Untuk Tumbuh Tinggi, Mesin Ekonomi Indonesia Harus Diperbaharui

Selasa, 29 Oktober 2019 - 14:26 WIB
Untuk Tumbuh Tinggi,...
Untuk Tumbuh Tinggi, Mesin Ekonomi Indonesia Harus Diperbaharui
A A A
JAKARTA - Kepala Ekonom DBS Indonesia, Masyita Crystallin, menyambut baik kembalinya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan. Kehadiran Sri Mulyani dinilai positif ditengah kondisi perekonomian global yang masih rapuh (volatile).

Masyita menilai Sri Mulyani dan tim ekonomi akan melanjutkan manajemen anggaran yang baik dan melanjutkan reformasi fiskal. Reformasi fiskal akan tetap menjadi prioritas. Hal tersebut memang sangat diperlukan untuk Indonesia karena rasio pajak yang masih kurang dari 12% di bawah rata-rata negara lainnya. "Untuk tumbuh lebih tinggi, Indonesia membutuhkan rasio pajak setidaknya 15%," ujarnya, Selasa (29/10/2019).

Selain reformasi fiskal dan rasio pajak, Masyita juga menyoroti visi Jokowi untuk Indonesia Maju di tahun 2045. Nah, untuk mencapai itu, Masyita mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tumbuh di atas 6%.

"Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6%, mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diperbaharui. Saat ini, perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi," ujarnya.

Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru, dimana perlu pekerjaan.

Masyita juga melihat tantangan terbesar yang dihadapi Jokowi adalah reformasi kontinu, baik infrastruktur maupun infrastruktur lunak (kemudahan berbisnis).

Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5% (manufaktur, nilai tambah yang lebih tinggi, diversifikasi jauh dari ekonomi berbasis komoditas), sambil mempertahankan stabilitas rupiah (CAD berkorelasi positif dengan pertumbuhan karena kandungan impor ekspor dan investasi cukup besar).

Dengan permintaan domestik yang stabil, Indonesia dapat dengan mudah tumbuh di sekitar 5%. Meskipun yang menjadi tantangan adalah meningkatkan potensi pertumbuhan ke target pemerintah sebesar 6%. Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat mungkin berdampak pada pertumbuhan Indonesia. Namun, melihat pertumbuhan pada paruh pertama tahun 2019, stabilitas pertumbuhan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan emerging market Asia lainnya.

"Risiko utama dalam jangka pendek adalah terus menurunnya harga komoditas dan pertumbuhan investasi swasta yang lambat. Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid,” terangnya.

Dengan kondisi pertumbuhan yang lebih lambat, inflasi yang stabil dan rupiah yang relatif stabil, Bank Indonesia memiliki lebih banyak ruang untuk memangkas suku bunga kebijakan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan.

Bagi investor asing dan prospek bisnis asing, Masyita menilai posisi Indonesia di mata investor masih sangat baik, potensi ekonomi negara yang merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan populasi besar dan masih mendapat manfaat dari dividen demografis.

Soal nilai tukar rupiah, Masyita mengatakan rupiah cenderung stabil hingga akhir tahun dengan asumsi aliran modal dan neraca perdagangan stabil. Rupiah diprediksi akan tetap sekitar Rp14.200-Rp14.400 per USD, dan sedikit terdepresiasi pada 2020 karena percepatan pembangunan infrastruktur dibandingkan tahun 2019.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1891 seconds (0.1#10.140)