PLN: Kualitas Udara Buruk Bukan Karena Pembangkit Listrik
A
A
A
JAKARTA - Kualitas udara yang buruk khususnya di Jakarta diyakini tidak disebabkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Executive Vice President Corporate Communication PT PLN (Persero), I Made Suprateka, mengungkapkan lokasi PLTU dan PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok terletak di bagian utara Jakarta. Demikian pula PLTU Batubara Lontar yang ada di Provinsi Banten.
"Saat ini sudah berkembang teknologi penangkap debu (Super Ultra Critical Represitator). Suplai kebutuhan listrik di Indonesia kebanyakan berasal dari PLTU, mengingat belum dapat terpenuhinya kebutuhan energi di lokasi tersebut yang berasal dari EBT," jelas Made dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/7/2019).
Radius sebaran dampak emisi PLTU batubara terjauh adalah 30 kilometer, dengan asumsi adanya emisi gas buangnya terdekat Batubara Lontar Banten, yang jaraknya 70 kilometer dari pusat kota Jakarta.
Saat ini, menurut Made, sejumlah PLTU pembangunannya dilakukan dengan baik oleh PLN ataupun oleh Independent Power Producer (IPP).
"Sudah menggunakan teknologi berbasis Super Ultra Critical Represitator, dimana debu yang keluar ditangkap dan dapat diendapkan. Sehingga dapat dicegah penyebarannya," tuturnya. Dengan demikian tidak ada lagi sebaran debu, karena volumenya sangat minim (hanya 2%) dari pembakaran batubara PLTU.
Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Teddy Caster Sianturi, mengatakan batubara masih dijadikan alternatif sumber energi. Hal ini karena terjadi transformasi kebutuhan energi dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya mengandalkan pada minyak dan gas bumi yang terbukti telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan menggunakan batubara yang cadangannya lebih besar, diperkirakan masih dapat dipergunakan sampai 50 tahun ke depan. Sementara cadangan migas hanya akan bertahan sekitar 20-30 tahun lagi.
Namun demikian, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah ditetapkan, pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Jika pada 2015, kontribusi EBT baru mencapai 5%, maka tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada 2050.
Sedangkan kontribusi gas relatif stabil, berkisar sekitar 23%. Kontribusi batubara akan meningkat dari 25% pada 2015 menjadi lebih dari 30% pada 2025, tetapi setelah itu dikurangi sehingga menjadi sekitar 25% pada 2050. Khusus untuk minyak bumi telah ditargetkan untuk dikurangi peranannya setiap tahun.
Jika pada 2015 kontribusinya mencapai 46%, maka angka tersebut akan turun menjadi kurang dari 25% pada 2025, dan terus menurun sehingga menjadi kurang dari 20% pada 2050.
"Saat ini sudah berkembang teknologi penangkap debu (Super Ultra Critical Represitator). Suplai kebutuhan listrik di Indonesia kebanyakan berasal dari PLTU, mengingat belum dapat terpenuhinya kebutuhan energi di lokasi tersebut yang berasal dari EBT," jelas Made dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/7/2019).
Radius sebaran dampak emisi PLTU batubara terjauh adalah 30 kilometer, dengan asumsi adanya emisi gas buangnya terdekat Batubara Lontar Banten, yang jaraknya 70 kilometer dari pusat kota Jakarta.
Saat ini, menurut Made, sejumlah PLTU pembangunannya dilakukan dengan baik oleh PLN ataupun oleh Independent Power Producer (IPP).
"Sudah menggunakan teknologi berbasis Super Ultra Critical Represitator, dimana debu yang keluar ditangkap dan dapat diendapkan. Sehingga dapat dicegah penyebarannya," tuturnya. Dengan demikian tidak ada lagi sebaran debu, karena volumenya sangat minim (hanya 2%) dari pembakaran batubara PLTU.
Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Teddy Caster Sianturi, mengatakan batubara masih dijadikan alternatif sumber energi. Hal ini karena terjadi transformasi kebutuhan energi dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya mengandalkan pada minyak dan gas bumi yang terbukti telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan menggunakan batubara yang cadangannya lebih besar, diperkirakan masih dapat dipergunakan sampai 50 tahun ke depan. Sementara cadangan migas hanya akan bertahan sekitar 20-30 tahun lagi.
Namun demikian, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah ditetapkan, pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Jika pada 2015, kontribusi EBT baru mencapai 5%, maka tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada 2050.
Sedangkan kontribusi gas relatif stabil, berkisar sekitar 23%. Kontribusi batubara akan meningkat dari 25% pada 2015 menjadi lebih dari 30% pada 2025, tetapi setelah itu dikurangi sehingga menjadi sekitar 25% pada 2050. Khusus untuk minyak bumi telah ditargetkan untuk dikurangi peranannya setiap tahun.
Jika pada 2015 kontribusinya mencapai 46%, maka angka tersebut akan turun menjadi kurang dari 25% pada 2025, dan terus menurun sehingga menjadi kurang dari 20% pada 2050.
(ven)