Economic Outlook 2020, BI Proyeksi Perang Dagang Berlangsung Panjang
A
A
A
JAKARTA - Dalam Economic Outlook 2020, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan bahwa perang dagang antara dua ekonomi besar dunia yakni Amerika Serikat (AS) versus China bakal berlangsung panjang. Dampaknya diterangkan bakal menggerus ekspor negara-negara emerging market, termasuk di antaranya Indonesia.
"Perang dagang AS-China diprediksi akan berlangsung panjang. Fase pertama sudah dimulai, bisa kita lihat bahwa perdagangan global menurun drastis dan di negara-negara emerging market, para bank sentral menurunkan suku bunganya," ujar Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Seminar Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu(28/8/2019).
Ia mengatakan bahwa ada dua channel yang akan terdampak, pertama adalah sektor riil dimana ekspor akan terganggu. Hal ini mulai terlihat saat terjadi penurunan ekspor terus menerus baik itu dari sisi komoditi atau manufaktur, lalu kemudian pada sektor keuangan.
"Di channel sektor keuangan terjadi ketidakpastian global, dimana yield dari AS mencapai level terendah yaitu 1,5%. Para investor saat ini lari ke aset yang low risk," lanjut Destry.
Tercatat bahwa perekonomian Indonesia mayoritas didorong oleh ekonomi domestik yang terdiri dari unsur konsumsi masyarakat sebesar 55%, investasi 30% dan government spending 9%. Dengan komposisi tersebut, BI menyakini kondisi ekonomi domestik mampu menahan tekanan dari global.
"Ekonomi domestik kita lebih kuat dibandingkan negara emerging market lainnya, dengan demikian sumber pertumbuhan kita berasal dari ekonomi domestik. Asalkan konsumsinya pun produktif," tandasnya.
"Perang dagang AS-China diprediksi akan berlangsung panjang. Fase pertama sudah dimulai, bisa kita lihat bahwa perdagangan global menurun drastis dan di negara-negara emerging market, para bank sentral menurunkan suku bunganya," ujar Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam Seminar Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu(28/8/2019).
Ia mengatakan bahwa ada dua channel yang akan terdampak, pertama adalah sektor riil dimana ekspor akan terganggu. Hal ini mulai terlihat saat terjadi penurunan ekspor terus menerus baik itu dari sisi komoditi atau manufaktur, lalu kemudian pada sektor keuangan.
"Di channel sektor keuangan terjadi ketidakpastian global, dimana yield dari AS mencapai level terendah yaitu 1,5%. Para investor saat ini lari ke aset yang low risk," lanjut Destry.
Tercatat bahwa perekonomian Indonesia mayoritas didorong oleh ekonomi domestik yang terdiri dari unsur konsumsi masyarakat sebesar 55%, investasi 30% dan government spending 9%. Dengan komposisi tersebut, BI menyakini kondisi ekonomi domestik mampu menahan tekanan dari global.
"Ekonomi domestik kita lebih kuat dibandingkan negara emerging market lainnya, dengan demikian sumber pertumbuhan kita berasal dari ekonomi domestik. Asalkan konsumsinya pun produktif," tandasnya.
(akr)