Luhut Ingin Percepat Aturan Larangan Ekspor Bijih Nikel Jadi Oktober
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, ingin mempercepat aturan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah. Sebelumnya, aturan ini akan berlaku pada 2022 tetapi dipercepat menjadi Oktober mendatang.
Luhut menjelaskan larangan ini untuk meningkatkan hilirisasi dan memberi nilai tambah. Dengan larangan ini, kata dia, harga bijih nikel sebesar USD36 per WMT (wet metrics ton) bisa naik menjadi USD100 WMT, bila diolah di smelter di Indonesia menjadi ferro nickel dan metal untuk menjadi bahan stainless steel.
Tidak itu saja, sambung dia, larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah ini diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009, dalam aturan disebut larangan berlaku pada 2022 untuk kadar nikel kurang dari 1,7%.
"Dan ini akan diumumkan oleh Presiden. Tapi saya ingin sampaikan bahwa ini ada undang-undangnya, mineral dan batu bara. Yang penting itu, seperti yang saya sampaikan ada nilai tambahnya. Jadi kalau low grade (kadar rendah), itu kita larang ekspor. Kita akan ekstrak menjadi kobalt," ujar Luhut di Jakarta, Kamis (21/8/2019).
Esktrak kobalt ini bisa menjadi bahan material baterai lithium, dimana tren energi listrik membutuhkan lithium. Dan 70% lithium, klaim Luhut, ada di Indonesia. "Jadi kita akan menjadi produsen baterai lithium, mungkin yang terbesar di dunia. Kita akan menjadi pemain dunia dan punya nilai tambah. Jangan sedikit-sedikit ekspor, dapatnya sedikit. Itu malah mengorbankan satu rencana besar," jelasnya.
Ia menambahkan investasi untuk ini akan mencapai USD18 miliar hingga USD20 miliar hingga tahun 2023. "Dari sana, kita akan ekspor hingga USD30 miliaran. Kan luar biasa," ungkapnya.
Selama ini, kata Luhut, Indonesia banyak mengekspor bahan mentah. Salah satunya PT Aneka Tambang (Antam), yang 40% kerjanya ekspor. Tapi selama sekian tahun tidak ada pabrik. "Jadi kita harus melihat national interest (kepentingan nasional) tidak ada kepentingan lain, atau lobi melobi," tandasnya.
Dan dengan pelarangan ekspor bijih nikel ini akan menambah keuntungan bagi Indonesia. "Logika berpikir saja, kamu ekspor bijih nikel itu hanya dapat USD700 juta. Sekarang kita buat added value, tahun lalu kita ekspor stainless steel USD5,8 miliar. Tahun ini USD7,3 miliar dan tahun depan USD12 miliar. Dan angka ini terus bertambah sejalan dengan jumlah investasi. Itu untuk generasi kamu, bukan untuk generasi saya," pungkasnya.
Luhut menjelaskan larangan ini untuk meningkatkan hilirisasi dan memberi nilai tambah. Dengan larangan ini, kata dia, harga bijih nikel sebesar USD36 per WMT (wet metrics ton) bisa naik menjadi USD100 WMT, bila diolah di smelter di Indonesia menjadi ferro nickel dan metal untuk menjadi bahan stainless steel.
Tidak itu saja, sambung dia, larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah ini diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009, dalam aturan disebut larangan berlaku pada 2022 untuk kadar nikel kurang dari 1,7%.
"Dan ini akan diumumkan oleh Presiden. Tapi saya ingin sampaikan bahwa ini ada undang-undangnya, mineral dan batu bara. Yang penting itu, seperti yang saya sampaikan ada nilai tambahnya. Jadi kalau low grade (kadar rendah), itu kita larang ekspor. Kita akan ekstrak menjadi kobalt," ujar Luhut di Jakarta, Kamis (21/8/2019).
Esktrak kobalt ini bisa menjadi bahan material baterai lithium, dimana tren energi listrik membutuhkan lithium. Dan 70% lithium, klaim Luhut, ada di Indonesia. "Jadi kita akan menjadi produsen baterai lithium, mungkin yang terbesar di dunia. Kita akan menjadi pemain dunia dan punya nilai tambah. Jangan sedikit-sedikit ekspor, dapatnya sedikit. Itu malah mengorbankan satu rencana besar," jelasnya.
Ia menambahkan investasi untuk ini akan mencapai USD18 miliar hingga USD20 miliar hingga tahun 2023. "Dari sana, kita akan ekspor hingga USD30 miliaran. Kan luar biasa," ungkapnya.
Selama ini, kata Luhut, Indonesia banyak mengekspor bahan mentah. Salah satunya PT Aneka Tambang (Antam), yang 40% kerjanya ekspor. Tapi selama sekian tahun tidak ada pabrik. "Jadi kita harus melihat national interest (kepentingan nasional) tidak ada kepentingan lain, atau lobi melobi," tandasnya.
Dan dengan pelarangan ekspor bijih nikel ini akan menambah keuntungan bagi Indonesia. "Logika berpikir saja, kamu ekspor bijih nikel itu hanya dapat USD700 juta. Sekarang kita buat added value, tahun lalu kita ekspor stainless steel USD5,8 miliar. Tahun ini USD7,3 miliar dan tahun depan USD12 miliar. Dan angka ini terus bertambah sejalan dengan jumlah investasi. Itu untuk generasi kamu, bukan untuk generasi saya," pungkasnya.
(ven)