Era Suku Bunga Rendah Dimulai Iringi Jejak The Fed
A
A
A
JAKARTA - Ekonom menilai langkah Bank Sentral Amerika Serikat alias The Federal Reserve (The Fed) yang akhirnya memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak 2008 menjadi pertanda dimulainya suku bunga rendah. Implikasinya kepada sektor moneter Indonesia diperkirakan dapat memicu Bank Indonesia (BI) untuk kembali lakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25-50 bps hingga akhir 2019.
Ekonom dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan ini berita bagus bagi dunia usaha karena biaya pinjaman bisa terus alami penurunan. "Dengan era bunga murah diharapkan sisi investasi dan ekspor bisa kembali terdorong naik," ujarnya di Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Sementara dampak kebijakan the Fed yang menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi ke kisaran 2% hingga 2,25% akan membuat Rupiah mengalami pelemahan. Para investor terang dia, tentu beralih ke USD karena efek pemangkasan bunga menjadi stimulus bagi ekonomi domestik AS.
"Stimulus moneter juga berarti ada dua sisi mata uang, yaitu menunjukkan adanya perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung. USD dianggap sebagai instrumen yang aman atau safe haven di tengah gejolak ekonomi dunia. Dollar index tercatat naik cukup tinggi ke 98.8," jelasnya.
Ekonom BNI Kiryanto menilai turunnya suku bunga the Fed atau FFR sudah diperkirakan sesuai dengan 'komitmen' Jerome Powell yang mempertimbangkan angka inflasi di bawah ekspektasi 2%. Serta kecenderungan laju pertumbuhan ekonomi AS yang juga melandai dari 3,1% di kuartal pertama ke 1,8% di kuartal dua sebagai angka estimasi.
Pemangkasan FFR ini dilihatnya bukan karena desakan Donald Trump, melainkan karena kondisi perekonomian AS yang melemah. Sebelum The Fed menurunkan FFR, bank-bank sentral negara lain di Uni Eropa (ECB), Brazil, Filipina, Jepang, Cina, Australia dan Indonesia sudah terlebih dahulu melonggarkan kebijakan moneternya melalui penurunan suku bunga acuan.
"Seiring dengan outlook perekonomian global yang melandai, rasanya suku bunga acuan di sejumlah negara (termasuk Indonesia) masih berpeluang untuk turun lagi. Jadi era kebijakan moneter yang dovish atau easy monetary policy memang sedang menjadi tren global," ujar Kiryanto.
Associate Director Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menambahkan, sejauh ini pemotongan suku bunga the Fed berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Ini karena memberikan keyakinan yang lebih besar akan potensi pemangkasan tingkat suku bunga Bank indonesia.
"Tentu hal ini akan mendorong arus modal atau capital inflow mengalir ke dalam negeri akan lebih besar. Dampaknya ini bisa memperkuat IHSG untuk positif, dan harga obligasi dapat menguat," ujar Maximilianus.
Ekonom dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan ini berita bagus bagi dunia usaha karena biaya pinjaman bisa terus alami penurunan. "Dengan era bunga murah diharapkan sisi investasi dan ekspor bisa kembali terdorong naik," ujarnya di Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Sementara dampak kebijakan the Fed yang menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi ke kisaran 2% hingga 2,25% akan membuat Rupiah mengalami pelemahan. Para investor terang dia, tentu beralih ke USD karena efek pemangkasan bunga menjadi stimulus bagi ekonomi domestik AS.
"Stimulus moneter juga berarti ada dua sisi mata uang, yaitu menunjukkan adanya perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung. USD dianggap sebagai instrumen yang aman atau safe haven di tengah gejolak ekonomi dunia. Dollar index tercatat naik cukup tinggi ke 98.8," jelasnya.
Ekonom BNI Kiryanto menilai turunnya suku bunga the Fed atau FFR sudah diperkirakan sesuai dengan 'komitmen' Jerome Powell yang mempertimbangkan angka inflasi di bawah ekspektasi 2%. Serta kecenderungan laju pertumbuhan ekonomi AS yang juga melandai dari 3,1% di kuartal pertama ke 1,8% di kuartal dua sebagai angka estimasi.
Pemangkasan FFR ini dilihatnya bukan karena desakan Donald Trump, melainkan karena kondisi perekonomian AS yang melemah. Sebelum The Fed menurunkan FFR, bank-bank sentral negara lain di Uni Eropa (ECB), Brazil, Filipina, Jepang, Cina, Australia dan Indonesia sudah terlebih dahulu melonggarkan kebijakan moneternya melalui penurunan suku bunga acuan.
"Seiring dengan outlook perekonomian global yang melandai, rasanya suku bunga acuan di sejumlah negara (termasuk Indonesia) masih berpeluang untuk turun lagi. Jadi era kebijakan moneter yang dovish atau easy monetary policy memang sedang menjadi tren global," ujar Kiryanto.
Associate Director Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menambahkan, sejauh ini pemotongan suku bunga the Fed berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Ini karena memberikan keyakinan yang lebih besar akan potensi pemangkasan tingkat suku bunga Bank indonesia.
"Tentu hal ini akan mendorong arus modal atau capital inflow mengalir ke dalam negeri akan lebih besar. Dampaknya ini bisa memperkuat IHSG untuk positif, dan harga obligasi dapat menguat," ujar Maximilianus.
(akr)