Desa Wisata, Potensi Andalan Pariwisata di Indonesia
A
A
A
SLEMAN - Maraknya kemunculan desa wisata pada satu dasawarsa terakhir menjadi potensi besar dalam pengembangan pariwisata Indonesia. Karakteristiknya yang mampu menjaga kuat kearifan lokal, lingkungan, dan memberdayakan ekonomi warga membuat desa wisata makin layak diperhitungkan.
Di level internasional, sejumah desa wisata di Indonesia juga sudah mendapat pengakuan. Tahun ini, empat desa wisata yakni Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul (DIY), Pentingsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman (DIY), Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng (Bali) dan Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli (Bali) masuk dalam Top 100 Destinasi Berkelanjutan di Dunia versi Global Green Destinations Days (GGDD).
Dalam bidang pariwisata, penghargaan ini bergengsi karena menunjukkan cerita sukses sekaligus penerapan pariwisata yang berkelanjutan. Keempat desa wisata tersebut masuk dalam kategori konservasi lingkungan, pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, dan sosial-budaya. Penyerahan penghargaan rencanyanya akan diserahkan ke pengelola desa wisata di Berlin, Jerman, 2020 mendatang.
Dari tahun ke tahun, jumlah desa wisata di Indonesia juga tumbuh pesat. Hingga akhir 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 1.734 desa wisata dari total 83.931 desa di Indonesia. Sinergisitas antara pengelola desa wisata dengan pihak terkait seperti pemerintah daerah (pemda) menjadi pendorong lahirnya destinasi pariwisata di Indonesia yang berjalan dengan prinsip berkelanjutan. “Kita perlu kolaborasi dengan pemda dan pelaku pariwisata dan para juara di desa wisata atau destinasi pariwisata tersebut,” kata Ketua Dewan Pariwisata Berkelanjutan I Gede Ardika.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dadang Rizki Ratman mengakui, desa wisata Pentingsari, Nglanggeran, Pemuteran, dan Penglipuran masuk Top 100 Destinasi Berkelanjutan di Dunia karena mampu bersaing di level internasional dan memakai pedoman yang sudah berstandar internasional. “Konsep Desa Penglipuran misalnya dianggap bisa mempertahankan sisi tradisional dan kelestarian lingkungannya,” ujar Dadang.
Menurutnya, penataan desa dan bangunan tradisional di Desa Penglipuran masih terjaga utuh. Begitu juga dengan 75 hektare hutan bambu dan 10 hektare vegetasi yang masih terawat. Inilah yang menjadi ciri khas Penglipuran selama ini. “Meski mayoritas penduduk sudah menganut hidup modern tapi nuansa tradisional khas Bali tidak hilang begitu saja. Kini, Desa Penglipuran jadi salah satu destinasi wisata populer di Indonesia,” katanya. Tiga desa wisata lainnya, tandas Dadang juga mampu menjaga keseimbangan dalam mengelola desa dengan mendapatkan manfaat ekonomi dari melestarikan budaya dan alam sekitar.
Dari Desa Miskin
Para pengelola Desa Wisata Pentingsari (Dewi Peri), Umbulharjo, Cangkringan, Sleman tak menyangka bisa masuk 100 top destinasi berkelanjutan di dunia. Pengelolaan Dewi Peri selama ini dilakukan bersama-sama antara pengelola dan masyarakat. Pengelola mempunyai program masyarakat yang memiliki fasilitas (rumah (homestay) dan lahan untuk aktivitas kegiatan). Hasil dari pengembangan itu untuk meng-upgrade fasilitas yang ada agar Dewi Peri terus layak jual. Namun semua yang ditawarkan itu tetap asli dan berbasis kearifan lokal. Sehingga lingkungan dan kekayaan budaya setempat tetap terjadi hingga sekarang. Kolabarasi inilah yang menjadikan Dewi Peri tetap eksis dan menjadi rujukan bagi desa wisata lain di Indonesia untuk pengembangan desa wisata.
Pengelola Dewi Peri Doto Yogantoro mengatakan pembangunan Dewi Peri dimulai pada 1990-an. Saat itu, Pentingsari masih termauk kategori dusun miskin di lereng Gunung Merapi. Atas kondisi ini tahun 2008 meski dengan keterbatasan warga mulai bergeliat membangun Pentingsari dengan mengembangkan potensi yang ada, yaitu alam, budaya dan kearifan lokal di masyarakat. Berawal dari 5 homestay, kini Dewi Peri memiliki 55 unit homestay dengan 150 kamar.
Dewi Peri juga mampu memberdayakan lebih dari 70% masyarakat, dengan berbagai kelompok yang terlibat. Ada tiga keunggulan Pentingsari, yaitu tata kelola lingkungan dan rumahan, alam terjaga dengan udara sejuk di lereng Merapi serta masyarakat menjaga budaya dan kearifan lokal, seperti kenduri, gotong royong, gamelan. “Rata-rata ada 1.500 pengunjung per minggunya. Baik untuk studi banding, live in, outbond, camping dan kegiatan lainnya,” terang Marketing Dewi Peri Bayu Yanto.
Keberhasilan ini tak membuat Pemkab Sleman berpuas ini. Memiliki banyak desa wisata, Sleman ingin ada kekhasan tiap desa wisata. “Kami berusaha memperluas dan memperkuat kemitraan dengan komponen pentahelix pariwisata lainnya, supaya dapat lebih memunculkan dan menguatkan unique point selling desa wisata,” terang Kabid Pengembangan SDM dan Usaha Wisata Dinas Pariwisata Sleman Nyoman Rai Savitri.
Tak jauh beda dilakukan pengelola Desa Wisata Gunung Api Purba (GAP) Nglanggeran. Desa wisata GAP dikelola masyarakat setempat. Bahkan untuk membuat wisatawan betah, pengelola memberdayakan warga dalam penyediaan homestay.
Dengan konsep tersebut, masyarakat menjadi peduli dan juga memberikan edukasi bagi wisatawan yang berkunjung untuk menjaga kebersihan dan kelestarian alam., Konsep wisata berbasis masyarakat ini bisa diwariskan untuk generasi mendatang. "Ini sebuah penghargaan luar biasa untuk pariwisata di Gunungkidul yang terus menata diri," kata Kepala Dinas Pariwisata Gunungkidul Asti Wijayanti bangga.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga terus mengincar penghargaan level dunia dalam pengembangan pariwisata. Kepala Disparbud Jabar Dedi Taufik mengakui, implementasi konsep pariwisata berkelanjutan merupakan tugas yang sangat berat dan tak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Diperlukan keterlibatan berbagai pihak dalam ekosistem pariwisata. Kelompok sadar wisata (pokdarwis) pun harus dilibatkan secara serius untuk membangun fondasi dan merealisasikan pariwisata berkelanjutan.
Beberapa waktu lalu, empat destinasi wisata di Jawa Barat mendapat penghargaan dalam ajang Indonesia Sustainable Tourism Awards Festival (ISTAfest) 2019. Empat destinasi itu adalah Green Canyon, Kampung Naga, Desa Cibuntu, dan Dusun Bambu. "Ini tugas berat, tapi bukan berarti tidak mungkin," tegas Dedi.
Tahun ini, jumlah desa wisata yang masuk dalam Top 100 Destinasi Berkelanjutan tergolong banyak. Kamboja terpilih hanya satu desa wisata yakni Tmatboey yang dikenal dengan kawasan dengan keragaman ekosistem. Warga desa tersebut melakukan konservasi hewan langka terutama burung. Proyek pariwisata lingkungan juga juga mengajarkan pendidikan dan pelatihan konservasi hewan langka kepada wisatawan.
Tak kalah menariknya adalah The Mount Hotham Alpine Resort, salah satu destinasi wisata populer di Victoria, Australia. Dari lokasi tersebut, wisatawan bisa melihat pemandangan seluruh negara bagian Victoria. Itu juga menjadi rumah baik flora dan fauna dengan fokus mengajak wisatawan untuk beraktivitas berbasis alam. Sebanyak 100 spesies langka tercatat di resor tersebut.
Dari Jepang, Kamaishi merupakan desa wisatawa di Prefektur Iwate di Honshu utara. Wisatawan bisa mendapatkan pengalaman kehidupan laut dan gunung dalam satu lokasi. Sementara itu, Noordwijk aan Zee merupakan kota di dekat pantai yang dipenuhi dengan kebun bunga. Kota itu mengandalkan energi alam pada 2030 mendatang. Misalnya, program Everyday is Sundy bertujuan untuk mengurangi ketergantungan energi fosil dengan menggunakan 3.000 panel surya. (Suharjono/Agung Bakti Sarasa/Priyosetyawan/Andika H Mustaqim)
Di level internasional, sejumah desa wisata di Indonesia juga sudah mendapat pengakuan. Tahun ini, empat desa wisata yakni Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul (DIY), Pentingsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman (DIY), Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng (Bali) dan Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli (Bali) masuk dalam Top 100 Destinasi Berkelanjutan di Dunia versi Global Green Destinations Days (GGDD).
Dalam bidang pariwisata, penghargaan ini bergengsi karena menunjukkan cerita sukses sekaligus penerapan pariwisata yang berkelanjutan. Keempat desa wisata tersebut masuk dalam kategori konservasi lingkungan, pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, dan sosial-budaya. Penyerahan penghargaan rencanyanya akan diserahkan ke pengelola desa wisata di Berlin, Jerman, 2020 mendatang.
Dari tahun ke tahun, jumlah desa wisata di Indonesia juga tumbuh pesat. Hingga akhir 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 1.734 desa wisata dari total 83.931 desa di Indonesia. Sinergisitas antara pengelola desa wisata dengan pihak terkait seperti pemerintah daerah (pemda) menjadi pendorong lahirnya destinasi pariwisata di Indonesia yang berjalan dengan prinsip berkelanjutan. “Kita perlu kolaborasi dengan pemda dan pelaku pariwisata dan para juara di desa wisata atau destinasi pariwisata tersebut,” kata Ketua Dewan Pariwisata Berkelanjutan I Gede Ardika.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dadang Rizki Ratman mengakui, desa wisata Pentingsari, Nglanggeran, Pemuteran, dan Penglipuran masuk Top 100 Destinasi Berkelanjutan di Dunia karena mampu bersaing di level internasional dan memakai pedoman yang sudah berstandar internasional. “Konsep Desa Penglipuran misalnya dianggap bisa mempertahankan sisi tradisional dan kelestarian lingkungannya,” ujar Dadang.
Menurutnya, penataan desa dan bangunan tradisional di Desa Penglipuran masih terjaga utuh. Begitu juga dengan 75 hektare hutan bambu dan 10 hektare vegetasi yang masih terawat. Inilah yang menjadi ciri khas Penglipuran selama ini. “Meski mayoritas penduduk sudah menganut hidup modern tapi nuansa tradisional khas Bali tidak hilang begitu saja. Kini, Desa Penglipuran jadi salah satu destinasi wisata populer di Indonesia,” katanya. Tiga desa wisata lainnya, tandas Dadang juga mampu menjaga keseimbangan dalam mengelola desa dengan mendapatkan manfaat ekonomi dari melestarikan budaya dan alam sekitar.
Dari Desa Miskin
Para pengelola Desa Wisata Pentingsari (Dewi Peri), Umbulharjo, Cangkringan, Sleman tak menyangka bisa masuk 100 top destinasi berkelanjutan di dunia. Pengelolaan Dewi Peri selama ini dilakukan bersama-sama antara pengelola dan masyarakat. Pengelola mempunyai program masyarakat yang memiliki fasilitas (rumah (homestay) dan lahan untuk aktivitas kegiatan). Hasil dari pengembangan itu untuk meng-upgrade fasilitas yang ada agar Dewi Peri terus layak jual. Namun semua yang ditawarkan itu tetap asli dan berbasis kearifan lokal. Sehingga lingkungan dan kekayaan budaya setempat tetap terjadi hingga sekarang. Kolabarasi inilah yang menjadikan Dewi Peri tetap eksis dan menjadi rujukan bagi desa wisata lain di Indonesia untuk pengembangan desa wisata.
Pengelola Dewi Peri Doto Yogantoro mengatakan pembangunan Dewi Peri dimulai pada 1990-an. Saat itu, Pentingsari masih termauk kategori dusun miskin di lereng Gunung Merapi. Atas kondisi ini tahun 2008 meski dengan keterbatasan warga mulai bergeliat membangun Pentingsari dengan mengembangkan potensi yang ada, yaitu alam, budaya dan kearifan lokal di masyarakat. Berawal dari 5 homestay, kini Dewi Peri memiliki 55 unit homestay dengan 150 kamar.
Dewi Peri juga mampu memberdayakan lebih dari 70% masyarakat, dengan berbagai kelompok yang terlibat. Ada tiga keunggulan Pentingsari, yaitu tata kelola lingkungan dan rumahan, alam terjaga dengan udara sejuk di lereng Merapi serta masyarakat menjaga budaya dan kearifan lokal, seperti kenduri, gotong royong, gamelan. “Rata-rata ada 1.500 pengunjung per minggunya. Baik untuk studi banding, live in, outbond, camping dan kegiatan lainnya,” terang Marketing Dewi Peri Bayu Yanto.
Keberhasilan ini tak membuat Pemkab Sleman berpuas ini. Memiliki banyak desa wisata, Sleman ingin ada kekhasan tiap desa wisata. “Kami berusaha memperluas dan memperkuat kemitraan dengan komponen pentahelix pariwisata lainnya, supaya dapat lebih memunculkan dan menguatkan unique point selling desa wisata,” terang Kabid Pengembangan SDM dan Usaha Wisata Dinas Pariwisata Sleman Nyoman Rai Savitri.
Tak jauh beda dilakukan pengelola Desa Wisata Gunung Api Purba (GAP) Nglanggeran. Desa wisata GAP dikelola masyarakat setempat. Bahkan untuk membuat wisatawan betah, pengelola memberdayakan warga dalam penyediaan homestay.
Dengan konsep tersebut, masyarakat menjadi peduli dan juga memberikan edukasi bagi wisatawan yang berkunjung untuk menjaga kebersihan dan kelestarian alam., Konsep wisata berbasis masyarakat ini bisa diwariskan untuk generasi mendatang. "Ini sebuah penghargaan luar biasa untuk pariwisata di Gunungkidul yang terus menata diri," kata Kepala Dinas Pariwisata Gunungkidul Asti Wijayanti bangga.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga terus mengincar penghargaan level dunia dalam pengembangan pariwisata. Kepala Disparbud Jabar Dedi Taufik mengakui, implementasi konsep pariwisata berkelanjutan merupakan tugas yang sangat berat dan tak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Diperlukan keterlibatan berbagai pihak dalam ekosistem pariwisata. Kelompok sadar wisata (pokdarwis) pun harus dilibatkan secara serius untuk membangun fondasi dan merealisasikan pariwisata berkelanjutan.
Beberapa waktu lalu, empat destinasi wisata di Jawa Barat mendapat penghargaan dalam ajang Indonesia Sustainable Tourism Awards Festival (ISTAfest) 2019. Empat destinasi itu adalah Green Canyon, Kampung Naga, Desa Cibuntu, dan Dusun Bambu. "Ini tugas berat, tapi bukan berarti tidak mungkin," tegas Dedi.
Tahun ini, jumlah desa wisata yang masuk dalam Top 100 Destinasi Berkelanjutan tergolong banyak. Kamboja terpilih hanya satu desa wisata yakni Tmatboey yang dikenal dengan kawasan dengan keragaman ekosistem. Warga desa tersebut melakukan konservasi hewan langka terutama burung. Proyek pariwisata lingkungan juga juga mengajarkan pendidikan dan pelatihan konservasi hewan langka kepada wisatawan.
Tak kalah menariknya adalah The Mount Hotham Alpine Resort, salah satu destinasi wisata populer di Victoria, Australia. Dari lokasi tersebut, wisatawan bisa melihat pemandangan seluruh negara bagian Victoria. Itu juga menjadi rumah baik flora dan fauna dengan fokus mengajak wisatawan untuk beraktivitas berbasis alam. Sebanyak 100 spesies langka tercatat di resor tersebut.
Dari Jepang, Kamaishi merupakan desa wisatawa di Prefektur Iwate di Honshu utara. Wisatawan bisa mendapatkan pengalaman kehidupan laut dan gunung dalam satu lokasi. Sementara itu, Noordwijk aan Zee merupakan kota di dekat pantai yang dipenuhi dengan kebun bunga. Kota itu mengandalkan energi alam pada 2030 mendatang. Misalnya, program Everyday is Sundy bertujuan untuk mengurangi ketergantungan energi fosil dengan menggunakan 3.000 panel surya. (Suharjono/Agung Bakti Sarasa/Priyosetyawan/Andika H Mustaqim)
(nfl)