Ekspor dan Impor China Bulan Juni Menyusut Karena Tekanan AS
A
A
A
BEIJING - Perang dagang Amerika Serikat dan China memasuki tahun kedua, membuat serangkaian data ekonomi China menjadi suram. Pemerintah China mengumumkan bahwa ekspor mereka di bulan Juni menyusut tajam, seiring meningkatnya tekanan perdagangan dari AS.
Melansir dari CNBC, Jumat (12/7/2019), Bea Cukai China melaporkan ekspor mereka berdenominasi dolar AS di bulan Juni, turun 1,3% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sedangkan pada Mei sebelumnya, ekspor China bertambah 1,1% secara tahunan alias yoy.
"Ekspor China menurun pada bulan lalu akibat dari kenaikan tarif Amerika Serikat dan berkurangnya permintaan global," ujar ekonom senior China di Capital Economics, Julian Evans-Pritchard. Bulan Juni merupakan penerapan penuh tarif AS terhadap USD200 miliar barang asal China.
Sementara itu, impor bulan Juni juga menyusut lebih dari yang diharapkan. Angka impor anjlok 7,3%, turun tajam dari perkiraan ekonomi sebesar 4,5%. Impor ini sangat penting, terutama impor teknologi tinggi demi menunjang produk-produk industri China.
Kedua data ekonomi diatas menunjukkan terjadi pelemahan lebih lanjut terhadap negara ekonomi terbesar di dunia. Dan bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Pembacaan data yang suram, membuat beberapa kalangan berharap Beijing melakukan langkah-langkah stimulus lebih lanjut, untuk menangkal perlambatan ekonomi mereka.
Mengutip dari Reuters, Jumat (12/7/2019), survei para ekonom memperkirakan ekonomi China pada kuartal II-2019 hanya mencapai 6,2%, level terlemah dalam kurun sekitar 27 tahun.
Bahkan dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters, pertumbuhan ekonomi China tahun ini diperkirakan melambat menjadi 6,2%. Merupakan level terendah dalam waktu 30 tahun. Sedangkan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi China sudah melemah menjadi 6,6%. Dan pertumbuhan tahun 2020, diprediksi semakin turun menjadi 6,0%.
Para ekonom mengatakan pertumbuhan ekonomi China bahkan bisa lebih lemah bila tidak segera mengadakan kembali pembicaraan dengan Washington. Karena pemerintahan Trump, ditengarai akan memberlakukan lebih banyak tarif kepada barang-barang China, dan pembatasan pada perusahaan teknologi Negeri Panda.
"Secara keseluruhan, impor dan ekspor menurun dari kuartal ke kuartal. Dan permintaan luar negeri yang lemah ini menjadi tantangan terbesar pada sesi enam bulan tahun ini," kata Zhang Yi, kepala ekonom di Zhonghai Shengrong Capital Management di Beijing.
Zhang pun menekankan pemerintah China harus segera melakukan stimulus kebijakan jangka pendek.
Ia menambahkan bahwa perang dagang bukan satu-satunya faktor menurunnya ekspor dan impor. Masalah lain tidak kalah penting adalah melemahnya permintaan domestik di China sendiri. Sepanjang musim panas tahun ini, permintaan domestik lebih lemah dibandingkan tahun lalu.
Sejauh ini, Beijing telah mengandalkan kombinasi antara stimulus fiskal dan pelonggaran moneter untuk mengatasi perlambatan. Termasuk ratusan miliar dolar dalam pengeluaran infrastruktur dan pemotongan pajak untuk perusahaan.
Bank Sentral China juga telah menurunkan persyaratan cadangan bank. Tercatat sejak awal 2018 sampai dengan sekarang, Bank Sentral China telah menurunkan persyaratan cadangan bank hingga enam kali. Selain itu, memberikan kelonggaran pinjaman.
Para analis pun berpendapat China akan memangkas suku bunga pinjaman jangka pendek, jika Federal Reserve AS jadi memotong suku bunga acuan di akhir bulan ini.
"Pelonggaran kebijakan ini bisa mendorong pertumbuhan kredit lebih luas," tulis Capital Economics. Sayangnya, sambung Capital, China terlalu pede sehingga lambat merespon perlambatan ekonomi. Kepercayaan bisnis yang goyah telah membebani investasi.
Capital pun menyebut penyaluran kredit bank-bank China pada bulan lalu hanya sebesar 1,66 triliun yuan atau USD241,47 miliar, tidak jauh beda dengan bulan Juni tahun lalu.
Menyikapi menurunnya angka ekspor-impor, dan melemahnya permintaan domestik, mengutip Asia Times, Perdana Menteri China, Li Keqiang berjanji akan menurunkan tarif dan meningkatkan potongan pajak untuk para eksportir.
Melansir dari CNBC, Jumat (12/7/2019), Bea Cukai China melaporkan ekspor mereka berdenominasi dolar AS di bulan Juni, turun 1,3% dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sedangkan pada Mei sebelumnya, ekspor China bertambah 1,1% secara tahunan alias yoy.
"Ekspor China menurun pada bulan lalu akibat dari kenaikan tarif Amerika Serikat dan berkurangnya permintaan global," ujar ekonom senior China di Capital Economics, Julian Evans-Pritchard. Bulan Juni merupakan penerapan penuh tarif AS terhadap USD200 miliar barang asal China.
Sementara itu, impor bulan Juni juga menyusut lebih dari yang diharapkan. Angka impor anjlok 7,3%, turun tajam dari perkiraan ekonomi sebesar 4,5%. Impor ini sangat penting, terutama impor teknologi tinggi demi menunjang produk-produk industri China.
Kedua data ekonomi diatas menunjukkan terjadi pelemahan lebih lanjut terhadap negara ekonomi terbesar di dunia. Dan bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Pembacaan data yang suram, membuat beberapa kalangan berharap Beijing melakukan langkah-langkah stimulus lebih lanjut, untuk menangkal perlambatan ekonomi mereka.
Mengutip dari Reuters, Jumat (12/7/2019), survei para ekonom memperkirakan ekonomi China pada kuartal II-2019 hanya mencapai 6,2%, level terlemah dalam kurun sekitar 27 tahun.
Bahkan dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters, pertumbuhan ekonomi China tahun ini diperkirakan melambat menjadi 6,2%. Merupakan level terendah dalam waktu 30 tahun. Sedangkan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi China sudah melemah menjadi 6,6%. Dan pertumbuhan tahun 2020, diprediksi semakin turun menjadi 6,0%.
Para ekonom mengatakan pertumbuhan ekonomi China bahkan bisa lebih lemah bila tidak segera mengadakan kembali pembicaraan dengan Washington. Karena pemerintahan Trump, ditengarai akan memberlakukan lebih banyak tarif kepada barang-barang China, dan pembatasan pada perusahaan teknologi Negeri Panda.
"Secara keseluruhan, impor dan ekspor menurun dari kuartal ke kuartal. Dan permintaan luar negeri yang lemah ini menjadi tantangan terbesar pada sesi enam bulan tahun ini," kata Zhang Yi, kepala ekonom di Zhonghai Shengrong Capital Management di Beijing.
Zhang pun menekankan pemerintah China harus segera melakukan stimulus kebijakan jangka pendek.
Ia menambahkan bahwa perang dagang bukan satu-satunya faktor menurunnya ekspor dan impor. Masalah lain tidak kalah penting adalah melemahnya permintaan domestik di China sendiri. Sepanjang musim panas tahun ini, permintaan domestik lebih lemah dibandingkan tahun lalu.
Sejauh ini, Beijing telah mengandalkan kombinasi antara stimulus fiskal dan pelonggaran moneter untuk mengatasi perlambatan. Termasuk ratusan miliar dolar dalam pengeluaran infrastruktur dan pemotongan pajak untuk perusahaan.
Bank Sentral China juga telah menurunkan persyaratan cadangan bank. Tercatat sejak awal 2018 sampai dengan sekarang, Bank Sentral China telah menurunkan persyaratan cadangan bank hingga enam kali. Selain itu, memberikan kelonggaran pinjaman.
Para analis pun berpendapat China akan memangkas suku bunga pinjaman jangka pendek, jika Federal Reserve AS jadi memotong suku bunga acuan di akhir bulan ini.
"Pelonggaran kebijakan ini bisa mendorong pertumbuhan kredit lebih luas," tulis Capital Economics. Sayangnya, sambung Capital, China terlalu pede sehingga lambat merespon perlambatan ekonomi. Kepercayaan bisnis yang goyah telah membebani investasi.
Capital pun menyebut penyaluran kredit bank-bank China pada bulan lalu hanya sebesar 1,66 triliun yuan atau USD241,47 miliar, tidak jauh beda dengan bulan Juni tahun lalu.
Menyikapi menurunnya angka ekspor-impor, dan melemahnya permintaan domestik, mengutip Asia Times, Perdana Menteri China, Li Keqiang berjanji akan menurunkan tarif dan meningkatkan potongan pajak untuk para eksportir.
(ven)