Norwegian Air Harus Bertahan sebagai Low-cost Carrier
A
A
A
OSLO - Maskapai penerbangan bertarif murah (low-cost carrier) harus berjuang keras untuk bertahan dalam persaingan dan tantangan yang semakin ketat.
Itu dibuktikan dengan Norwegian Air yang meminta perpanjangan waktu untuk pembayaran obligasi. Insiden itu setelah Ryanair dan easyJet juga menghadapi permasalahan kerugian dan hutang yang tinggi. Norwegian Air meminta perpanjangan waktu pembayaran selama dua tahun kepada pemegang obligasi senilai USD380 juta.
Itu sebagai upaya untuk menyelamatkan keuangan perusahaan tersebut. Penyebab keguncangan Norwegian Air sama seperti yang dihadapi Ryanair dan easyJet karena ekspansi yang terlalu cepat sehingga mengakibatkan jumlah hutang terus menumpuk.
Maskapai penerbangan bertarif rendah di Eropa memang mengalami perjuangan berat selama dua tahun terakhir, termasuk Monarch dan Flybmi di Inggris, serta Air Berlin di Jerman. Biaya operasional yang menaik hingga fluktuasi harga avtur menjadi alasan utama di balik kebangkrutan banyak maskapai.
Harga bahan bakar pesawat pada Februari tahun lalu, USD1,85 per galon. Itu mengalami kenaikan dua kali lipat dibandingkan dua tahun sebelumnya di mana mencapai USD0,93 per galon. Februari tahun ini harga avtur mencapai USD1,51, sedangkan Mei mencapai USD2 per galon.
Kondisi keuangan yang dihadapi Norwegian Air memburuk karena mereka diminta untuk mendapatkan USD335 juta dari pemegang saham tahun ini. Namun, modal kerja mereka mengalami penurunan pada 2019 karena peraturan ketat industri mengenai pembayaran tiket.
Selain itu, pengandangan 18 Boeing 737 MAX yang menambah beban finansial bagi mereka. Obligasi perusahaan yang seharusnya dicairkan pada Desember 2019 dan Agustus 2020 akan diperpanjang hingga November 2021 dan Februari 2022 dengan ketentuan pemegang obligasi menyepakati hal tersebut.
Rapat pemegang obligasi akan dilaksanakan pada 16 September mendatang. “Apa yang kita lakukan saat ini adalah menjamin kalau kita memiliki likuiditas yang cukup untuk 12 bulan mendatang,” terang CEO sementara, Geir Karlsen, kepada Reuters.
Dia memperkirakan akan memberikan uang tunai bagi pemegang obligasi. Saham Norwegia pun mengalami kerugian perdagangan dan turun hingga 0,9%. Dalam pandangan analis Sydbank, Jacob Pedersen, pada salah satu sisi, itu menjadi tanda buruk kalau dana perusahaan mulai mongering.
Namun, semua pihak mengetahui dengan melihat kondisi finansial bisa segera di atas. “Sinyal positif adalah perusahaan melakukan segala upaya untuk memitigasi isu tersebut dan permasalahan keuangan,” ujar Pedersen. “Itu solusi baik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kita akan melihat apakah pemegang obligasi akan berpikir hal yang sama,”paparnya.Pendiri Norwegian Air, Bjoern Kjos, mengundurkan diri dari CEO pada Juli lalu sebagai langkah untuk memudahkan untuk penjualan maskapai tersebut.
Mereka sudah melaksanakan perundingan dengan IAS, perusahaan induk yang mengelola British Airways, sejak Januari lalu. Saham IAG, sama seperti Ryanair dan Wizz Air, mengalami kenaikan karena spekulasi konsolidasi di sektor penerbangan udara.
Permasalahan lain bagi Norwegian Air adalah dikandangkannya pesawat Boeing 737 MAX sejak Maret silam karena dua kecelakaan yang mematikan. “Tidak ada pandangan bahwa kita mengetahui kapan pesawat tersebut akan mengudara lagi. Kita sesungguhnya tidak berencana menerbangkan MAX tahun ini,” kata Karlsen.Pengandangan 737 MAX berdampak besar bagi keuangan Norwegian Air karena merugi hingga USD700 juta crown pada 2019. Akibatnya, mereka juga tidak lagi melayani rute penerbangan ke Irlandia dan Amerika Utara.
Namun secara keseluruhan, performa operasi maskapai tersebut membaik sejak pertengahan Juli lalu. Namun, dana kapital perusahaan tersebut mengalami penurunan tahun ini. “Di tengah performa yang digarisbawahi, kita bergerak menuju arah yang tepat,” ujar Karlsen.
Umumnya, Norwegian Air memang bergantung dengan pembayaran tiket dengan kartu kredit. Namun, aturan industri yang ketat membuat hal itu sangat sulit. Dana kapital perusahaan menurun sekitar 4 juta crown. Dalam analis dari Bernstein, Daniel Roeska, posisi Norwegian Air dalam posisi yang sulit.
Menurut dia, mereka berusaha mengelola krisis dengan cara yang terbaik meskipun posisinya sudah di ujung jurang. Norwegian Air memang tumbuh dengan pesat. Pada 2012, mereka bersiap menjadi pemain besar pada pasar transatlantic dengan memesan 222 pesawat, itu menjadi pemesan pesawat terbesar di Eropa.
Akan tetapi, langkah agresif itu menimbulkan hutang yang menumpuk. Ruang untuk bergerak untuk semakin sulit. “Kesulitan model bisnis jangka panjang memang tidak bekerja. Model bisnis jangka panjang tidak tepat untuk maskapai bertarif murah,” kata Roeska.
Selama 2019 ini, setidaknya tiga maskapai bertarif rendah mengalami kebangkrutan. Germania yang didirikan pada 1978, maskapai berbasis di Jerman menawarkan layanan sewa pesawat dan pesawat penumpang. Maskapai itu dinyatakan tutup pada awal Februari karena masalah keuangan yang tidak bisa diselesaikan.
Flybmi/British Midland Regional yang berdiri pada 1987, tidak beroperasi pada Februari 2019. Kemudian, Wow Air, maskapai berbiaya murah asal Islandia tidak beroperasi pada Maret 2019. Itu disebabkan mereka gagal mendapatkan investasi baru dari Icelandair dan firma ekuitas Indigo Partners.
Terus, apakah maskapai bertarif murah akan bertahan? CEO Ranair Michael o’Leary memprediksi akan banyak maskapai yang menghadapi kegagalan. Apa penyebabnya? “Permasalahan keuangan,” katanya. (Andika H Mustaqim)
Itu dibuktikan dengan Norwegian Air yang meminta perpanjangan waktu untuk pembayaran obligasi. Insiden itu setelah Ryanair dan easyJet juga menghadapi permasalahan kerugian dan hutang yang tinggi. Norwegian Air meminta perpanjangan waktu pembayaran selama dua tahun kepada pemegang obligasi senilai USD380 juta.
Itu sebagai upaya untuk menyelamatkan keuangan perusahaan tersebut. Penyebab keguncangan Norwegian Air sama seperti yang dihadapi Ryanair dan easyJet karena ekspansi yang terlalu cepat sehingga mengakibatkan jumlah hutang terus menumpuk.
Maskapai penerbangan bertarif rendah di Eropa memang mengalami perjuangan berat selama dua tahun terakhir, termasuk Monarch dan Flybmi di Inggris, serta Air Berlin di Jerman. Biaya operasional yang menaik hingga fluktuasi harga avtur menjadi alasan utama di balik kebangkrutan banyak maskapai.
Harga bahan bakar pesawat pada Februari tahun lalu, USD1,85 per galon. Itu mengalami kenaikan dua kali lipat dibandingkan dua tahun sebelumnya di mana mencapai USD0,93 per galon. Februari tahun ini harga avtur mencapai USD1,51, sedangkan Mei mencapai USD2 per galon.
Kondisi keuangan yang dihadapi Norwegian Air memburuk karena mereka diminta untuk mendapatkan USD335 juta dari pemegang saham tahun ini. Namun, modal kerja mereka mengalami penurunan pada 2019 karena peraturan ketat industri mengenai pembayaran tiket.
Selain itu, pengandangan 18 Boeing 737 MAX yang menambah beban finansial bagi mereka. Obligasi perusahaan yang seharusnya dicairkan pada Desember 2019 dan Agustus 2020 akan diperpanjang hingga November 2021 dan Februari 2022 dengan ketentuan pemegang obligasi menyepakati hal tersebut.
Rapat pemegang obligasi akan dilaksanakan pada 16 September mendatang. “Apa yang kita lakukan saat ini adalah menjamin kalau kita memiliki likuiditas yang cukup untuk 12 bulan mendatang,” terang CEO sementara, Geir Karlsen, kepada Reuters.
Dia memperkirakan akan memberikan uang tunai bagi pemegang obligasi. Saham Norwegia pun mengalami kerugian perdagangan dan turun hingga 0,9%. Dalam pandangan analis Sydbank, Jacob Pedersen, pada salah satu sisi, itu menjadi tanda buruk kalau dana perusahaan mulai mongering.
Namun, semua pihak mengetahui dengan melihat kondisi finansial bisa segera di atas. “Sinyal positif adalah perusahaan melakukan segala upaya untuk memitigasi isu tersebut dan permasalahan keuangan,” ujar Pedersen. “Itu solusi baik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kita akan melihat apakah pemegang obligasi akan berpikir hal yang sama,”paparnya.Pendiri Norwegian Air, Bjoern Kjos, mengundurkan diri dari CEO pada Juli lalu sebagai langkah untuk memudahkan untuk penjualan maskapai tersebut.
Mereka sudah melaksanakan perundingan dengan IAS, perusahaan induk yang mengelola British Airways, sejak Januari lalu. Saham IAG, sama seperti Ryanair dan Wizz Air, mengalami kenaikan karena spekulasi konsolidasi di sektor penerbangan udara.
Permasalahan lain bagi Norwegian Air adalah dikandangkannya pesawat Boeing 737 MAX sejak Maret silam karena dua kecelakaan yang mematikan. “Tidak ada pandangan bahwa kita mengetahui kapan pesawat tersebut akan mengudara lagi. Kita sesungguhnya tidak berencana menerbangkan MAX tahun ini,” kata Karlsen.Pengandangan 737 MAX berdampak besar bagi keuangan Norwegian Air karena merugi hingga USD700 juta crown pada 2019. Akibatnya, mereka juga tidak lagi melayani rute penerbangan ke Irlandia dan Amerika Utara.
Namun secara keseluruhan, performa operasi maskapai tersebut membaik sejak pertengahan Juli lalu. Namun, dana kapital perusahaan tersebut mengalami penurunan tahun ini. “Di tengah performa yang digarisbawahi, kita bergerak menuju arah yang tepat,” ujar Karlsen.
Umumnya, Norwegian Air memang bergantung dengan pembayaran tiket dengan kartu kredit. Namun, aturan industri yang ketat membuat hal itu sangat sulit. Dana kapital perusahaan menurun sekitar 4 juta crown. Dalam analis dari Bernstein, Daniel Roeska, posisi Norwegian Air dalam posisi yang sulit.
Menurut dia, mereka berusaha mengelola krisis dengan cara yang terbaik meskipun posisinya sudah di ujung jurang. Norwegian Air memang tumbuh dengan pesat. Pada 2012, mereka bersiap menjadi pemain besar pada pasar transatlantic dengan memesan 222 pesawat, itu menjadi pemesan pesawat terbesar di Eropa.
Akan tetapi, langkah agresif itu menimbulkan hutang yang menumpuk. Ruang untuk bergerak untuk semakin sulit. “Kesulitan model bisnis jangka panjang memang tidak bekerja. Model bisnis jangka panjang tidak tepat untuk maskapai bertarif murah,” kata Roeska.
Selama 2019 ini, setidaknya tiga maskapai bertarif rendah mengalami kebangkrutan. Germania yang didirikan pada 1978, maskapai berbasis di Jerman menawarkan layanan sewa pesawat dan pesawat penumpang. Maskapai itu dinyatakan tutup pada awal Februari karena masalah keuangan yang tidak bisa diselesaikan.
Flybmi/British Midland Regional yang berdiri pada 1987, tidak beroperasi pada Februari 2019. Kemudian, Wow Air, maskapai berbiaya murah asal Islandia tidak beroperasi pada Maret 2019. Itu disebabkan mereka gagal mendapatkan investasi baru dari Icelandair dan firma ekuitas Indigo Partners.
Terus, apakah maskapai bertarif murah akan bertahan? CEO Ranair Michael o’Leary memprediksi akan banyak maskapai yang menghadapi kegagalan. Apa penyebabnya? “Permasalahan keuangan,” katanya. (Andika H Mustaqim)
(nfl)