Soal Batang Toru, Tokoh Adat Serukan Merdeka dari Intervensi LSM Asing
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah tokoh adat di Sipirok, Marancar, Batangtoru (Simarboru), Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, menyerukan kemerdekaan dari intervensi lembaga swadaya asing (LSM) asing soal pembangunan pembangkit energi terbarukan PLTA Batang Toru.
Dalam pernyataannya di Jakarta, mereka meminta LSM yang kerap melakukan kampanye hitam terhadap pembangunan pembangkit listrik yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) itu berdialog agar memahami keadaan sesungguhnya di lapangan.
"Kampanye LSM asing itu ibarat kami yang punya rumah, tapi mereka yang melempari dengan batu dari luar," kata salah satu tokoh adat Raja Luat Sipirok Sutan Parlindungan Suangkupon Edward Siregar dalam keterangan resmi, Senin (19/8/2019).
Edward menjelaskan, masyarakat mendukung sepenuhnya pembangunan PLTA Batangtoru di wilayah Simarboru. Keberadaan PLTA Batang Toru bisa menyediakan kebutuhan listrik yang vital bagi masyarakat demi peradaban yang lebih baik.
Menurut dia, masyarakat Simarboru ingin mencapai peradaban yang setara dengan wilayah lain di Indonesia setelah 74 tahun Indonesia merdeka.
"Dengan listrik, anak-anak kami bisa belajar di malam hari. Akses informasi juga akan lebih terbuka. Jadi listrik ini bukan hanya untuk penerangan, tapi juga untuk peradaban," katanya.
Edward menyatakan kesejahteraan masyarakat pun diyakini bisa lebih meningkat saat PLTA Batang Toru beroperasi.
Industri kerajinan tenun bisa bekerja lebih lama. Lapangan pekerjaan juga akan terbuka baik di proyek PLTA ataupun usaha-usaha lain yang tumbuh karena tersedianya pasokan listrik.
Untuk menyatakan dukungan terhadap pembanguan PLTA Batang Toru, Edward bersama sejumlah tokoh adat yaitu Raja Adat Marancar Baginda Kali Rajo Yusuf Siregar, Mangaraja Tenggar Tawari Siregar, Baginda Marasakti Nasution Mara Iman Nasution, dan Baginda Paraduan Batubara Abdul Gani Batubara mendatangi Kantor Staf Presiden, pada Jumat (16/8/2019).
Sebelumnya mereka juga mendatangi Kementerian Luar Negeri untuk meminta agar anggota LSM asing yang mengganggu pembangunan PLTA demi kedaulatan listrik di Sumatra Utara ditegur bahkan dideportasi dari Indonesia.
Mereka pun mendatangi Kedutaan Besar Kerajaan Inggris dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda untuk meminta agar pemerintah kedua negara itu menertibkan warga negaranya yang kerap melakukan provokasi terkait pembangunan PLTA Batang Toru.
PLTA Batang Toru merupakan bagian dari program penyediaan listrik 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. PLTA itu bisa menghasilkan listrik hingga 510 MW dan bertipe peaker untuk menyangga hingga 15% saat beban puncak Sumatra Utara.
Saat ini, defisit listrik di Sumatra Utara itu diisi oleh pembangkit listrik berbahan bakar solar yang disewa dari luar negeri.
Saat beroperasi tahun 2022, PLTA Batang Toru akan menghemat solar untuk pembangkit listrik tenaga diesel hingga USD400 juta atau Rp5,6 triliun per tahun.
Pembangkit itu juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,6 juta-2,2 juta metrik ton CO2 per tahun. Jumlah itu mencakup empat persen dari target pengurangan emisi GRK secara nasional di sektor energi pada 2030.
Dalam pernyataannya di Jakarta, mereka meminta LSM yang kerap melakukan kampanye hitam terhadap pembangunan pembangkit listrik yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) itu berdialog agar memahami keadaan sesungguhnya di lapangan.
"Kampanye LSM asing itu ibarat kami yang punya rumah, tapi mereka yang melempari dengan batu dari luar," kata salah satu tokoh adat Raja Luat Sipirok Sutan Parlindungan Suangkupon Edward Siregar dalam keterangan resmi, Senin (19/8/2019).
Edward menjelaskan, masyarakat mendukung sepenuhnya pembangunan PLTA Batangtoru di wilayah Simarboru. Keberadaan PLTA Batang Toru bisa menyediakan kebutuhan listrik yang vital bagi masyarakat demi peradaban yang lebih baik.
Menurut dia, masyarakat Simarboru ingin mencapai peradaban yang setara dengan wilayah lain di Indonesia setelah 74 tahun Indonesia merdeka.
"Dengan listrik, anak-anak kami bisa belajar di malam hari. Akses informasi juga akan lebih terbuka. Jadi listrik ini bukan hanya untuk penerangan, tapi juga untuk peradaban," katanya.
Edward menyatakan kesejahteraan masyarakat pun diyakini bisa lebih meningkat saat PLTA Batang Toru beroperasi.
Industri kerajinan tenun bisa bekerja lebih lama. Lapangan pekerjaan juga akan terbuka baik di proyek PLTA ataupun usaha-usaha lain yang tumbuh karena tersedianya pasokan listrik.
Untuk menyatakan dukungan terhadap pembanguan PLTA Batang Toru, Edward bersama sejumlah tokoh adat yaitu Raja Adat Marancar Baginda Kali Rajo Yusuf Siregar, Mangaraja Tenggar Tawari Siregar, Baginda Marasakti Nasution Mara Iman Nasution, dan Baginda Paraduan Batubara Abdul Gani Batubara mendatangi Kantor Staf Presiden, pada Jumat (16/8/2019).
Sebelumnya mereka juga mendatangi Kementerian Luar Negeri untuk meminta agar anggota LSM asing yang mengganggu pembangunan PLTA demi kedaulatan listrik di Sumatra Utara ditegur bahkan dideportasi dari Indonesia.
Mereka pun mendatangi Kedutaan Besar Kerajaan Inggris dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda untuk meminta agar pemerintah kedua negara itu menertibkan warga negaranya yang kerap melakukan provokasi terkait pembangunan PLTA Batang Toru.
PLTA Batang Toru merupakan bagian dari program penyediaan listrik 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. PLTA itu bisa menghasilkan listrik hingga 510 MW dan bertipe peaker untuk menyangga hingga 15% saat beban puncak Sumatra Utara.
Saat ini, defisit listrik di Sumatra Utara itu diisi oleh pembangkit listrik berbahan bakar solar yang disewa dari luar negeri.
Saat beroperasi tahun 2022, PLTA Batang Toru akan menghemat solar untuk pembangkit listrik tenaga diesel hingga USD400 juta atau Rp5,6 triliun per tahun.
Pembangkit itu juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,6 juta-2,2 juta metrik ton CO2 per tahun. Jumlah itu mencakup empat persen dari target pengurangan emisi GRK secara nasional di sektor energi pada 2030.
(ven)