Pemerintah Diminta Utamakan Kepentingan Nasional dalam Kebijakan Hilirisasi
A
A
A
JAKARTA - Center For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) mendorong pemerintah untuk menentukan prioritas yang bersifat jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek dalam kebijakan hilirisasi. Dengan begitu, diharapkan tujuan jangka pendek tidak malah mengorbankan tujuan jangka panjangnya.
Pemerintah diminta memberikan perhatian dan keperpihakan kepada kemampuan nasional daripada kemampuan asing. Dalam konteks ini, CIRUSS menyayangkan rencana pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor bijih nikel. CIRUSS menilai, pemerintah seolah-olah tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang dan terkesan mengikuti tekanan kelompok tertentu.
"Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional untuk mewujudkan hilirisasi. Kebijakan ini gagal memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014 dan 2017. Sedang 2022 juga berpotensi gagal," ungkap Direktur CIRUS Budi Santoso dalam keterangan tertulis, Kamis (29/8/2019).
Selama ini, kata dia, ada beberapa kesulitan pengusaha tambang nasional dalam membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), mulai dari perizinan, teknikal (sumber daya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu lima tahun.
Menurut dia, pemerintah seharusnya dapat mengurangi atau meringankan beban tersebut atau memberi kelonggaran waktu lebih fleksibel untuk memenuhi rencana sesuai dengan praktik umum kegiatan usaha.
"Fakta yang dialami pengusaha nasional yang akhirnya menjadi mitra minoritas seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih mendorong kapasitas dan kemampuan nasional meningkat. Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pembuatan smelter," tandasnya.
Budi mengatakan, dalam praktiknya, bijih nikel yang dipasok ke pabrik dibeli dengan harga di bawah harga harga pasar internasional. Sehingga, secara tidak langsung pemilik smelter menikmati keuntungan berlipat, yaitu margin harga dengan pasar internasional dan biaya pengapalan.
Terkait dengan itu, CIRUSS memberi beberapa masukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan yang dinilai inkonsisten tersebut. Pertama, melakukan evaluasi atas kegagalan perusahaan nasional membangun smelter dan menghilangkan faktor-faktor penghambat seperti perizinan, faktor teknis, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar.
Kedua, meninjau kembali konsep hilirasi yang mengikat dengan IUP untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri. Ketiga, mempercepat ditetapkannya Kebijakan Mineral dan Batubara Nasional sebelum melakukan perubahan UU ataupun peraturan.
"Keempat, menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui mediator sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar internasional," ujarnya.
Pemerintah juga diminta mempertimbangkan masalah kegiatan ekonomi regional yang masih mengandalkan kegiatan tambang, sehingga tidak terjadi keresahan sosial apabila terjadi pemberhentian produksi karena tidak dapat menjual hasil tambangnya.
Pemerintah diminta memberikan perhatian dan keperpihakan kepada kemampuan nasional daripada kemampuan asing. Dalam konteks ini, CIRUSS menyayangkan rencana pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor bijih nikel. CIRUSS menilai, pemerintah seolah-olah tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang dan terkesan mengikuti tekanan kelompok tertentu.
"Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional untuk mewujudkan hilirisasi. Kebijakan ini gagal memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014 dan 2017. Sedang 2022 juga berpotensi gagal," ungkap Direktur CIRUS Budi Santoso dalam keterangan tertulis, Kamis (29/8/2019).
Selama ini, kata dia, ada beberapa kesulitan pengusaha tambang nasional dalam membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), mulai dari perizinan, teknikal (sumber daya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu lima tahun.
Menurut dia, pemerintah seharusnya dapat mengurangi atau meringankan beban tersebut atau memberi kelonggaran waktu lebih fleksibel untuk memenuhi rencana sesuai dengan praktik umum kegiatan usaha.
"Fakta yang dialami pengusaha nasional yang akhirnya menjadi mitra minoritas seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih mendorong kapasitas dan kemampuan nasional meningkat. Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pembuatan smelter," tandasnya.
Budi mengatakan, dalam praktiknya, bijih nikel yang dipasok ke pabrik dibeli dengan harga di bawah harga harga pasar internasional. Sehingga, secara tidak langsung pemilik smelter menikmati keuntungan berlipat, yaitu margin harga dengan pasar internasional dan biaya pengapalan.
Terkait dengan itu, CIRUSS memberi beberapa masukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan yang dinilai inkonsisten tersebut. Pertama, melakukan evaluasi atas kegagalan perusahaan nasional membangun smelter dan menghilangkan faktor-faktor penghambat seperti perizinan, faktor teknis, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar.
Kedua, meninjau kembali konsep hilirasi yang mengikat dengan IUP untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri. Ketiga, mempercepat ditetapkannya Kebijakan Mineral dan Batubara Nasional sebelum melakukan perubahan UU ataupun peraturan.
"Keempat, menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui mediator sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar internasional," ujarnya.
Pemerintah juga diminta mempertimbangkan masalah kegiatan ekonomi regional yang masih mengandalkan kegiatan tambang, sehingga tidak terjadi keresahan sosial apabila terjadi pemberhentian produksi karena tidak dapat menjual hasil tambangnya.
(fjo)