Program Tol Laut Dinilai Belum Terbukti Turunkan Disparitas Harga
A
A
A
JAKARTA - Program tol laut dinilai masih terganjal banyak kendala, mulai dari konsepnya yang belum jelas hingga sinergitas antar lembaga yang langka ditemui. Hal ini disampaikan oleh Ketua Bidang Maritim dan Kelautan DPP Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono yang juga menyatakan, program unggulan Presiden Joko Widodo itu belum terbukti mampu menurunkan disparitas harga.
"Kalau dibilang program ini bisa menurunkan disparitas harga, itu omong kosong. Tol Laut ini malah menyedot subsidi dari APBN, jadi lebih baik Tol Laut ini ditutup saja," ujar Bambang yang juga merupakan Anggota Komisi V DPR RI Periode 2014-2019 ini lewat keterangan resminya di Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Lebih lanjut Ia menyarakan, program ini sejak awal sudah salah kaprah dalam perjalanannya karena menurutnya pengawasan yang rendah dalam pengelolaan tol laut. Sambung dia menerangkan, barang-barang yang diangkut oleh Tol Laut ini tidak pernah dikontrol dan akhirnya dilepas ke mekanisme pasar.
Disebutkan juga olehnya, barang yang diangkut seharusnya merupakan 11 komoditas pokok namun pada kenyataannya Tol Laut ini turut mengangkut komoditas lainnya seperti barang elektronik dan sepeda. "Ini yang seharusnya Pak Jokowi dan Pak Menko Maritim perlu turun ke bawah untuk mengecek langsung," paparnya.
Sementara terkait dengan keluhan Jokowi belum lama ini yang melaporkan bahwa rute tol laut dikuasai perusahaan swasta tertentu. Akibatnya, harga barang melonjak karena ditentukan oleh perusahaan tersebut. Bambang mengaku tidak setuju karena menurutnya, justru didominasi oleh misalnya PT Pelni.
"Apa yang dikatakan Pak Jokowi itu enggak benar, jadi Tol Laut ini memang lebih baik ditutup. Opsi untuk gantinya sudah ada 26 ribu kapal yang dioperasikan oleh kurang lebih 3 ribu perusahaan nasional untuk mengangkut barang lewat angkutan laut," paparnya.
Biaya angkut transportasi laut, ungkapnya hanya berpengaruh kecil terhadap harga komoditas diangkut yang bisa mengakibatkan disparitas. Tetapi kecil rata-rata hanya sekitar 3%. "Misalnya ongkos angkut satu kontainer Surabaya-Makasar hanya sekitar 4 juta rupiah sedangkan bila diisi 20 ton beras @10 ribu rupiah, nilai komoditi 200 juta berarti sekitar 2%," jelas Bambang.
"Kalau dibilang program ini bisa menurunkan disparitas harga, itu omong kosong. Tol Laut ini malah menyedot subsidi dari APBN, jadi lebih baik Tol Laut ini ditutup saja," ujar Bambang yang juga merupakan Anggota Komisi V DPR RI Periode 2014-2019 ini lewat keterangan resminya di Jakarta, Jumat (1/11/2019).
Lebih lanjut Ia menyarakan, program ini sejak awal sudah salah kaprah dalam perjalanannya karena menurutnya pengawasan yang rendah dalam pengelolaan tol laut. Sambung dia menerangkan, barang-barang yang diangkut oleh Tol Laut ini tidak pernah dikontrol dan akhirnya dilepas ke mekanisme pasar.
Disebutkan juga olehnya, barang yang diangkut seharusnya merupakan 11 komoditas pokok namun pada kenyataannya Tol Laut ini turut mengangkut komoditas lainnya seperti barang elektronik dan sepeda. "Ini yang seharusnya Pak Jokowi dan Pak Menko Maritim perlu turun ke bawah untuk mengecek langsung," paparnya.
Sementara terkait dengan keluhan Jokowi belum lama ini yang melaporkan bahwa rute tol laut dikuasai perusahaan swasta tertentu. Akibatnya, harga barang melonjak karena ditentukan oleh perusahaan tersebut. Bambang mengaku tidak setuju karena menurutnya, justru didominasi oleh misalnya PT Pelni.
"Apa yang dikatakan Pak Jokowi itu enggak benar, jadi Tol Laut ini memang lebih baik ditutup. Opsi untuk gantinya sudah ada 26 ribu kapal yang dioperasikan oleh kurang lebih 3 ribu perusahaan nasional untuk mengangkut barang lewat angkutan laut," paparnya.
Biaya angkut transportasi laut, ungkapnya hanya berpengaruh kecil terhadap harga komoditas diangkut yang bisa mengakibatkan disparitas. Tetapi kecil rata-rata hanya sekitar 3%. "Misalnya ongkos angkut satu kontainer Surabaya-Makasar hanya sekitar 4 juta rupiah sedangkan bila diisi 20 ton beras @10 ribu rupiah, nilai komoditi 200 juta berarti sekitar 2%," jelas Bambang.
(akr)