Rencana Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Bakal Hancurkan Petani Tembakau
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah menaikan cukai rokok dalam waktu dekat ini dinilai Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) sebagai penghancuran jutaan petani tembakau yang selama ini menggantungkan hidupnya dari tembakau. Oleh karena itu, Ketua umum DPN APTI, Agus Parmuji meminta pemerintah berhati-hati menerapkan kebijakan tersebut.
“Jika kenaikan cukai rokok diterapkan, maka berdampak pada matinya ratusan industri kretek nasional, termasuk jutaan petani tembakau,” tegas Agus Parmuji dalam acara diskusi di Temanggung baru-baru ini.
Masih dalam ingatan jutaan petani tembakau, pada awal November 2018 Presiden Joko Widodo memutuskan untuk tidak menaikkan cukai pada 2019 dan tidak jalankan simplifikasi cukai. Termasuk pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK 010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK 010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
“Saat ini industri nasional hasil tembakau tengah dalam masa recovery, menyusul diterbitkannya PMK 156/2018 yang lebih memberikan rasa keadilan bagi petani tembakau dan IHT. PMK 156/2018 adalah yang terbaik,” katanya.
Kebijakan pemerintah yang akan menerapkan mekanisme penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) juga disorot APTI. Bagi Agus, mekanisme tersebut justru sangat memberatkan industri rokok dan petani tembakau.
“Jika kebijakan itu diterapkan, berimplikasi matinya industri kretek nasional dan jutaan petani tembakau juga akan ikut mati. Karena itu, pemerintah hendaknya dapat bersimpati atas permasalahan yang dihadapi kalangan industri dan petani tembakau,” ujar Agus.
Sambung Agus menambahkan bahwa APTI menentang simplifikasi ini karena bisa menyebabkan industri rokok hancur sehingga tak ada lagi serapan tembakau. Ini kiamat bagi petani tembakau!," tegasnya.
Merujuk kajian APTI, kebijakan cukai memperlihatkan tren kenaikan setiap tahunnya, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10-11% dalam empat tahun terakhir. Akibat kenaikan tersebut, banyak pabrik rokok kecil gulung tikar. "Pabrik rokok kecil tersebut banyak menghasilkan SKT. Tutupnya pabrik rokok itu pada gilirannya mengganggu serapan hasil petani tembakau," katanya.
Pada titik itulah, Agus meminta agar apapun aturan yang ditetapkan Pemerintah, hendaknya memperhatikan nasib jutaan petani tembakau yang menjadi anggota APTI. "APTI menyarankan agar 5 kementerian yang terkait dengan IHT secepatnya melakukan sinkronisasi regulasi agar nasib petani tembakau menjadi lebih jelas," ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Prof. Candra Fajri Ananda, mewanti-wanti pemerintah harus siap-siap mengenakan barang kena cukai (BKC) yang sudah dibahas baik oleh akademisi maupun pemerhati cukai.
"Apalagi melihat perkembangan ekonomi nasional yang sedang gundah, akan sangat baik jika pemerintah tidak terlalu membebani IHT, mengingat lapangan kerja serta sektor hulu yang masih menampung lumayan besar jumlah tenaga kerja," terang Prof. Candra.
“Jika kenaikan cukai rokok diterapkan, maka berdampak pada matinya ratusan industri kretek nasional, termasuk jutaan petani tembakau,” tegas Agus Parmuji dalam acara diskusi di Temanggung baru-baru ini.
Masih dalam ingatan jutaan petani tembakau, pada awal November 2018 Presiden Joko Widodo memutuskan untuk tidak menaikkan cukai pada 2019 dan tidak jalankan simplifikasi cukai. Termasuk pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK 010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK 010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
“Saat ini industri nasional hasil tembakau tengah dalam masa recovery, menyusul diterbitkannya PMK 156/2018 yang lebih memberikan rasa keadilan bagi petani tembakau dan IHT. PMK 156/2018 adalah yang terbaik,” katanya.
Kebijakan pemerintah yang akan menerapkan mekanisme penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) juga disorot APTI. Bagi Agus, mekanisme tersebut justru sangat memberatkan industri rokok dan petani tembakau.
“Jika kebijakan itu diterapkan, berimplikasi matinya industri kretek nasional dan jutaan petani tembakau juga akan ikut mati. Karena itu, pemerintah hendaknya dapat bersimpati atas permasalahan yang dihadapi kalangan industri dan petani tembakau,” ujar Agus.
Sambung Agus menambahkan bahwa APTI menentang simplifikasi ini karena bisa menyebabkan industri rokok hancur sehingga tak ada lagi serapan tembakau. Ini kiamat bagi petani tembakau!," tegasnya.
Merujuk kajian APTI, kebijakan cukai memperlihatkan tren kenaikan setiap tahunnya, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10-11% dalam empat tahun terakhir. Akibat kenaikan tersebut, banyak pabrik rokok kecil gulung tikar. "Pabrik rokok kecil tersebut banyak menghasilkan SKT. Tutupnya pabrik rokok itu pada gilirannya mengganggu serapan hasil petani tembakau," katanya.
Pada titik itulah, Agus meminta agar apapun aturan yang ditetapkan Pemerintah, hendaknya memperhatikan nasib jutaan petani tembakau yang menjadi anggota APTI. "APTI menyarankan agar 5 kementerian yang terkait dengan IHT secepatnya melakukan sinkronisasi regulasi agar nasib petani tembakau menjadi lebih jelas," ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Prof. Candra Fajri Ananda, mewanti-wanti pemerintah harus siap-siap mengenakan barang kena cukai (BKC) yang sudah dibahas baik oleh akademisi maupun pemerhati cukai.
"Apalagi melihat perkembangan ekonomi nasional yang sedang gundah, akan sangat baik jika pemerintah tidak terlalu membebani IHT, mengingat lapangan kerja serta sektor hulu yang masih menampung lumayan besar jumlah tenaga kerja," terang Prof. Candra.
(akr)