Pengusaha Sebut Target Pertumbuhan Ekonomi 2020 Masih Berat
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai asumsi pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,3% di tahun 2020 masih berat untuk dicapai. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 diperkirakan tidak akan sampai 5,2%.
"Realistisnya mungkin hanya sekitar 5%. Itu juga melihat keadaan perekonomian global yang penuh ketidakpastian," ujarnya di Jakarta, Jumat (16/8).
Sambung Shinta mengungkapkan, untuk meningkatkan ekonomi sampai pada level pertumbuhan 5,3% di akhir 2020 akan sangat tergantung pada apa yang akan dilakukan pemerintah hingga akhir tahun 2019 untuk memicu produktivitas nasional. Khususnya ekspor dan inbound investasi dengan lebih baik.
"Kalau hingga akhir tahun driver pertumbuhan hanya terus bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan pemerintah, rasanya target 5,3% masih terlalu ambisius," imbuhnya.
Menurut dia, meski pemerintah merencanakan ada perubahan kebijakan yang signifikan di tahun depan, para pelaku usaha, eksportir dan investor perlu waktu untuk bertindak berdasarkan kebijakan yg akan dikeluarkan. Misalnya, kebijakan penurunan PPh badan tidak serta merta akan ditindaklanjuti dengan investasi pada keesokan harinya.
"Pelaku usaha perlu berhitung dulu kelebihan dananya berapa dan sebaiknya dipergunakan untuk apa di antara opsi-opsi investasi yang ada dan memikirkan juga bagaimana manage-nya sebelum direalisasikan dalam bentuk transaksi investasi riil. Jadi waktu 1 tahun itu sebetulnya terlalu singkat untuk mengejar pertumbuhan kalau driver pertumbuhannya tidak “dipanaskan” dari sekarang," jelas Shinta.
Sementara nilai tukar dinilai masih realistis. Namun ini sangat tergantung pada kinerja kontrol pemerintah terhadap defisit current account. "Kita perlu lihat apakah pasca 1 September ekspor kita bisa cukup terdongkrak dengan peningkatan ekspor ke US atau tidak," tuturnya.
Apabila masih sluggish dan defisit dengan China masih lebar atau semakin lebar, maka akan menjadi masalah karena ini akan langsung mempengaruhi nilai tukar rupiah secara negatif di 2020.
"Pangsa pasar yang meningkat hanya di AS untuk bisa kita ekspansi ekspor. Kalau kita tidak bisa meningkatkan performa ekspor ke AS dengan baik bahkan pasca total war on tariff antara US-China, kemungkinan kita untuk bisa menembus pasar internasional lain akan sangat kecil karena ini berarti kita sudah sangat tidak kompetitif di pasar global," jelas Shinta.
Shinta menambahkan, untuk asumsi makro ekonomi seperti suku bunga, harga minyak, dan inflasi dinilai masih rasional dan realitis. "Saya rasa masih rasional dan realistis terhadap trend kondisi global dan domesik hingga tahun 2020," tandasnya.
"Realistisnya mungkin hanya sekitar 5%. Itu juga melihat keadaan perekonomian global yang penuh ketidakpastian," ujarnya di Jakarta, Jumat (16/8).
Sambung Shinta mengungkapkan, untuk meningkatkan ekonomi sampai pada level pertumbuhan 5,3% di akhir 2020 akan sangat tergantung pada apa yang akan dilakukan pemerintah hingga akhir tahun 2019 untuk memicu produktivitas nasional. Khususnya ekspor dan inbound investasi dengan lebih baik.
"Kalau hingga akhir tahun driver pertumbuhan hanya terus bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan pemerintah, rasanya target 5,3% masih terlalu ambisius," imbuhnya.
Menurut dia, meski pemerintah merencanakan ada perubahan kebijakan yang signifikan di tahun depan, para pelaku usaha, eksportir dan investor perlu waktu untuk bertindak berdasarkan kebijakan yg akan dikeluarkan. Misalnya, kebijakan penurunan PPh badan tidak serta merta akan ditindaklanjuti dengan investasi pada keesokan harinya.
"Pelaku usaha perlu berhitung dulu kelebihan dananya berapa dan sebaiknya dipergunakan untuk apa di antara opsi-opsi investasi yang ada dan memikirkan juga bagaimana manage-nya sebelum direalisasikan dalam bentuk transaksi investasi riil. Jadi waktu 1 tahun itu sebetulnya terlalu singkat untuk mengejar pertumbuhan kalau driver pertumbuhannya tidak “dipanaskan” dari sekarang," jelas Shinta.
Sementara nilai tukar dinilai masih realistis. Namun ini sangat tergantung pada kinerja kontrol pemerintah terhadap defisit current account. "Kita perlu lihat apakah pasca 1 September ekspor kita bisa cukup terdongkrak dengan peningkatan ekspor ke US atau tidak," tuturnya.
Apabila masih sluggish dan defisit dengan China masih lebar atau semakin lebar, maka akan menjadi masalah karena ini akan langsung mempengaruhi nilai tukar rupiah secara negatif di 2020.
"Pangsa pasar yang meningkat hanya di AS untuk bisa kita ekspansi ekspor. Kalau kita tidak bisa meningkatkan performa ekspor ke AS dengan baik bahkan pasca total war on tariff antara US-China, kemungkinan kita untuk bisa menembus pasar internasional lain akan sangat kecil karena ini berarti kita sudah sangat tidak kompetitif di pasar global," jelas Shinta.
Shinta menambahkan, untuk asumsi makro ekonomi seperti suku bunga, harga minyak, dan inflasi dinilai masih rasional dan realitis. "Saya rasa masih rasional dan realistis terhadap trend kondisi global dan domesik hingga tahun 2020," tandasnya.
(akr)