Menuju Kemandirian Energi, Pertamina Kembangkan BBN

Kamis, 14 November 2019 - 06:33 WIB
Menuju Kemandirian Energi,...
Menuju Kemandirian Energi, Pertamina Kembangkan BBN
A A A
Program Bahan Bakar Nabati (BBN) B30 merupakan salah satu cara Pertamina untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional yang lebih ramah lingkungan. Penggenjotan program ini sekaligus upaya untuk mewujudkan Indonesia sehat melalui energi hijau.

Tahun depan tinggal selangkah lagi. Keinginan pemerintah agar penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) B30 diujicoba pada Januari 2020 sudah sedikit lagi berjalan. Keinginan pemerintah ini memang tidak main-main. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus lalu bahkan mengingatkan agar semua pihak harus berani melakukan lompatan kemajuan. Termasuk di antaranya menggenjot pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN).

“Kita harus berani memulai dari sekarang beberapa lompatan kemajuan sudah kita lakukan. Kita sudah mulai dengan program B20, akan masuk ke B30 campuran solar dengan 30 persen biodiesel. Tapi kita bisa lebih dari itu kita bisa membuat B100,” ucap Jokowi.

Pengembangan program BBN memang seolah berlari kencang. Mandatori perluasan B20 diketahui berjalan efektif pada 31 Agustus 2018. Saat itu semua kegiatan public service obligation (PSO) atau subsidi juga non-PSO, harus menggunakan B20.

Setelah satu tahun berjalan, pemerintah langsung bersiap melakukan lompatan kemajuan pada Januari tahun depan dimana program B20 kembali ditingkat menjadi B30. Disinilah dibutuhkan sebuah terobosan dan komitmen dari berbagai PSO untuk sama-sama berakselerasi memenuhi kebijakan tersebut.

Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif mengatakan, Pertamina sebagai salah satu pelaku PSO terus melakukan terobosan mengembangkan energi terbarukan dengan Program B20 yang akan dilanjutkan dengan B30 di tahun 2020. “Sejak tahun 2016, Pertamina telah memproduksi Bahan Bakar Nabati B20 baik untuk PSO maupun Non-PSO yang dikembangkan secara luas sejalan dengan mandatori perluasan B20 oleh Pemerintah pada 1 September 2019,” ujar Budi.

Menurut Budi, setelah sukses dengan B20, tahun depan akan mulai diujicoba untuk program B30 sesuai dengan kebijakan Pemerintah. “Pertamina mendukung penuh Program Pemerintah untuk menerapkan B30 yang akan dijalankan mulai Januari 2020,” imbuh Budi.

Pertamina, tambah Budi, juga telah melakukan uji coba Biorefinery pertama di Indonesia melalui metode Co-Processing pada kilang Dumai dan Plaju. Keberhasilan dalam ujicoba penerapan teknologi ini, menjadikan Pertamina siap mengembangkan bahan bakar nabati dengan bahan baku CPO. Pertamina juga siap mengadopsi teknologi Standalone untuk pengolahan CPO menjadi bahan bakar nabati.

Di kesempatan berbeda Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Heru Setiawan menegaskan Pertamina sudah melakukan persiapan matang guna menyambut mandatory B30. Saat ini Pertamina sudah menyiapkan 29 Terminal BBM untuk melakukan blending.

Terminal-terminal itu nantinya mencampurkan fatty acid methyl ester (FAME) dan akan disebarkan ke-111 terminal BBM. Ia berharap ini adalah upaya Pertamina dalam memberikan sumbangan untuk negara dan masyarakat Indonesia.

"Kita sudah siap. Ini sesuai dengan strategi Pertamina dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia, seperti batu bara dan sekarang kelapa sawit. Dua tahun mendatang, produksi kelapa sawit akan mencapai 50 juta ton sementara penggunaan dalam negeri 15-20 juta. Oleh karena itu, Pertamina dan stakeholders bersama ESDM, Kelapa Sawit, dan BPPT saling berkoordinasi," ujar Heru.

Selain memaksimalkan potensi alam yang ada di Indonesia, pelaksanaan mandatory B30 juga diharapkan mampu mewujudkan Indonesia yang sehat. Hal ini diakui Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Haryono yang mengatakan keberhasilan B30 bisa berdampak luas pada kehidupan masyarakat Indonesia.

"Bahan bakar B30 artinya ada campuran 30 persen biodiesel dan 70 persen solar, seperti B20 dan B100. Makin tinggi kadar biodiesel yang digunakan maka semakin ramah lingkungan, salah satunya menekan polusi yang berbahaya bagi kesehatan penduduk," kata Agus.

Diketahui Kandungan zat pengotor pada biodiesesel tidak terlalu banyak seperti pada solar. Zat pengotor inilah yang menghasilkan gas penyebab polusi misal COX, NOx, dan H2S. Semakin rendah zat pengotor, misal sulfur dan logam berat, maka makin kecil pula gas penyebab polusi yang dihasilkan.

Penggunaan bahan bakar nabati memang sedikit banyak berkontribusi positif pada kesehatan lingkungan. Setidaknya bisa berkaca pada Brasil yang berhasil menjaga kuliatas lingkungan berkat adopsi bahan bakar nabati etanol.

Berdasarkan data Brazilian Sugarcane Industry Association’s (UNICA) sejak Maret 2003, dimana penggunaan etanol diberlakukan, hingga Februari 2019, penggunaan BBN etanol berhasil mengurangi efek gas rumah kaca hingga 535 juta metrik ton karbondioksida.

“Dibandingkan bensin dan solar, etanol sangat siginifikan berhasil mengurangi emisi dari berbagai variasi polutan dan hidrokarbon,” tulis Leticia Phillipsdari Brazilian Sugarcane Industry Association, UNICA

Indonesia memiliki kesempatan terbuka untuk mewujudkan hal yang sama. Seperti keinginan Presiden Jokowi, mandatory B30 bukanlah jalan akhir dari keinginan mewujudkan Indonesia sehat lewat energi hijau. Finalnya, pemerintah berupaya menjalankan mandatori B-100 yang benar-benar baik bagi semua masyarakat Indonesia.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2755 seconds (0.1#10.140)