Miliki Kelemahan, Aturan Kuota BBM Subsisi per SPBU Dinilai Perlu Direvisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kekosongan bahan bakar minyak (BBM) solar bersubsidi di sejumlah daerah beberapa waktu ini dinilai menjadi sinyal bagi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi ( BPH Migas ) untuk merevisi aturan mengenai kuota penyaluran BBM bersubsidi yang ditentukan per SPBU.
Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, aturan tersebut menjadi salah satu penyebab kekosongan solar subsidi di sejumlah wilayah, sebagai imbas dari peningkatan permintaan. Pernyataan tersebut merujuk pada kebijakan BPH Migas yang kemudian memberlakukan relaksasi aturan, ketika permasalahan ini menyeruak ke publik.
"Pemberian relaksasi ini bisa dimaknai bahwa secara tidak langsung BPH Migas mengakui ada kelemahan dalam kebijakan penetapan kuota solar subsidi berdasarkan lembaga penyalur," ujar Sofyano di Jakarta, Sabtu (23/10/2021).
Relaksasi tersebut, jelas dia, bisa dipahami publik sebagai keputusan untuk melonggarkan penentuan kuota solar subsidi yang berdasarkan per lembaga penyalur menjadi per wilayah (kabupaten/kota). Menurut dia, kuota yang mengacu pada lembaga penyalur terbukti menimbulkan masalah pada kecepatan penanganan kekosongan solar di SPBU.
Karena itu, sambung dia, BPH Migas sebaiknya merevisi aturan penentuan kuota tersebut daripada hanya membuat keputusan relaksasi yang sifatnya sementara saja. "Kalau dengan relaksasinya BPH Migas bisa menyelesaikan masalah kelangkaan solar di SPBU, kenapa tidak sekalian dicabut saja peraturannya, bukan cuma dikoreksi dengan relaksasi saja?" kata Sofyano.
Di luar itu, Sofyano juga berharap pemahaman masyarakat terkait peristiwa kelangkaan solar subsidi diperbaiki. Dia menjelaskan bahwa kekosongan solar subsidi umumnya terjadi pada SPBU tertentu di beberapa titik pada wilayah kabupaten/kota tertentu, bukan di seluruh SPBU di sebuah wilayah.
Dia mengingatkan, tak semua SPBU memiliki kemudahan akses yang sama. SPBUU yang ada di lokasi tertentu yang mudah diakses oleh bus dan atau pun truk berbahan bakar solar, dipastikan akan lebih cepat kehabisan stok BBM subsidi tersebut.
"Akibat adanya peraturan yang membatasi kuota solar subsidi pada setiap SPBU, maka ketika pada SPBU terjadi kekosongan solar, Patra Niaga tentu saja tidak bisa serta merta melakukan penambahan pasokan dan inilah penyebab kegaduhan kelangkaan solar di masyarakat," ungkapnya. Maka itu, jelas Sofyano, kelangkaan solar di SPBU ini bukan karena tidak adanya stok BBM solar dari Patra Niaga, namun adanya faktor lain di luar kewenangan Patra Niaga.
Sebelumnya, Kepala BPH Migas Erika Retnowati menegaskan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan BBM hingga ke SPBU di masyarakat. Sesuai UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, BPH Migas mempunyai tugas utuk melakukan pengaturan dan pengawasan agar ketersediaan BBM yang ditetapkan oleh emerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam pengaturan ketersediaan dan distribusi BBM, BPH Migas menetapkan kuota Jenis BBM Tertentu (JBT) yaitu solar subsidi dan minyak tanah, dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yaitu premium untuk setiap kabupaten/kota. Tujuannya agar BBM subsidi tepat sasaran dan tepat volume kepada masyarakat yang berhak menerima.
Direktur Pusat Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, aturan tersebut menjadi salah satu penyebab kekosongan solar subsidi di sejumlah wilayah, sebagai imbas dari peningkatan permintaan. Pernyataan tersebut merujuk pada kebijakan BPH Migas yang kemudian memberlakukan relaksasi aturan, ketika permasalahan ini menyeruak ke publik.
"Pemberian relaksasi ini bisa dimaknai bahwa secara tidak langsung BPH Migas mengakui ada kelemahan dalam kebijakan penetapan kuota solar subsidi berdasarkan lembaga penyalur," ujar Sofyano di Jakarta, Sabtu (23/10/2021).
Relaksasi tersebut, jelas dia, bisa dipahami publik sebagai keputusan untuk melonggarkan penentuan kuota solar subsidi yang berdasarkan per lembaga penyalur menjadi per wilayah (kabupaten/kota). Menurut dia, kuota yang mengacu pada lembaga penyalur terbukti menimbulkan masalah pada kecepatan penanganan kekosongan solar di SPBU.
Karena itu, sambung dia, BPH Migas sebaiknya merevisi aturan penentuan kuota tersebut daripada hanya membuat keputusan relaksasi yang sifatnya sementara saja. "Kalau dengan relaksasinya BPH Migas bisa menyelesaikan masalah kelangkaan solar di SPBU, kenapa tidak sekalian dicabut saja peraturannya, bukan cuma dikoreksi dengan relaksasi saja?" kata Sofyano.
Di luar itu, Sofyano juga berharap pemahaman masyarakat terkait peristiwa kelangkaan solar subsidi diperbaiki. Dia menjelaskan bahwa kekosongan solar subsidi umumnya terjadi pada SPBU tertentu di beberapa titik pada wilayah kabupaten/kota tertentu, bukan di seluruh SPBU di sebuah wilayah.
Dia mengingatkan, tak semua SPBU memiliki kemudahan akses yang sama. SPBUU yang ada di lokasi tertentu yang mudah diakses oleh bus dan atau pun truk berbahan bakar solar, dipastikan akan lebih cepat kehabisan stok BBM subsidi tersebut.
"Akibat adanya peraturan yang membatasi kuota solar subsidi pada setiap SPBU, maka ketika pada SPBU terjadi kekosongan solar, Patra Niaga tentu saja tidak bisa serta merta melakukan penambahan pasokan dan inilah penyebab kegaduhan kelangkaan solar di masyarakat," ungkapnya. Maka itu, jelas Sofyano, kelangkaan solar di SPBU ini bukan karena tidak adanya stok BBM solar dari Patra Niaga, namun adanya faktor lain di luar kewenangan Patra Niaga.
Sebelumnya, Kepala BPH Migas Erika Retnowati menegaskan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan BBM hingga ke SPBU di masyarakat. Sesuai UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, BPH Migas mempunyai tugas utuk melakukan pengaturan dan pengawasan agar ketersediaan BBM yang ditetapkan oleh emerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam pengaturan ketersediaan dan distribusi BBM, BPH Migas menetapkan kuota Jenis BBM Tertentu (JBT) yaitu solar subsidi dan minyak tanah, dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yaitu premium untuk setiap kabupaten/kota. Tujuannya agar BBM subsidi tepat sasaran dan tepat volume kepada masyarakat yang berhak menerima.
(fai)