Penurunan Suku Bunga Belum Jamin Kredit Bakal Moncer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menginginkan industri perbankan secepatnya merespon rendahnya suku bunga acuan BI 7day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dengan menurunkan suku bunga kredit.
Penurunan suku bunga kredit tersebut diharapkan bisa mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pandemi Covid-19. Dengan suku bunga kredit yang rendah, pelaku usaha terangsang melakukan kredit untuk melakukan ekspansi dan belanja. Ujungnya kredit bertumbuh, konsumsi naik, ekonomi pun bangkit.
Untuk diketahui, sepanjang tahun lalu, BI7DRR telah turun hingga 125 bps dari 5,00% menjadi 3,75%, namun perbankan kurang greget dalam meresponnya. Hingga Desember 2020, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Modal Kerja tercatat turun 88 basis poin (bps) menjadi 8,88%, SBDK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21%, SBDK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97%.
Kemudian SBDK ritel 8,88% (turun 84,2 bps), korporasi 8,75% (turun 79,9 bps), kredit pemilikan rumah (KPR) 8,36% (turun 73,1 bps), non-KPR 8,69% (turun 56,3 bps), dan mikro 7,33% (turun 49 bps). Sayangnya laju penurunan suku bunga kredit ini tidak secepat suku bunga acuan BI.
Oleh sebab itu, BI berencana melakukan penguatan komunikasi dan transparansi suku bunga. Bahkan BI ingin menerbitkan aturan baru terkait publikasi asesmen suku bunga kredit berdasarkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dan spread SBDK. Diharapkan, hal ini dapat memperkuat pemahaman dunia usaha sehingga ujungnya akan mendorong bank bisa menurunkan suku bunga kredit masing-masing sesuai kondisinya.
Menanggapi rencana ini, Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata mengatakan, sebenarnya perbankan sudah berusaha menurunkan suku bunga pinjamannya tetapi memang perlu waktu, karena urutannya ketika suku bunga acuan BI turun maka turun pertama suku bunga deposito kemudian suku bunga pinjaman.
“Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya bukan hanya 2020 saja, memang agak melambat penurunannya kreditnya. Ada hal yang ekstra ordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas,” kata Anton di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, penurunan suku bunga kredit memang diperlukan, tapi ini tidak cukup dan bukan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit tercermin NPL, dan penjualan eceran.
Penurunan suku bunga kredit tersebut diharapkan bisa mempercepat pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pandemi Covid-19. Dengan suku bunga kredit yang rendah, pelaku usaha terangsang melakukan kredit untuk melakukan ekspansi dan belanja. Ujungnya kredit bertumbuh, konsumsi naik, ekonomi pun bangkit.
Untuk diketahui, sepanjang tahun lalu, BI7DRR telah turun hingga 125 bps dari 5,00% menjadi 3,75%, namun perbankan kurang greget dalam meresponnya. Hingga Desember 2020, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) Modal Kerja tercatat turun 88 basis poin (bps) menjadi 8,88%, SBDK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21%, SBDK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97%.
Kemudian SBDK ritel 8,88% (turun 84,2 bps), korporasi 8,75% (turun 79,9 bps), kredit pemilikan rumah (KPR) 8,36% (turun 73,1 bps), non-KPR 8,69% (turun 56,3 bps), dan mikro 7,33% (turun 49 bps). Sayangnya laju penurunan suku bunga kredit ini tidak secepat suku bunga acuan BI.
Oleh sebab itu, BI berencana melakukan penguatan komunikasi dan transparansi suku bunga. Bahkan BI ingin menerbitkan aturan baru terkait publikasi asesmen suku bunga kredit berdasarkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dan spread SBDK. Diharapkan, hal ini dapat memperkuat pemahaman dunia usaha sehingga ujungnya akan mendorong bank bisa menurunkan suku bunga kredit masing-masing sesuai kondisinya.
Menanggapi rencana ini, Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata mengatakan, sebenarnya perbankan sudah berusaha menurunkan suku bunga pinjamannya tetapi memang perlu waktu, karena urutannya ketika suku bunga acuan BI turun maka turun pertama suku bunga deposito kemudian suku bunga pinjaman.
“Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya bukan hanya 2020 saja, memang agak melambat penurunannya kreditnya. Ada hal yang ekstra ordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas,” kata Anton di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, penurunan suku bunga kredit memang diperlukan, tapi ini tidak cukup dan bukan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit tercermin NPL, dan penjualan eceran.