Hentikan Operasional 737 MAX, Kerugian Boeing Capai Rp41 Triliun
A
A
A
NEW YORK - Boeing Co melaporkan kerugian USD2,94 miliar (Rp41 triliun) pada kuartal II/2019 saat produsen pesawat terbesar di dunia itu menghadapi penghentian operasional 737 MAX.
Akibat laporan kerugian itu, saham Boeing merosot di awal perdagangan. Perusahaan itu telah memangkas produksi pesawat lorong tunggal itu dan mengeluarkan biaya hampir USD5 miliar pada kuartal itu akibat penghentian operasional pesawat yang mengalami kecelakaan di Ethiopia dan Indonesia.
Biaya yang dikeluarkan Boeing itu termasuk untuk kompensasi pada berbagai maskapai atas penundaan pengiriman pesanan pesawat MAX. Perusahaan juga akan mengeluarkan outlook baru untuk 2009 dalam waktu dekat.
Boeing menjelaskan, penerbangan pertama jet baru 777X ditunda hingga awal 2020, karena masalah dengan mesin General Electric Co. Sebelumnya, tes penerbangan pertama 777X direncanakan dilakukan pada akhir Juni.
Kerugian bersih Boeing pada kuartal yang berakhir hingga 30 Juni adalah USD2,94 miliar, dibandingkan dengan laba USD2,20 miliar setahun sebelumnya.
“Penjualan juga merosot 35% menjadi USD15,75 miliar dan juga di bawah proyeksi rata-rata USD18,55 miliar,” ungkap data IBES dari Refinitiv.
Pada awal Juli, sistem autopilot Boeing 737 Max dinyatakan bermasalah dan diminta untuk diperbaiki. Saran itu diungkapkan Badan Keselamatan Penerbangan Uni Eropa (EASA) sebagai salah satu syarat jika Boeing ingin kembali mengoperasikan 737 Max.
EASA mengirimkan lima persyaratan utama jika Boeing ingin menerbangkan kembali 737 Max. Persyaratan itu dikirimkan kepada Badan Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat (AS) dan Boeing. FAA sendiri belum memublikasikan hasil diskusi dan mengenai tuntutan perubahan yang diminta EASA kepada Boeing.
Ada indikasi permintaan EASA sangat dramatis karena akan memengaruhi biaya dan waktu agar Max kembali mengudara. Boeing memang harus bekerja keras agar Boeing 737 Max bisa kembali diterima pasar. Padahal, sebelumnya itu merupakan satu pesawat paling laris yang dimiliki Boeing.
Tidak lagi beroperasinya pesawat itu menyusul dua kali kecelakaan pesawat dalam lima bulan ber turut-turut yang menewaskan 346 orang. Akibat insinden tersebut, banyak maskapai di dunia tidak mau mengoperasikan pesawat jenis tersebut.
Seorang sumber yang akrab dengan FAA menyatakan, isu yang diungkapkan EASA sebenarnya konsisten dengan pertanyaan FAA. FAA sendiri menolak mengonfirmasi hal spesifik yang dipertanyakan EASA. “FAA terus bekerja sama lebih erat dengan otoritas penerbangan sipil untuk mengkaji dokumentasi sertifikasi 737 Max. Proses ini melibatkan komunikasi dengan semua pihak,” papar keterangan resmi FAA.
Boeing sendiri pasrah dan akan mengikuti semua prasyarat yang disampaikan EASA. “Kita juga siap memberikan informasi sebagaimana kita bekerja untuk mengembalikan pelayanan untuk Max,” ungkap keterangan Boeing.
Selain sistem autopilot, EASA juga menyebutkan pra syarat lain seperti kesulitan pilot untuk mengendalikan roda secara ma nual, sensor sudut Max yang tidak bisa diandalkan, prosedur latihan yang tidak cukup, dan peranti lunak yang bermasalah. Hal yang menjadi permasalahan utama adalah kegagalan sistem auto pilot saat situasi darurat. (Syarifudin)
Akibat laporan kerugian itu, saham Boeing merosot di awal perdagangan. Perusahaan itu telah memangkas produksi pesawat lorong tunggal itu dan mengeluarkan biaya hampir USD5 miliar pada kuartal itu akibat penghentian operasional pesawat yang mengalami kecelakaan di Ethiopia dan Indonesia.
Biaya yang dikeluarkan Boeing itu termasuk untuk kompensasi pada berbagai maskapai atas penundaan pengiriman pesanan pesawat MAX. Perusahaan juga akan mengeluarkan outlook baru untuk 2009 dalam waktu dekat.
Boeing menjelaskan, penerbangan pertama jet baru 777X ditunda hingga awal 2020, karena masalah dengan mesin General Electric Co. Sebelumnya, tes penerbangan pertama 777X direncanakan dilakukan pada akhir Juni.
Kerugian bersih Boeing pada kuartal yang berakhir hingga 30 Juni adalah USD2,94 miliar, dibandingkan dengan laba USD2,20 miliar setahun sebelumnya.
“Penjualan juga merosot 35% menjadi USD15,75 miliar dan juga di bawah proyeksi rata-rata USD18,55 miliar,” ungkap data IBES dari Refinitiv.
Pada awal Juli, sistem autopilot Boeing 737 Max dinyatakan bermasalah dan diminta untuk diperbaiki. Saran itu diungkapkan Badan Keselamatan Penerbangan Uni Eropa (EASA) sebagai salah satu syarat jika Boeing ingin kembali mengoperasikan 737 Max.
EASA mengirimkan lima persyaratan utama jika Boeing ingin menerbangkan kembali 737 Max. Persyaratan itu dikirimkan kepada Badan Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat (AS) dan Boeing. FAA sendiri belum memublikasikan hasil diskusi dan mengenai tuntutan perubahan yang diminta EASA kepada Boeing.
Ada indikasi permintaan EASA sangat dramatis karena akan memengaruhi biaya dan waktu agar Max kembali mengudara. Boeing memang harus bekerja keras agar Boeing 737 Max bisa kembali diterima pasar. Padahal, sebelumnya itu merupakan satu pesawat paling laris yang dimiliki Boeing.
Tidak lagi beroperasinya pesawat itu menyusul dua kali kecelakaan pesawat dalam lima bulan ber turut-turut yang menewaskan 346 orang. Akibat insinden tersebut, banyak maskapai di dunia tidak mau mengoperasikan pesawat jenis tersebut.
Seorang sumber yang akrab dengan FAA menyatakan, isu yang diungkapkan EASA sebenarnya konsisten dengan pertanyaan FAA. FAA sendiri menolak mengonfirmasi hal spesifik yang dipertanyakan EASA. “FAA terus bekerja sama lebih erat dengan otoritas penerbangan sipil untuk mengkaji dokumentasi sertifikasi 737 Max. Proses ini melibatkan komunikasi dengan semua pihak,” papar keterangan resmi FAA.
Boeing sendiri pasrah dan akan mengikuti semua prasyarat yang disampaikan EASA. “Kita juga siap memberikan informasi sebagaimana kita bekerja untuk mengembalikan pelayanan untuk Max,” ungkap keterangan Boeing.
Selain sistem autopilot, EASA juga menyebutkan pra syarat lain seperti kesulitan pilot untuk mengendalikan roda secara ma nual, sensor sudut Max yang tidak bisa diandalkan, prosedur latihan yang tidak cukup, dan peranti lunak yang bermasalah. Hal yang menjadi permasalahan utama adalah kegagalan sistem auto pilot saat situasi darurat. (Syarifudin)
(nfl)