Kemenhub Perketat Pengawasan Muatan dan Dimensi Truk
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan memperketat pengawasan angkutan barang terkait dimensi dan jumlah muatan. Untuk itu Kemenhub meminta dinas perhubungan di daerah melakukan pemeriksaan terhadap angkutan barang atau material dan sejenisnya.
“Operator jalan tol juga diminta untuk melakukan pengawasan terhadap kendaraan over-dimensi maupun overload (ODOL). Mereka harus dengan sigap menghentikan kendaraan yang terindikasi ODOL,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi di Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan, pengawasan di direktorat yang dipimpinnya juga akan diperketat, terutama pada kendaraan-kendaraan yang baru keluar dari tempat pembuatan karoseri. “Kita perketat di situ (kendaraan yang baru keluar dari karoseri). Adapun yang telanjur keluar karena terindikasi memalsukan, kita tindak di kepolisian, ini kami koordinasikan,” ucapnya.
Sementara itu mengenai tragedi kecelakaan di tol Cipularang, Budi menjelaskan bahwa pihaknya telah melarang sementara pengoperasian sisa armada yang dimiliki perusahaan angkutan yang terlibat kecelakaan. Diketahui, kedua truk itu dimiliki perusahaan yang sama. "Kita juga sudah panggil perusahaannya dan saya melibatkan dari (Pemerintah Provinsi) DKI Jakarta. Perusahaan itu ada 9 truk dan 2 kecelakaan, jadi tinggal 7 unit," ungkap Budi.
Menurutnya truk yang terlibat dalam kecelakaan maut di ruas tol Cipularang Km 91 itu diketahui kelebihan muatan hingga 300% dan kelebihan dimensi hingga 70 cm. Budi menuturkan, pelanggaran kelebihan muatan dan dimensi itu menjadi penyebab kendaraan hilang keseimbangan saat melalui jalan menurun.
Dia menjelaskan, sejak awal truk yang mengangkut pasir di depan memang mengalami masalah rem yang blong atau sudah tidak berfungsi sehingga terguling. Kemudian truk kedua yang di belakang juga mengalami masalah yang sama yang akhirnya menabrak kendaraan-kendaraan kecil yang terhalang lewat oleh truk pertama yang terguling.
"Kejadian ini diharapkan bisa menjadi momentum bagi semua pihak. Pemerintah pasti akan memperbaiki kondisi jalan yang rawan kecelakaan. Masyarakat pun harus hati-hati dan waspada. Mungkin kita bukan jadi penyebab. Tapi bisa saja karena ulah pengguna jalan lain, kita menjadi korban," tuturnya.
Budi meminta kepolisian mengusut tuntas kecelakaan tersebut dan tidak hanya sampai pengemudi truk saja. "Nanti kira-kira kepolisian sesuai diskusi penyelidikan bisa ke pengusahanya atau kepada mereka yang menyuruh mereka mengangkut sampai dengan tonase 300%," ujarnya.
Terkait adanya truk yang diduga over-dimensi dan overload di jalur tol, Budi mendorong agar operator jalan tol dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) segera memasang alat pendeteksi atau jembatan timbang portabel di pintu-pintu tol sehingga kendaraan yang kelebihan beban dan dimensi dapat terdeteksi sejak awal.
Di tempat yang sama, Direktur Prasarana Transportasi Darat Kemenhub Risal Wasai menuturkan, regulator akan mengandangkan tujuh truk yang masih dimiliki perusahaan angkutan yang dua truknya terlibat kecelakaan di tol Cipularang Km 91. Tindakan tersebut diberikan hingga operator angkutan menstandardisasi truknya sesuai dengan regulasi. "Kita paling mengandangkan truk mereka sebelum mereka menstandardisasi," ujar Risal.
Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan, kecelakaan beruntun yang terjadi di ruas tol Cipularang disebabkan kurangnya pengawasan terhadap kecepatan laju kendaraan. Padahal terdapat aturan batas kecepatan yang belum diterapkan di jalan tol.
“Sudah ada rambu batas kecepatan kendaraan melaju di jalan tol, ada rambu yang maksimum 80 km per jam, ada juga rambu yang mencantumkan 100 km per jam. Ini yang enggak diawasi dengan ketat yang harusnya bisa dilakukan operator berkoordinasi dengan kepolisian,” ucapnya. Menurut dia, kecelakaan lalu lintas disebabkan kadar disiplin dan kesadaran masyarakat pengguna jalan di Indonesia masih relatif rendah, ditambah pengawasan yang kurang ketat.
“Perlu ada petugas khusus di setiap pintu masuk tol untuk melihat kondisi teknis dan kelengkapan mobil, misalnya lampu belakangnya tidak ada. Maka di rest area pertama atau disiapkan tempat khusus untuk menindaklanjuti mobil-mobil barang bermasalah tersebut,” ucapnya. Dia menambahkan bahwa pengawasan di bisnis angkutan material juga sangat lemah. Kelebihan dimensi truk agar dapat membawa barang berlebih masih kurang pengetatan.
“Pengawasan di bidang pengendalian operasi (dalops) di Kementerian Perhubungan dan Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) yang berdomisili di setiap provinsi harus ditingkatkan,” katanya. Sebagai informasi, aturan batas kecepatan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan.
Batas kecepatan paling rendah 60 km per jam dalam kondisi arus bebas dan paling tinggi 100 km per jam untuk jalan bebas hambatan, termasuk jalan tol di dalamnya (Pasal 3 ayat 4). Adapun untuk jalan antarkota paling tinggi 80 km per jam, jalan kawasan perkotaan 50 km per jam, dan paling tinggi 30 km per jam untuk jalan di kawasan permukiman.
“Operator jalan tol juga diminta untuk melakukan pengawasan terhadap kendaraan over-dimensi maupun overload (ODOL). Mereka harus dengan sigap menghentikan kendaraan yang terindikasi ODOL,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi di Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan, pengawasan di direktorat yang dipimpinnya juga akan diperketat, terutama pada kendaraan-kendaraan yang baru keluar dari tempat pembuatan karoseri. “Kita perketat di situ (kendaraan yang baru keluar dari karoseri). Adapun yang telanjur keluar karena terindikasi memalsukan, kita tindak di kepolisian, ini kami koordinasikan,” ucapnya.
Sementara itu mengenai tragedi kecelakaan di tol Cipularang, Budi menjelaskan bahwa pihaknya telah melarang sementara pengoperasian sisa armada yang dimiliki perusahaan angkutan yang terlibat kecelakaan. Diketahui, kedua truk itu dimiliki perusahaan yang sama. "Kita juga sudah panggil perusahaannya dan saya melibatkan dari (Pemerintah Provinsi) DKI Jakarta. Perusahaan itu ada 9 truk dan 2 kecelakaan, jadi tinggal 7 unit," ungkap Budi.
Menurutnya truk yang terlibat dalam kecelakaan maut di ruas tol Cipularang Km 91 itu diketahui kelebihan muatan hingga 300% dan kelebihan dimensi hingga 70 cm. Budi menuturkan, pelanggaran kelebihan muatan dan dimensi itu menjadi penyebab kendaraan hilang keseimbangan saat melalui jalan menurun.
Dia menjelaskan, sejak awal truk yang mengangkut pasir di depan memang mengalami masalah rem yang blong atau sudah tidak berfungsi sehingga terguling. Kemudian truk kedua yang di belakang juga mengalami masalah yang sama yang akhirnya menabrak kendaraan-kendaraan kecil yang terhalang lewat oleh truk pertama yang terguling.
"Kejadian ini diharapkan bisa menjadi momentum bagi semua pihak. Pemerintah pasti akan memperbaiki kondisi jalan yang rawan kecelakaan. Masyarakat pun harus hati-hati dan waspada. Mungkin kita bukan jadi penyebab. Tapi bisa saja karena ulah pengguna jalan lain, kita menjadi korban," tuturnya.
Budi meminta kepolisian mengusut tuntas kecelakaan tersebut dan tidak hanya sampai pengemudi truk saja. "Nanti kira-kira kepolisian sesuai diskusi penyelidikan bisa ke pengusahanya atau kepada mereka yang menyuruh mereka mengangkut sampai dengan tonase 300%," ujarnya.
Terkait adanya truk yang diduga over-dimensi dan overload di jalur tol, Budi mendorong agar operator jalan tol dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) segera memasang alat pendeteksi atau jembatan timbang portabel di pintu-pintu tol sehingga kendaraan yang kelebihan beban dan dimensi dapat terdeteksi sejak awal.
Di tempat yang sama, Direktur Prasarana Transportasi Darat Kemenhub Risal Wasai menuturkan, regulator akan mengandangkan tujuh truk yang masih dimiliki perusahaan angkutan yang dua truknya terlibat kecelakaan di tol Cipularang Km 91. Tindakan tersebut diberikan hingga operator angkutan menstandardisasi truknya sesuai dengan regulasi. "Kita paling mengandangkan truk mereka sebelum mereka menstandardisasi," ujar Risal.
Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan, kecelakaan beruntun yang terjadi di ruas tol Cipularang disebabkan kurangnya pengawasan terhadap kecepatan laju kendaraan. Padahal terdapat aturan batas kecepatan yang belum diterapkan di jalan tol.
“Sudah ada rambu batas kecepatan kendaraan melaju di jalan tol, ada rambu yang maksimum 80 km per jam, ada juga rambu yang mencantumkan 100 km per jam. Ini yang enggak diawasi dengan ketat yang harusnya bisa dilakukan operator berkoordinasi dengan kepolisian,” ucapnya. Menurut dia, kecelakaan lalu lintas disebabkan kadar disiplin dan kesadaran masyarakat pengguna jalan di Indonesia masih relatif rendah, ditambah pengawasan yang kurang ketat.
“Perlu ada petugas khusus di setiap pintu masuk tol untuk melihat kondisi teknis dan kelengkapan mobil, misalnya lampu belakangnya tidak ada. Maka di rest area pertama atau disiapkan tempat khusus untuk menindaklanjuti mobil-mobil barang bermasalah tersebut,” ucapnya. Dia menambahkan bahwa pengawasan di bisnis angkutan material juga sangat lemah. Kelebihan dimensi truk agar dapat membawa barang berlebih masih kurang pengetatan.
“Pengawasan di bidang pengendalian operasi (dalops) di Kementerian Perhubungan dan Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) yang berdomisili di setiap provinsi harus ditingkatkan,” katanya. Sebagai informasi, aturan batas kecepatan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan.
Batas kecepatan paling rendah 60 km per jam dalam kondisi arus bebas dan paling tinggi 100 km per jam untuk jalan bebas hambatan, termasuk jalan tol di dalamnya (Pasal 3 ayat 4). Adapun untuk jalan antarkota paling tinggi 80 km per jam, jalan kawasan perkotaan 50 km per jam, dan paling tinggi 30 km per jam untuk jalan di kawasan permukiman.
(don)