Tingkatkan Daya Saing Investasi Melalui Revisi UU Ketenagakerjaan

Jum'at, 12 Juli 2019 - 17:01 WIB
Tingkatkan Daya Saing Investasi Melalui Revisi UU Ketenagakerjaan
Tingkatkan Daya Saing Investasi Melalui Revisi UU Ketenagakerjaan
A A A
JAKARTA - Menilik isu ketenagakerjaan tidak hanya memandang dari sudut kepentingan buruh dan pengusaha semata, melainkan juga berbicara mengenai kepentingan investasi asing di Indonesia. Dalam memperhatikan seruan pembaruan UU Ketenagakerjaan yang dianggap sudah sangat mendesak oleh kalangan industri dan pemerintah, praktisi hukum menilai revisi sangat diperlukan apabila pemerintah ingin mengembalikan minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Praktisi hukum ketenagakerjaan dari Dentons HPRP, Linna Simamora mengatakan, bahwa pada UU Ketenagakerjaan saat ini, terdapat beberapa hal penting yang dirasakan kurang fleksibel bagi para investor asing yang akan berinvestasi di Indonesia.

“Dari berbagai komentar yang saya terima, isu mengenai proses pemutusan hubungan kerja yang mensyaratkan pemberian surat peringatan satu, dua dan tiga sebelum dilakukan PHK dirasa kurang fleksibel dan berbelit-belit,” kata Linna di Jakarta, Jumat (12/7/2019).

“Apalagi dengan dihapuskannya alasan kesalahan berat sebagai dasar PHK. Perusahaan menjadi tidak punya banyak pilihan dalam menghadapi pekerja yang melakukan kesalahan-kesalahan, termasuk kesalahan berat, yang apabila dibiarkan akan lebih merugikan perusahaan,” jelasnya.

Hal lain yang menurut Linna masih dianggap kurang fleksibel oleh para investor adalah masalah jangka waktu kerja pegawai saat baru direkrut. Pada praktiknya, penerapan masa percobaan yang hanya tiga bulan untuk pekerja tetap atau yang disebut pekerja PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) dinilai tidak cukup sehingga menimbulkan kesulitan bagi investor, dalam hal ini perusahaan, dalam menilai kinerja seseorang yang akan dipekerjakan secara permanen.

Sementara itu, UU Ketenagakerjaan juga membatasi jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan skema kontrak atau yang dikenal dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Selain dari jenis pekerjaannya, masa kerja suatu PKWT juga diberlakukan batas maksimum dan tanpa masa percobaan.

Pelarangan adanya masa percobaan dalam PKWT dan batasan-batasan maksimum tersebut dianggap tidak fleksibel bagi para investor dalam merekrut tenaga kerja yang tepat. Padahal perekrutan yang tepat menghasilkan efisiensi kerja dan penghasilan yang memadai bagi perusahaan, hingga pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi karyawan.

Hasil laporan Japan External Trade Organization (JETRO) pada Februari 2019 menyimpulkan bahwa, salah satu masalah manajemen utama adalah rasio kenaikan upah buruh di Indonesia yang merupakan tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Resiko kenaikan biaya di Indonesia sebesar 47% di atas Vietnam yang hanya 30%.

Permasalahan mengenai kenaikan UMR di Indonesia juga dirasakan oleh Linna sebagai permasalahan yang belum ditangani secara memadai. “Dibutuhkan suatu formula yang tepat untuk mengatur mengenai kenaikan UMR sehingga kenaikan tersebut bisa tepat dan terukur," jelasnya.

Linna menekankan, yang penting adalah UU hasil revisi nantinya mampu memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, baik pengusaha dan pekerja, dan dapat memberikan win-win situation bagi keduanya. Sehingga menjadi lebih menarik bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6353 seconds (0.1#10.140)