Belajar dari Kasus WeWork, Unicorn Indonesia Harus Lebih Profesional

Selasa, 26 November 2019 - 20:46 WIB
Belajar dari Kasus WeWork, Unicorn Indonesia Harus Lebih Profesional
Belajar dari Kasus WeWork, Unicorn Indonesia Harus Lebih Profesional
A A A
JAKARTA - Langkah bisnis rintisan (startup) untuk fokus mencari laba dan meningkatkan skala dinilai tepat untuk meningkatkan efisiensi sekaligus mendorong kinerja keuangan. Startup perlu menghindari kasus WeWork dan belajar dari profesionalisme transisi kepemimpinan Alibaba.

Pengamat ekonomi digital Heru Sutadi menilai, sangat wajar manajemen startup mengincar laba tahun depan. Karena itu, langkah Bukalapak dan Tokopedia mengedepankan strategi inovasi agar menghasilkan profit, menurutnya sudah sangat tepat.

“Sekarang semua unicorn arahnya mulai memoles kinerja keuangan, termasuk efisiensi. Tujuannya jelas, akan masuk ke bursa. Sehingga, istilah bakar duit dengan promo segala macam akan dikurangi agar tidak ada lagi pengeluaran besar-besaran dan di sisi lain pemasukan akan semakin besar,” ucap Heru, ketika dihubungi media, Selasa (26/11/2019).

Startup di Indonesia menurutnya perlu belajar dari kasus WeWork yang terus menerus membakar uang untuk promosi, sekitar USD2,8 miliar per tahun, namun kinerjanya tak kunjung positif. Kepada para investornya, pada kuartal III/2019, Wework mencatatkan kerugian USD1,25 miliar atau setara Rp17,5 triliun. Kerugian ini meningkat 150% dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang mencatatkan rugi USD497 juta.

Untuk diketahui, Softbank mengambil kepemilikan mayoritas WeWork sebagai bagian dari kesepakatan untuk menyuntik modal USD5 miliar ke perusahaan. Kebijakan tersebut diambil setelah WeWork urung melantai di bursa saham. Kerugian WeWork berdampak buruk bagi SoftBank. Padahal, awal bulan ini mereka telah mengumumkan rugi USD6,4 miliar. Angka tersebut merupakan kerugian terparah kuartalan yang dialami SoftBank.

Heru mengatakan, dari kejadian WeWork, ia melihat Softbank akan belajar banyak untuk pengelolaan startup yang mereka danai. Sehingga, akan ada evaluasi dan penekanan terhadap perusahaan yang didanai agar lebih efisien dan tidak bakar-bakar uang lagi. “Softbank juga akan mendorong unicorn yang dibiayai untuk mempercepat proses IPO,” ujar Heru.

Unicorn Indonesia juga dituntut untuk meniru profesionalisme Alibaba dalam melakukan scale-up, meningkatkan efisiensi, dan menghasilkan keuntungan. Alibaba berhasil melakukan semua ini meskipun baru saja ditinggal pendirinya, Jack Ma.

Teranyar, perusahaan bervaluasi Rp2.000 triliun itu telah melakukan pencatatan perdana di bursa saham Hong Kong dan berhasil menghimpun dana sebesar USD11,3 miliar. Pada hari pertama perdagangannya, harga saham Alibaba melesat lebih dari 6%.

Alibaba juga terus menghasilkan pendapatan. Pada kuartal April-Juni 2019, pendapatan Alibaba mencapai 114,92 miliar yuan (USD16,15 miliar), atau naik 42% dari tahun sebelumnya. Ini menjadi bukti bahwa ekosistem Alibaba sudah sangat tangguh.

Apa yang diraih Alibaba, menurut Ekonom Piter Abdullah, karena manajemen Alibaba memiliki visi yang sangat jelas dan kemudian juga dieksekusi dengan sangat baik. Alibaba juga tidak bergantung pada figur, namun pada kepemimpinan manajerial yang profesional.

Seluruh rangkaian keberhasilan manajemen Alibaba ini menciptakan track record yang membuat mereka sangat dipercaya. Kepercayaan ini selanjutnya berpengaruh kepada pihak eksternal yang kemudian meyakini apapun yang dilakukan oleh Alibaba akan berhasil. "Dengan keyakinan itu investor mau berinvestasi di Alibaba," ucap Piter.

Di sisi lain, kata Piter, faktor kepemimpinan selalu berperan dominan di semua organisasi khususnya di sebuah perusahaan. Pemimpin yang baik tidak saja mampu memaksimalkan semua sumber daya organisasi, tapi juga bagaimana dia mempersiapkan sistem agar organisasi menjadi tidak bergantung kepada seorang pemimpin.

"Termasuk juga mempersiapkan sistem suksesi yang menjamin tidak terputusnya kepemimpinan yang baik di organisasi, seperti Alibaba," ujar Piter.

Indonesia sudah punya beberapa unicorn dan satu decacorn, didukung oleh pasar lumayan besar, Indonesia akan mampu menciptakan raksasa-raksasa perusahaan digital. Syaratnya dukungan environment yang kondusif yang harus diciptakan oleh otoritas atau pemerintah. "Pasar yang besar tidak akan mampu mendorong industri digital kalau tidak diikuti dengan daya beli yang cukup tinggi," tegasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5665 seconds (0.1#10.140)