Perkuat Penanganan Pencemaran Minyak, RI Ratifikasi Konvensi OPRC
A
A
A
JAKARTA - Musibah pencemaran minyak yang terjadi di laut Indonesia dalam dekade terakhir masih sering terjadi. Musibah di laut ini harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
Pasalnya, setiap kejadian tumpahan minyak ini sering berakibat terjadinya pencemaran perairan dan berdampak pada kerusakan lingkungan serta kerugian ekonomi yang sangat besar. Bahkan, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Demikian disampaikan Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ahmad, yang disampaikan oleh Kasubdit Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air Een Nuraini Saidah pada acara Konsinyering Pembahasan Ratifikasi Konvensi OPRC 1990, di Hotel SwissBellin Kemayoran, Jakarta.
Konsinyering ini merupakan langkah penting sebagai bagian dari proses meratifikasi regulasi internasional, yaitu International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-Operation 1990 atau dikenal sebagai Konvensi OPRC.
“Konvensi OPRC lahir dari suatu konferensi di Paris pada bulan Juli Tahun 1989 yang selanjutnya oleh International Maritime Organization Assembly diadopsi pada tanggal 30 November 1989 dan baru berlaku atau entry into force pada tanggal 13 Mei Tahun 1995," kata Ahmad di Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Substansi pokok dari Konvensi OPRC yaitu mengamanatkan kepada negara peserta dari konvensi tersebut untuk menyiapkan tindakan-tindakan yang diperlukan sebagai upaya kesiapsiagaan dalam hal terjadi musibah pencemaran khususnya oleh minyak di laut.
Selain itu, guna mendukung kelancaran dan keberhasilan upaya penanggulangan pencemaran minyak di laut, Konvensi OPRC juga mengamanatkan agar negara peserta konvensi menjalin kerjasama penanggulangan pencemaran baik dalam lingkup nasional maupun kerjasama regional dan internasional dengan negara lain.
Beberapa kejadian tumpahan minyak di lautan Indonesia yang menjadi perhatian kita semua dalam beberapa tahun terakhir antara lain adalah tumpahan minyak Heavy Crude Oil akibat Montara Whelhead Platform Blow Out milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Thailand di Laut Timor wilayah perairan barat Australia pada 21 Agustus 2009 yang mencemari pantai selatan Nusa Tenggara Timur.
Selanjutnya, tumpahan minyak dari kapal MT. Alyarmouk yang bertubrukan dengan MV. Sinar Kapuas di Selat Singapura pada 2 Januari 2015 dan menyebar ke perairan Indonesia.
Selain itu, tumpahan minyak MFO 180 dari MT. Martha Petrol, kandas di lepas perairan Pantai Teluk Penyu, Cilacap pada 3 Mei 2015.
Berikutnya pada 31 Maret 2018, puluhan ribu barel crude oil tumpahan minyak dari bocornya pipa bawah laut milik PT. (Persero) Pertamina RU V Balikpapan, di perairan Teluk Balikpapan.
Adapun yang baru-baru ini terjadi yaitu blowout sumur minyak non aktif MQ3 (Area Mike Mike Flowstation) PHE-ONWJ di Laut Jawa wilayah perairan Pamanukan pada 23 November 2018 sekitar pukul 07.00 WIB serta tumpahan minyak di Anjungan YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java yang sampai saat ini masih dalam proses penanggulangan.
“Terhadap musibah di laut tersebut, dengan peralatan yang dimiliki dan kompetensi personil dan koordinasi antara institusi terkait, dapat dilakukan penanggulangan meskipun tidak semuanya dapat berjalan secara optimal dikarenakan beberapa hambatan di lapangan,” kata Ahmad.
Dalam konteks penanggulangan tumpahan minyak di laut, Indonesia sudah mempunyai mekanisme koordinasi secara nasional dibawah Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Akibat Tumpahan Minyak di Laut sejak Tahun 2006 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2006 tersebut memuat mengenai keberadaan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang beranggotakan 13 instansi kementerian/lembaga pemerintah.
Ahmad menambahkan, Kemenhub selaku Ketua Tim Nasional memandang perlu bagi Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi OPRC 1990. Untuk itulah melalui workshop ini pemerintah berharap akan diperoleh masukan-masukan dari para nara sumber dan peserta yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing khususnya terkait dengan seluk beluk konvensi internasional maupun terhadap proses penyusunan regulasi nasional di Indonesia.
“Pemerintah berharap workshop kali ini dapat memberikan gambaran yang jelas guna persiapan awal dalam rangka proses ratifikasi Konvensi OPRC 1990 sehingga bisa ditindakanjuti secara intensif sampai dengan diterbitkannya regulasi nasional tentang ratifikasi OPRC 1990,” tutup Ahmad.
Sebagai informasi proses penerjemahan maupun penyusunan draft Naskah Akademik serta Draft Perpres guna persiapan ratifikasi sudah disusun oleh Tim Kecil Ditjen Perhubungan Laut yang bekerjasama dan didukung oleh PKSPL-IPB, tidak hanya translasi dan naskah akademik Konvensi OPRC namun juga OPRC-HNS Protocol 2000.
Dengan demikian proses pembahasan ratifikasi nantinya dapat sekalian diterbitkan ratifikasi terkait dengan OPRC Convention 1990 dan juga OPRC-HNS Protocol 2000.
Pasalnya, setiap kejadian tumpahan minyak ini sering berakibat terjadinya pencemaran perairan dan berdampak pada kerusakan lingkungan serta kerugian ekonomi yang sangat besar. Bahkan, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Demikian disampaikan Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ahmad, yang disampaikan oleh Kasubdit Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air Een Nuraini Saidah pada acara Konsinyering Pembahasan Ratifikasi Konvensi OPRC 1990, di Hotel SwissBellin Kemayoran, Jakarta.
Konsinyering ini merupakan langkah penting sebagai bagian dari proses meratifikasi regulasi internasional, yaitu International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-Operation 1990 atau dikenal sebagai Konvensi OPRC.
“Konvensi OPRC lahir dari suatu konferensi di Paris pada bulan Juli Tahun 1989 yang selanjutnya oleh International Maritime Organization Assembly diadopsi pada tanggal 30 November 1989 dan baru berlaku atau entry into force pada tanggal 13 Mei Tahun 1995," kata Ahmad di Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Substansi pokok dari Konvensi OPRC yaitu mengamanatkan kepada negara peserta dari konvensi tersebut untuk menyiapkan tindakan-tindakan yang diperlukan sebagai upaya kesiapsiagaan dalam hal terjadi musibah pencemaran khususnya oleh minyak di laut.
Selain itu, guna mendukung kelancaran dan keberhasilan upaya penanggulangan pencemaran minyak di laut, Konvensi OPRC juga mengamanatkan agar negara peserta konvensi menjalin kerjasama penanggulangan pencemaran baik dalam lingkup nasional maupun kerjasama regional dan internasional dengan negara lain.
Beberapa kejadian tumpahan minyak di lautan Indonesia yang menjadi perhatian kita semua dalam beberapa tahun terakhir antara lain adalah tumpahan minyak Heavy Crude Oil akibat Montara Whelhead Platform Blow Out milik Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Thailand di Laut Timor wilayah perairan barat Australia pada 21 Agustus 2009 yang mencemari pantai selatan Nusa Tenggara Timur.
Selanjutnya, tumpahan minyak dari kapal MT. Alyarmouk yang bertubrukan dengan MV. Sinar Kapuas di Selat Singapura pada 2 Januari 2015 dan menyebar ke perairan Indonesia.
Selain itu, tumpahan minyak MFO 180 dari MT. Martha Petrol, kandas di lepas perairan Pantai Teluk Penyu, Cilacap pada 3 Mei 2015.
Berikutnya pada 31 Maret 2018, puluhan ribu barel crude oil tumpahan minyak dari bocornya pipa bawah laut milik PT. (Persero) Pertamina RU V Balikpapan, di perairan Teluk Balikpapan.
Adapun yang baru-baru ini terjadi yaitu blowout sumur minyak non aktif MQ3 (Area Mike Mike Flowstation) PHE-ONWJ di Laut Jawa wilayah perairan Pamanukan pada 23 November 2018 sekitar pukul 07.00 WIB serta tumpahan minyak di Anjungan YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java yang sampai saat ini masih dalam proses penanggulangan.
“Terhadap musibah di laut tersebut, dengan peralatan yang dimiliki dan kompetensi personil dan koordinasi antara institusi terkait, dapat dilakukan penanggulangan meskipun tidak semuanya dapat berjalan secara optimal dikarenakan beberapa hambatan di lapangan,” kata Ahmad.
Dalam konteks penanggulangan tumpahan minyak di laut, Indonesia sudah mempunyai mekanisme koordinasi secara nasional dibawah Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Akibat Tumpahan Minyak di Laut sejak Tahun 2006 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Dalam Perpres Nomor 109 Tahun 2006 tersebut memuat mengenai keberadaan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang beranggotakan 13 instansi kementerian/lembaga pemerintah.
Ahmad menambahkan, Kemenhub selaku Ketua Tim Nasional memandang perlu bagi Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi OPRC 1990. Untuk itulah melalui workshop ini pemerintah berharap akan diperoleh masukan-masukan dari para nara sumber dan peserta yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing khususnya terkait dengan seluk beluk konvensi internasional maupun terhadap proses penyusunan regulasi nasional di Indonesia.
“Pemerintah berharap workshop kali ini dapat memberikan gambaran yang jelas guna persiapan awal dalam rangka proses ratifikasi Konvensi OPRC 1990 sehingga bisa ditindakanjuti secara intensif sampai dengan diterbitkannya regulasi nasional tentang ratifikasi OPRC 1990,” tutup Ahmad.
Sebagai informasi proses penerjemahan maupun penyusunan draft Naskah Akademik serta Draft Perpres guna persiapan ratifikasi sudah disusun oleh Tim Kecil Ditjen Perhubungan Laut yang bekerjasama dan didukung oleh PKSPL-IPB, tidak hanya translasi dan naskah akademik Konvensi OPRC namun juga OPRC-HNS Protocol 2000.
Dengan demikian proses pembahasan ratifikasi nantinya dapat sekalian diterbitkan ratifikasi terkait dengan OPRC Convention 1990 dan juga OPRC-HNS Protocol 2000.
(ind)