Kadin: Surat Edaran BPH Migas soal Solar Bersubsidi Hambat Distribusi Barang
A
A
A
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai Surat Edaran BPH Migas mengenai pembatasan pembelian solar subsidi untuk truk roda 6 kebawah dan pelarangan solar subsidi untuk truk roda 6 keatas, menghambat distribusi barang ke sejumlah daerah.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Rico Rustombi, menilai kehadiran SE ini telah menimbulkan gejolak di berbagai level pelaku usaha, baik di lingkup pelaku ekspor-impor maupun ke kalangan operator angkutan barang. Salah satu imbasnya adalah terhambatnya distribusi barang ke sejumlah daerah.
Rico menegaskan, SE ini menimbulkan kebingungan lantaran bertentangan dengan Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi Perpres No 43 Tahun 2018 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak pada jenis bahan bakar minyak tertentu. Mengacu pada aturan tersebut, solar termasuk dalam bahan bakar yang mendapatkan program subsidi khusus.
"Menurut Perpres tersebut, angkutan umum dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dan tulisan berwarna hitam termasuk dalam golongan yang mendapatkan alokasi BBM Solar bersubsidi," katanya di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Penerapan aturan ini, menurut Rico, akan berdampak signifikan terhadap operasional angkutan truk secara umum, terutama yang tergolong angkutan berat. Padahal angkutan barang golongan ini lazimnya dimanfaatkan untuk pengangkutan bahan baku proyek infrastruktur maupun barang-barang ekspor-impor, dua aspek pembangunan yang tengah didorong dan diprioritaskan pemerintah.
"Kebijakan ini bisa berdampak langsung kepada perekonomian nasional, tidak sebatas pada urusan transportasi barang atau alur logistik. Program konstruksi infrastruktur hingga upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor nasional. Karena itu, aturan ini belum layak diterapkan karena tidak sejalan dengan amanah Perpres yang masih berlaku," tambah Rico.
Ada beberapa opsi kebijakan yang diberikan Kadin Bidang Logistrik dan Pengelolaan Rantai Pasokan terkait persoalan ini. Yang pertama, dibuat sistem pengawasan melekat dalam pendistribusian BBM bersubsidi kepada konsumen di setiap stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) agar tepat sasaran serta tepat guna.
Langkah ini dapat menjamin pasokan bahan bakar solar bersubsidi terhadap operator angkutan umum untuk barang di seluruh wilayah Indonesia sekaligus mencegah terjadinya kelebihan alokasi kuota BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
"Opsi kedua adalah menghapus program solar bersubsidi kepada angkutan barang. Kebijakan ini disubstitusi dengan insentif fiskal atau direalokasikan dalam bentuk fasilitas kredit bagi operator angkutan darat," saran Rico.
Dia melanjutkan, insentif fiskal dimaksud bertujuan untuk mendukung peremajaan armada truk yang beroperasi saat ini. Mengingat kondisi truk yang beroperasi saat ini sudah tergolong tua hingga kurang adaptif terhadap penerapan teknologi informatika terbaru maupun standar kecepatan perjalanan.
Insentif bisa diberikan dalam bentuk pemotongan bea masuk terhadap impor truk-truk modern yang hemat bahan bakar. Dengan demikian, harga truk-truk tersebut lebih terjangkau bagi pengusaha lokal. Realokasi subsidi BBM bisa dilakukan dalam bentuk fasilitas kredit murah untuk pengadaan truk baru dengan teknologi yang hemat BBM atau sumber energi baru.
"Penghapusan subsidi juga menjamin equal treatment (perlakuan yang sama) terhadap semua pelaku usaha di sektor ini agar tidak ada yang mendapatkan keistimewaan yang berdampak pada kompetisi yang tidak sehat," pungkas Rico.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Rico Rustombi, menilai kehadiran SE ini telah menimbulkan gejolak di berbagai level pelaku usaha, baik di lingkup pelaku ekspor-impor maupun ke kalangan operator angkutan barang. Salah satu imbasnya adalah terhambatnya distribusi barang ke sejumlah daerah.
Rico menegaskan, SE ini menimbulkan kebingungan lantaran bertentangan dengan Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi Perpres No 43 Tahun 2018 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak pada jenis bahan bakar minyak tertentu. Mengacu pada aturan tersebut, solar termasuk dalam bahan bakar yang mendapatkan program subsidi khusus.
"Menurut Perpres tersebut, angkutan umum dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dan tulisan berwarna hitam termasuk dalam golongan yang mendapatkan alokasi BBM Solar bersubsidi," katanya di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Penerapan aturan ini, menurut Rico, akan berdampak signifikan terhadap operasional angkutan truk secara umum, terutama yang tergolong angkutan berat. Padahal angkutan barang golongan ini lazimnya dimanfaatkan untuk pengangkutan bahan baku proyek infrastruktur maupun barang-barang ekspor-impor, dua aspek pembangunan yang tengah didorong dan diprioritaskan pemerintah.
"Kebijakan ini bisa berdampak langsung kepada perekonomian nasional, tidak sebatas pada urusan transportasi barang atau alur logistik. Program konstruksi infrastruktur hingga upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor nasional. Karena itu, aturan ini belum layak diterapkan karena tidak sejalan dengan amanah Perpres yang masih berlaku," tambah Rico.
Ada beberapa opsi kebijakan yang diberikan Kadin Bidang Logistrik dan Pengelolaan Rantai Pasokan terkait persoalan ini. Yang pertama, dibuat sistem pengawasan melekat dalam pendistribusian BBM bersubsidi kepada konsumen di setiap stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) agar tepat sasaran serta tepat guna.
Langkah ini dapat menjamin pasokan bahan bakar solar bersubsidi terhadap operator angkutan umum untuk barang di seluruh wilayah Indonesia sekaligus mencegah terjadinya kelebihan alokasi kuota BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
"Opsi kedua adalah menghapus program solar bersubsidi kepada angkutan barang. Kebijakan ini disubstitusi dengan insentif fiskal atau direalokasikan dalam bentuk fasilitas kredit bagi operator angkutan darat," saran Rico.
Dia melanjutkan, insentif fiskal dimaksud bertujuan untuk mendukung peremajaan armada truk yang beroperasi saat ini. Mengingat kondisi truk yang beroperasi saat ini sudah tergolong tua hingga kurang adaptif terhadap penerapan teknologi informatika terbaru maupun standar kecepatan perjalanan.
Insentif bisa diberikan dalam bentuk pemotongan bea masuk terhadap impor truk-truk modern yang hemat bahan bakar. Dengan demikian, harga truk-truk tersebut lebih terjangkau bagi pengusaha lokal. Realokasi subsidi BBM bisa dilakukan dalam bentuk fasilitas kredit murah untuk pengadaan truk baru dengan teknologi yang hemat BBM atau sumber energi baru.
"Penghapusan subsidi juga menjamin equal treatment (perlakuan yang sama) terhadap semua pelaku usaha di sektor ini agar tidak ada yang mendapatkan keistimewaan yang berdampak pada kompetisi yang tidak sehat," pungkas Rico.
(ven)