari Rabobank dan TS Lombard memperkirakan jumlah babi yang dimusnahkan bisa lebih dari 100 juta ekor.
"Virus ini telah berdampak di pasar negara berkembang. Harga pangan yang naik membuat inflasi yang lebih tinggi," ujar James Swanston, asisten ekonom di Capital Economics. Ia menambahkan bahwa penyakit ini menyebar dan memberi kontribusi pada tingkat inflasi di Asia Timur dan Eropa Timur.
James pun menyebut China, Taiwan, Kamboja, Vietnam, Rusia, Polandia, dan Rumania, negara dengan tingkat konsumsi daging babi yang besar. Daging babi berkontribusi pada indeks harga konsumen di negara tersebut hingga 2%. Bahkan di China hingga 3,5%.
Akibat virus demam babi Afrika, Biro Statistik Nasional China mengatakan harga daging babi melonjak 18,2% pada bulan Mei lalu, yang juga mendorong kenaikan harga pangan lain hingga 7,7%.
Capital Economics menambahkan kenaikan inflasi di China diperkirakan akan terus berlanjut. Kenaikan harga daging babi akan memberikan kontribusi 0,3% terhadap tingkat inflasi di China. Pasalnya daging babi telah menjadi makanan pokok di China, dimana sekitar setengah dari penduduk mengkonsumsi daging babi.
Namun seiring dengan merebaknya virus demam babi Afrika, para ahli menilai akan mendorong konsumen mengkonsumsi daging lain. Capital Economics melaporkan sejak mewabahnya virus tersebut, konsumsi unggas dan daging sapi telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1970.
Dan meningkatnya konsumsi unggas juga akan menurunkan permintaan terhadap kedelai dan jagung. Kedua komoditas tersebut merupakan bahan utama pakan untuk ternak babi. Dan China banyak menggantungkan impor kedelai dari AS untuk pakan babi.
"Kedepan, China harus mulai meningkatkan konsumsi unggas. Jika China makan lebih banyak unggas maka permintaan kedelai dan jagung bisa berkurang. Selama ini China mengimpor kedelai dari AS," kata Capital Economics.
(ven)