Bersinergi dan Berkolaborasi Menghadirkan Energi Bersih
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) terus tancap gas dalam menghadirkan energi bersih bagi masyarakat Indonesia. Untuk mendukung penerapan kebijakan penggunaan bahan bakar campuran solar dengan 20% biodiesel (B20) Pertamina melakukan suplai perdana kargo trading produk Sodium Methylate Oxide (SMO) kepada PT Tunas Baru Lampung, Tbk. (TBLA)
“Pasokan SMO yang dilakukan oleh Pertamina ini merupakan upaya untuk mendukung produksi FAME yang akan menjadi bahan pencampuran bahan bakar nabati,’’ujar Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, di Jakarta Kamis (14/11/2019).
Tak hanya TBLA, banyak perusahaan lain yang melakukan kolaborasi dengan Pertamina untuk menghadirkan bahan bakar ramah lingkungan. Sebelumnya, Pertamina juga bersinergi melalui kesepakatan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain yakni PT Rajawali Nusantara (Persero) atau RNI dan PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III).
Ketiganya bersepakat menjajaki kerja sama pasokan bahan baku dari RNI dan PTPN III dengan memanfaatkan kebun kelapa sawit milik RNI dan PTPN III. Juga kebun kelapa sawit milik petani kelapa sawit di wilayah kerja RNI dan PTPN III. Hasil pengolahan kelapa sawit tersebut nantinya dimanfaatkan oleh Pertamina untuk diolah menjadi bahan bakar nabati.
SMO sendiri merupakan senyawa kimia hasil campuran Methanol dengan Sodium Hydroxide yang berfungsi sebagai katalis untuk proses pengolahan bahan-bahan lainnya untuk dijadikan Fatty Acid Methyl Esters (FAME) atau asam lemak.
FAME yang dihasilkan kemudian disalurkan ke Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di seluruh Indonesia sebagai bahan campuran Biodiesel. Memiliki fungsi sebagai katalis, SMO akan membantu produksi FAME sehingga meningkatkan kehandalan ketersediaan FAME untuk mendukung program B20 yang dicanangkan pemerintah.
Fajriyah mengatakan, Pertamina telah melakukan suplai perdana SMO tujuh iso tank dengan total volume 154.000 KGS pada awal November 2019. Dengan menyuplai SMO, Pertamina berhasil meraih tambahan pendapatan sebesar USD101.640. Pertamina juga akan melakukan kolaborasi dengan menjalin kontrak pasokan produk SMO dengan produsen-produsen FAME di seluruh Indonesia.
Berdasarkan prediksi kenaikan produksi Biodiesel di masa mendatang, kata Fajriyah, Pertamina berpotensi mendapatkan revenue lebih besar lagi dengan menyuplai produk ke konsumen lainnya. ‘’Dengan pertimbangan pemakaian SMO sekitar 1-2% dari total kapasitas produksi mereka,” ujarnya.
Hasil Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menyebutkan, mengacu pada kebijakan Mandatori Biodiesel Indonesia, perkembangan biodiesel ke depan diproyeksikan semakin besar. Hal ini seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan bakar jenis solar. Sejalan dengan target B30 pada 2020 hingga 2025, kebutuhan solar Indonesia diperkirakan meningkat dua kali lipat menjadi 79,28 juta kilo liter (KL).
PASPI menyebutkan, dari sisi konsumsi, pertumbuhan kebutuhan solar diperkirakan naik rata-rata 8% per tahun. Dengan adanya lonjakan konsumsi tersebut, maka kebutuhan biodiesel domestik juga akan tumbuh pesat. PASPI memperkirakan kebutuhan terhadap biodiesel akan meningkat rata-rata sebesar 14 % per tahun.
Pertamina sendiri menegaskan kesiapannya untuk tancap gas dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Sebab, BBN merupakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Pengembangan BBN di dalam negeri juga dimaksudkan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Juga dalam rangka mendukung energi hijau untuk mewujudkan Indonesia sehat. Tak hanya itu, pengembangan BBN juga untuk mendukung program bauran energi terbarukan yang ditargetkan pemerintah sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang.
‘’Kami terus melakukan terobosan mengembangkan energi terbarukan dengan Program B20 yang akan dilanjutkan dengan B30 di tahun 2020,’’tegas Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif. Dari data yang dipublikasikan Pertamina, sejak 2016 hingga September 2019, B20 yang telah di distribusikan mencapai 61,48 juta KL dengan total FAME yang diserap mencapai 13,71 juta KL.
Sedangkan untuk penyerapan FAME, menunjukkan tren meningkat. Dari 3,2 juta KL pada 2018 menjadi 4,02 juta KL pada 2019 (hingga September 2019). Pertamina menegaskan, terus memperluas pasokan B20 tidak hanya untuk kendaraan bermotor tetapi juga untuk kebutuhan industri.
Setelah sukses dengan B20, pada Januari 2020 Pertamina akan mulai melakukan uji coba program B30 sesuai dengan kebijakan pemerintah. Dalam rangka mencapai era baru Indonesia hijau, Pertamina juga menggenjot program Green Refinery yang ditargetkan selesai pada 2024 mendatang.
Dukungan Industri Otomotif
Industri otomotif nasional memberikan respons positif terhadap upaya peningkatan penggunaan energi ramah lingkungan. Melalui Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), industri otomotif menegaskan siap melakukan sinergi dan kolaborasi dalam rangka suksesnya pengendalian pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor di Tanah Air.
‘’Kami siap bekerjasama. Yang penting, B30 nanti harus tersedia dimana-mana, di seluruh Indonesia,’’tegas Ketua Gaikindo Jongkie D Sugiarto kepada SINDOnews Kamis (14/11/2019). Dia menambahkan, perusahaan penyedia BBN seperti Pertamina, harus selalu bekerjasama dengan para prinsipal merek-merek kendaraan bermotor di Indonesia. Kolaborasi tersebut dinilai perlu untuk mengetahui tantangan dan peluang yang dihadapi secara bersama.
Saat mulai diterapkannya B30 pada Januari 2020 mendatang, Pertamina disarankan untuk melakukan komunikasi dan sinergi secara intensif dengan para produsen kendaraan bermotor bermesin diesel. ‘’Itu untuk mengetahui apakah kendaraan mereka sudah siap menggunakan B30,’’cetusnya.
Jongkie mengakui, penggunaan BBN akan memberikan dampak positif bagi lingkungan. Dimana BBN yang merupakan energi bersih mampu mengurangi pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor. ‘’Tetapi lebih baik lagi jika kita bisa segera beralih ke Euro 4 untuk bahan bakar kendaraan bermesin diesel,’’tegasnya. Saat ini, produk BBM yang sudah memenuhi standard Euro 4 adalah Pertamax Turbo.
Senada dengan Jongkie, Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara mengatakan, industri otomotif menyambut baik penerapan B30 pada tahun depan. Dia yakin bahwa pencemaran dari emisi gas buang bisa ditekan. ‘’Dari isi emisi B30 bagus karena kadar sulfurnya rendah. Namun yang perlu diperhatikan, B30 harus bisa memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh kendaraan bermotor bermesin diesel yang ada di Indonesia,’’katanya.
Misalnya, B30 harus memiliki kadar Monogliserida (MG) sebesar 0,44%. ‘’Sehingga jika digunakan di daerah pegunungan yang dingin tidak beku,’’katanya. Hal lain yang perlu diperhatikan yakni kadar air dalam BBN harus di jaga tidak lebih dari 200 ppm. Sebab, jika kadar air tinggi akan menyebabkan kerusakan pada mesin. ‘’Jika kadar air tinggi dari hitungan Gaikindo akan ada kenaikan biaya maintenance untuk kendaraan bermesin diesel,’’ungkapnya.
Pada prinsipnya, kata Kukuh, Gaikindo sangat mendukung upaya pemerintah dan Pertamina dalam menghadirkan energi bersih dan ramah lingkungan. Hanya saja, yang perlu dilakukan yakni menyesuaikan spesifikasi BBN dengan spesifikasi mesin kendaraan bermotor yang di produksi pabrikan. ‘’Untuk BBM jenis bensin kita sudah Euro 4, tapi untuk diesel belum,’’katanya.
Pemerintah memperkirakan penerapan B30 akan menekan impor energi khususnya dari BBM jenis solar hingga 50% tahun depan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, dalam penerapan B20 yang sudah berjalan, impor energi Indonesia sudah berkurang sebesar 23% (hingga September 2019).
Senada dengan Luhut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai, implementasi B30 pada awal tahun depan bertujuan untuk menekan impor minyak demi memperbaiki defisit neraca perdagangan. Arifin juga menilai, untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, perlu dilakukan terobosan-terobosan baru secara cara bertahap. Dimulai dari penggunaan B30, B40, hingga B50.
Hal tersebut sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan percepatan mandatori dari B20 menjadi B30, dan selanjutnya melompat ke implementasi B50 pada akhir 2020. Lompatan besar itu bukan tanpa alasan, berdasarkan hasil penggunaan bahan bakar biodiesel B20 penghematan yang bisa diraih mencapai hingga USD 5,5 millar per tahun. Sehingga, penggunaan biodiesel B30 hingga B50 akan menghasilkan penghematan lebih besar lagi.
Pemanfaatan biodiesel juga diyakini mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan impor minyak. Sehingga, akan memperbaiki defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Dan yang paling penting, penggunaan energi ramah lingkungan itu akan mendorong cita-cita Indonesia sehat melalui penggunaan energi ramah lingkungan.
“Pasokan SMO yang dilakukan oleh Pertamina ini merupakan upaya untuk mendukung produksi FAME yang akan menjadi bahan pencampuran bahan bakar nabati,’’ujar Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, di Jakarta Kamis (14/11/2019).
Tak hanya TBLA, banyak perusahaan lain yang melakukan kolaborasi dengan Pertamina untuk menghadirkan bahan bakar ramah lingkungan. Sebelumnya, Pertamina juga bersinergi melalui kesepakatan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lain yakni PT Rajawali Nusantara (Persero) atau RNI dan PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III).
Ketiganya bersepakat menjajaki kerja sama pasokan bahan baku dari RNI dan PTPN III dengan memanfaatkan kebun kelapa sawit milik RNI dan PTPN III. Juga kebun kelapa sawit milik petani kelapa sawit di wilayah kerja RNI dan PTPN III. Hasil pengolahan kelapa sawit tersebut nantinya dimanfaatkan oleh Pertamina untuk diolah menjadi bahan bakar nabati.
SMO sendiri merupakan senyawa kimia hasil campuran Methanol dengan Sodium Hydroxide yang berfungsi sebagai katalis untuk proses pengolahan bahan-bahan lainnya untuk dijadikan Fatty Acid Methyl Esters (FAME) atau asam lemak.
FAME yang dihasilkan kemudian disalurkan ke Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di seluruh Indonesia sebagai bahan campuran Biodiesel. Memiliki fungsi sebagai katalis, SMO akan membantu produksi FAME sehingga meningkatkan kehandalan ketersediaan FAME untuk mendukung program B20 yang dicanangkan pemerintah.
Fajriyah mengatakan, Pertamina telah melakukan suplai perdana SMO tujuh iso tank dengan total volume 154.000 KGS pada awal November 2019. Dengan menyuplai SMO, Pertamina berhasil meraih tambahan pendapatan sebesar USD101.640. Pertamina juga akan melakukan kolaborasi dengan menjalin kontrak pasokan produk SMO dengan produsen-produsen FAME di seluruh Indonesia.
Berdasarkan prediksi kenaikan produksi Biodiesel di masa mendatang, kata Fajriyah, Pertamina berpotensi mendapatkan revenue lebih besar lagi dengan menyuplai produk ke konsumen lainnya. ‘’Dengan pertimbangan pemakaian SMO sekitar 1-2% dari total kapasitas produksi mereka,” ujarnya.
Hasil Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menyebutkan, mengacu pada kebijakan Mandatori Biodiesel Indonesia, perkembangan biodiesel ke depan diproyeksikan semakin besar. Hal ini seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan bakar jenis solar. Sejalan dengan target B30 pada 2020 hingga 2025, kebutuhan solar Indonesia diperkirakan meningkat dua kali lipat menjadi 79,28 juta kilo liter (KL).
PASPI menyebutkan, dari sisi konsumsi, pertumbuhan kebutuhan solar diperkirakan naik rata-rata 8% per tahun. Dengan adanya lonjakan konsumsi tersebut, maka kebutuhan biodiesel domestik juga akan tumbuh pesat. PASPI memperkirakan kebutuhan terhadap biodiesel akan meningkat rata-rata sebesar 14 % per tahun.
Pertamina sendiri menegaskan kesiapannya untuk tancap gas dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Sebab, BBN merupakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Pengembangan BBN di dalam negeri juga dimaksudkan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional. Juga dalam rangka mendukung energi hijau untuk mewujudkan Indonesia sehat. Tak hanya itu, pengembangan BBN juga untuk mendukung program bauran energi terbarukan yang ditargetkan pemerintah sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang.
‘’Kami terus melakukan terobosan mengembangkan energi terbarukan dengan Program B20 yang akan dilanjutkan dengan B30 di tahun 2020,’’tegas Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif. Dari data yang dipublikasikan Pertamina, sejak 2016 hingga September 2019, B20 yang telah di distribusikan mencapai 61,48 juta KL dengan total FAME yang diserap mencapai 13,71 juta KL.
Sedangkan untuk penyerapan FAME, menunjukkan tren meningkat. Dari 3,2 juta KL pada 2018 menjadi 4,02 juta KL pada 2019 (hingga September 2019). Pertamina menegaskan, terus memperluas pasokan B20 tidak hanya untuk kendaraan bermotor tetapi juga untuk kebutuhan industri.
Setelah sukses dengan B20, pada Januari 2020 Pertamina akan mulai melakukan uji coba program B30 sesuai dengan kebijakan pemerintah. Dalam rangka mencapai era baru Indonesia hijau, Pertamina juga menggenjot program Green Refinery yang ditargetkan selesai pada 2024 mendatang.
Dukungan Industri Otomotif
Industri otomotif nasional memberikan respons positif terhadap upaya peningkatan penggunaan energi ramah lingkungan. Melalui Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), industri otomotif menegaskan siap melakukan sinergi dan kolaborasi dalam rangka suksesnya pengendalian pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor di Tanah Air.
‘’Kami siap bekerjasama. Yang penting, B30 nanti harus tersedia dimana-mana, di seluruh Indonesia,’’tegas Ketua Gaikindo Jongkie D Sugiarto kepada SINDOnews Kamis (14/11/2019). Dia menambahkan, perusahaan penyedia BBN seperti Pertamina, harus selalu bekerjasama dengan para prinsipal merek-merek kendaraan bermotor di Indonesia. Kolaborasi tersebut dinilai perlu untuk mengetahui tantangan dan peluang yang dihadapi secara bersama.
Saat mulai diterapkannya B30 pada Januari 2020 mendatang, Pertamina disarankan untuk melakukan komunikasi dan sinergi secara intensif dengan para produsen kendaraan bermotor bermesin diesel. ‘’Itu untuk mengetahui apakah kendaraan mereka sudah siap menggunakan B30,’’cetusnya.
Jongkie mengakui, penggunaan BBN akan memberikan dampak positif bagi lingkungan. Dimana BBN yang merupakan energi bersih mampu mengurangi pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor. ‘’Tetapi lebih baik lagi jika kita bisa segera beralih ke Euro 4 untuk bahan bakar kendaraan bermesin diesel,’’tegasnya. Saat ini, produk BBM yang sudah memenuhi standard Euro 4 adalah Pertamax Turbo.
Senada dengan Jongkie, Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara mengatakan, industri otomotif menyambut baik penerapan B30 pada tahun depan. Dia yakin bahwa pencemaran dari emisi gas buang bisa ditekan. ‘’Dari isi emisi B30 bagus karena kadar sulfurnya rendah. Namun yang perlu diperhatikan, B30 harus bisa memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh kendaraan bermotor bermesin diesel yang ada di Indonesia,’’katanya.
Misalnya, B30 harus memiliki kadar Monogliserida (MG) sebesar 0,44%. ‘’Sehingga jika digunakan di daerah pegunungan yang dingin tidak beku,’’katanya. Hal lain yang perlu diperhatikan yakni kadar air dalam BBN harus di jaga tidak lebih dari 200 ppm. Sebab, jika kadar air tinggi akan menyebabkan kerusakan pada mesin. ‘’Jika kadar air tinggi dari hitungan Gaikindo akan ada kenaikan biaya maintenance untuk kendaraan bermesin diesel,’’ungkapnya.
Pada prinsipnya, kata Kukuh, Gaikindo sangat mendukung upaya pemerintah dan Pertamina dalam menghadirkan energi bersih dan ramah lingkungan. Hanya saja, yang perlu dilakukan yakni menyesuaikan spesifikasi BBN dengan spesifikasi mesin kendaraan bermotor yang di produksi pabrikan. ‘’Untuk BBM jenis bensin kita sudah Euro 4, tapi untuk diesel belum,’’katanya.
Pemerintah memperkirakan penerapan B30 akan menekan impor energi khususnya dari BBM jenis solar hingga 50% tahun depan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, dalam penerapan B20 yang sudah berjalan, impor energi Indonesia sudah berkurang sebesar 23% (hingga September 2019).
Senada dengan Luhut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai, implementasi B30 pada awal tahun depan bertujuan untuk menekan impor minyak demi memperbaiki defisit neraca perdagangan. Arifin juga menilai, untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, perlu dilakukan terobosan-terobosan baru secara cara bertahap. Dimulai dari penggunaan B30, B40, hingga B50.
Hal tersebut sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan percepatan mandatori dari B20 menjadi B30, dan selanjutnya melompat ke implementasi B50 pada akhir 2020. Lompatan besar itu bukan tanpa alasan, berdasarkan hasil penggunaan bahan bakar biodiesel B20 penghematan yang bisa diraih mencapai hingga USD 5,5 millar per tahun. Sehingga, penggunaan biodiesel B30 hingga B50 akan menghasilkan penghematan lebih besar lagi.
Pemanfaatan biodiesel juga diyakini mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan impor minyak. Sehingga, akan memperbaiki defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Dan yang paling penting, penggunaan energi ramah lingkungan itu akan mendorong cita-cita Indonesia sehat melalui penggunaan energi ramah lingkungan.
(ven)