Operator Transportasi Online Belum Konsisten Terapkan Tarif Ojol
A
A
A
JAKARTA - Kehadiran moda transportasi online sebagai salah satu alternatif bisnis di era digital tak terelakkan. Selain memberikan kemudahan bagi mobilitas publik, juga mampu menciptakan lapangan kerja dan tambahan pendapatan bagi banyak orang.
Keberadaan ojek online (ojol) tentu menjadi salah satu yang paling fenomenal.
Belakangan dengan kenaikan tarif ojek online untuk penyesuaian, mulai muncul pro-kontra baik dari sisi pengemudi maupun konsumen ojol.
Direktur Angkutan Jalan dan Multimoda Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ahmad Yani mengatakan, pemerintah berupaya mengakomodasi supaya perubahan dari konvensional ke digitalisasi ini tidak memicu masalah sosial.
"Kami selaku instansi pemerintah sangat terbuka dalam hal kebijakan transportasi online, karena mau tidak mau kami harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia," ujarnya dalam The Indonesian Forum yang diselenggarakan oleh The Indonesian Instititue di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Saat ini, di Jakarta terdapat kurang lebih 140 komunitas ojol. Berkenaan tarif ojol, Ahmad mengakui dalam menggodok regulasi terkait tarif ojol ini terjadi tarik-menarik yang besar.
"Kemenhub sendiri di satu sisi berupaya melindungi driver, aplikator (perusahaan transportasi online), dan masyarakat selaku konsumen. Untuk penentuan tarif, kami juga mempertimbangkan hasil survei online terhadap 17.891 driver dan 12.596 pengguna aplikasi pada 4-6 Mei 2019," lanjut Ahmad.
Menurut dia, dari hasil survey tersebut diketahui bahwa pendapatan pengemudi ojol tidak berkurang, hanya jumlah trip (perjalanan) yang berkurang.
Sayangnya di sisi lain, kata dia, perusahaan transportasi online selaku aplikator belum konsisten menerapkan tarif harga jasa ojol.
Sebagai informasi, regulasi pedoman biaya dan jasa ojek online tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan nomor 348/2019.
Implementasi tarif baru ini mencakup tiga zona, diantaranya Sumatera, Jawa (tanpa Jabodetabek), dan Bali. Kemudian Zona II meliputi Jabodetabek, dan Zona III yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya.
Sesuai peraturan yang baru, tarif batas bawah untuk Zona I yakni Rp1.850 per km, sedangkan batas atasnya Rp2.300 per km. Sementara itu, biaya jasa minimal atau dalam 4 km pertama yakni Rp7.000-Rp10.000.
Sementara itu untuk Zona Jabodetabek besarannya yakni batas bawah Rp2.000 per km dan batas atas Rp2.500 per km. Adapun, biaya jasa minimal dalam 4 km pertama antara Rp8.000--Rp10.000.
Untuk Zona III, tarif batas bawah yakni Rp2.100 per km dan batas atasnya Rp2.600 per km. Sementara itu, biaya jasa minimal dalam 4 km pertama kisaran Rp 7.000--Rp.10.000.
"Pelaksanaan tidak bisa langsung di seluruh Indonesia, namun saat ini cakupannya sudah hampir 40% wilayah dan selanjutnya kami ingin mencakup 80% kota-kota di Indonesia," ungkap Ahmad.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan, era ekonomi berbagi (sharing economy) bagus, tapi di sisi lain hubungan kerja antara aplikator dengan mitranya harus baik dan proses bisnisnya jelas.
"Yang menjadi dilema tambahan bagi kami adalah dalam UU tidak ada angkutan umum roda dua. Kita tahu 70% kecelakaan melibatkan sepeda motor. Dalam UU sendiri tidak menyebutkan bahwa sepeda motor bisa dijadikan angkutan umum," tandas Ahmad.
Ahmad menjelaskan bahwa dalam dilema tersebut, pemerintah dituntut untuk menyiapkan regulasi.
"Dalam UU ada namanya diskresi untuk hal-hal yang tidak ada dalam UU. Karena ini tuntutan mereka, kami pun harus menentukan tarif. Saya yakin regulasi belum tentu menyenangkan semua pihak," jelasnya.
Ahmad menyimpulkan bahwa sharing economy tidak bisa ditantang, namun dia harapkan bisa ada satu sistem yang bisa mendukung itu semua.
"Saat ini dan ke depannya, diperlukan instansi khusus untuk menengahi proses bisnisnya dan perlu ada payung hukum yang lebih besar," tutupnya.
Keberadaan ojek online (ojol) tentu menjadi salah satu yang paling fenomenal.
Belakangan dengan kenaikan tarif ojek online untuk penyesuaian, mulai muncul pro-kontra baik dari sisi pengemudi maupun konsumen ojol.
Direktur Angkutan Jalan dan Multimoda Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ahmad Yani mengatakan, pemerintah berupaya mengakomodasi supaya perubahan dari konvensional ke digitalisasi ini tidak memicu masalah sosial.
"Kami selaku instansi pemerintah sangat terbuka dalam hal kebijakan transportasi online, karena mau tidak mau kami harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia," ujarnya dalam The Indonesian Forum yang diselenggarakan oleh The Indonesian Instititue di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Saat ini, di Jakarta terdapat kurang lebih 140 komunitas ojol. Berkenaan tarif ojol, Ahmad mengakui dalam menggodok regulasi terkait tarif ojol ini terjadi tarik-menarik yang besar.
"Kemenhub sendiri di satu sisi berupaya melindungi driver, aplikator (perusahaan transportasi online), dan masyarakat selaku konsumen. Untuk penentuan tarif, kami juga mempertimbangkan hasil survei online terhadap 17.891 driver dan 12.596 pengguna aplikasi pada 4-6 Mei 2019," lanjut Ahmad.
Menurut dia, dari hasil survey tersebut diketahui bahwa pendapatan pengemudi ojol tidak berkurang, hanya jumlah trip (perjalanan) yang berkurang.
Sayangnya di sisi lain, kata dia, perusahaan transportasi online selaku aplikator belum konsisten menerapkan tarif harga jasa ojol.
Sebagai informasi, regulasi pedoman biaya dan jasa ojek online tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan nomor 348/2019.
Implementasi tarif baru ini mencakup tiga zona, diantaranya Sumatera, Jawa (tanpa Jabodetabek), dan Bali. Kemudian Zona II meliputi Jabodetabek, dan Zona III yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya.
Sesuai peraturan yang baru, tarif batas bawah untuk Zona I yakni Rp1.850 per km, sedangkan batas atasnya Rp2.300 per km. Sementara itu, biaya jasa minimal atau dalam 4 km pertama yakni Rp7.000-Rp10.000.
Sementara itu untuk Zona Jabodetabek besarannya yakni batas bawah Rp2.000 per km dan batas atas Rp2.500 per km. Adapun, biaya jasa minimal dalam 4 km pertama antara Rp8.000--Rp10.000.
Untuk Zona III, tarif batas bawah yakni Rp2.100 per km dan batas atasnya Rp2.600 per km. Sementara itu, biaya jasa minimal dalam 4 km pertama kisaran Rp 7.000--Rp.10.000.
"Pelaksanaan tidak bisa langsung di seluruh Indonesia, namun saat ini cakupannya sudah hampir 40% wilayah dan selanjutnya kami ingin mencakup 80% kota-kota di Indonesia," ungkap Ahmad.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan, era ekonomi berbagi (sharing economy) bagus, tapi di sisi lain hubungan kerja antara aplikator dengan mitranya harus baik dan proses bisnisnya jelas.
"Yang menjadi dilema tambahan bagi kami adalah dalam UU tidak ada angkutan umum roda dua. Kita tahu 70% kecelakaan melibatkan sepeda motor. Dalam UU sendiri tidak menyebutkan bahwa sepeda motor bisa dijadikan angkutan umum," tandas Ahmad.
Ahmad menjelaskan bahwa dalam dilema tersebut, pemerintah dituntut untuk menyiapkan regulasi.
"Dalam UU ada namanya diskresi untuk hal-hal yang tidak ada dalam UU. Karena ini tuntutan mereka, kami pun harus menentukan tarif. Saya yakin regulasi belum tentu menyenangkan semua pihak," jelasnya.
Ahmad menyimpulkan bahwa sharing economy tidak bisa ditantang, namun dia harapkan bisa ada satu sistem yang bisa mendukung itu semua.
"Saat ini dan ke depannya, diperlukan instansi khusus untuk menengahi proses bisnisnya dan perlu ada payung hukum yang lebih besar," tutupnya.
(ind)