Tarif Tinggi AS Bakal Menampar Impor dari China hingga Rp286,5 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amerika Serikat (AS) meningkatkan tarif bea masuk terhadap beberapa produk- produk China , yang diklaim Gedung Putih sebagai langkah terbaru untuk melindungi pekerja dan bisnis Amerika. Langkah-langkah tersebut akan mempengaruhi impor senilai USD18 miliar atau setara Rp286,5 triliun (Kurs Rp15.918 per USD) termasuk di antaranya baja dan aluminium, semikonduktor, mineral penting, dan panel surya.
Dalam kebijakan baru tersebut, AS bakal melipatgandakan bea masuk untuk kendaraan listrik (EV) menjadi lebih dari 100% dan memberlakukan pungutan baru pada chip komputer, panel surya dan baterai lithium-ion.
Pejabat pemerintahan Biden mengklaim langkah-langkah itu datang sebagai tanggapan atas "praktik perdagangan tidak adil" selama bertahun-tahun oleh China . Termasuk di antaranya transfer teknologi secara paksa, pelanggaran kekayaan intelektual, dan peretasan dunia maya terhadap bisnis Amerika.
"China menggunakan pedoman yang sama dengan sebelumnya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi mereka dengan mengorbankan orang lain lewat terus berinvestasi, meskipun kelebihan kapasitas China dan membanjiri pasar global dengan ekspor yang underpriced karena praktik yang tidak adil," kata Penasihat Ekonomi Nasional Gedung Putih, Lael Brainard kepada wartawan seperti dilansir RT.
Perubahan tarif dibenarkan oleh Perwakilan Dagang AS Katherine, yang menuduh China mencuri kekayaan intelektual AS dan mengklaim bahwa dalam beberapa kasus Beijing telah menjadi "lebih agresif" dengan intrusi cyber yang menargetkan teknologi Amerika.
Dia menerangkan, tarif sebelumnya telah efektif dalam mengurangi impor barang-barang China AS, sambil meningkatkan impor dari negara lain. Menurut Biro Sensus AS, negara itu mengimpor barang senilai USD427 miliar dari China pada tahun 2023 dan mengekspor USD148 miliar.
Para pejabat AS telah berulang kali menyebut China sebagai "pesaing" utama Amerika, sambil memperketat pembatasan ekonomi terhadap negara berjuluk Negeri Tirai Bambu tersebut. Tarif barang-barang China dinaikkan secara signifikan di bawah mantan Presiden Donald Trump, yang meluncurkan tekanan pertama dalam tit-for-tat yang dimulai pada 2018.
Pendekatan serupa terus berlanjut di bawah penggantinya, Joe Biden, yang telah mengadopsi beberapa kebijakan yang ditujukan untuk ekonomi China. Beijing telah memperingatkan bahwa langkah-langkah tersebut melanggar prinsip-prinsip persaingan yang adil, dan membahayakan stabilitas perdagangan dunia.
Sementara itu pada pekan lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan, bahwa meningkatnya ketegangan perdagangan AS-China mengancam pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan.
Dalam kebijakan baru tersebut, AS bakal melipatgandakan bea masuk untuk kendaraan listrik (EV) menjadi lebih dari 100% dan memberlakukan pungutan baru pada chip komputer, panel surya dan baterai lithium-ion.
Pejabat pemerintahan Biden mengklaim langkah-langkah itu datang sebagai tanggapan atas "praktik perdagangan tidak adil" selama bertahun-tahun oleh China . Termasuk di antaranya transfer teknologi secara paksa, pelanggaran kekayaan intelektual, dan peretasan dunia maya terhadap bisnis Amerika.
"China menggunakan pedoman yang sama dengan sebelumnya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi mereka dengan mengorbankan orang lain lewat terus berinvestasi, meskipun kelebihan kapasitas China dan membanjiri pasar global dengan ekspor yang underpriced karena praktik yang tidak adil," kata Penasihat Ekonomi Nasional Gedung Putih, Lael Brainard kepada wartawan seperti dilansir RT.
Perubahan tarif dibenarkan oleh Perwakilan Dagang AS Katherine, yang menuduh China mencuri kekayaan intelektual AS dan mengklaim bahwa dalam beberapa kasus Beijing telah menjadi "lebih agresif" dengan intrusi cyber yang menargetkan teknologi Amerika.
Dia menerangkan, tarif sebelumnya telah efektif dalam mengurangi impor barang-barang China AS, sambil meningkatkan impor dari negara lain. Menurut Biro Sensus AS, negara itu mengimpor barang senilai USD427 miliar dari China pada tahun 2023 dan mengekspor USD148 miliar.
Para pejabat AS telah berulang kali menyebut China sebagai "pesaing" utama Amerika, sambil memperketat pembatasan ekonomi terhadap negara berjuluk Negeri Tirai Bambu tersebut. Tarif barang-barang China dinaikkan secara signifikan di bawah mantan Presiden Donald Trump, yang meluncurkan tekanan pertama dalam tit-for-tat yang dimulai pada 2018.
Pendekatan serupa terus berlanjut di bawah penggantinya, Joe Biden, yang telah mengadopsi beberapa kebijakan yang ditujukan untuk ekonomi China. Beijing telah memperingatkan bahwa langkah-langkah tersebut melanggar prinsip-prinsip persaingan yang adil, dan membahayakan stabilitas perdagangan dunia.
Sementara itu pada pekan lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan, bahwa meningkatnya ketegangan perdagangan AS-China mengancam pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan.
(akr)