Unit Pelaksana Pembangkitan Listrik Flores Siap Sambut Investor
A
A
A
MANGGARAI BARAT - Perkembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terbilang cepat berkat tumbuhnya destinasi wisata direspons oleh PT PLN (Persero) dengan menambah kapasitas kelistrikan di wilayah itu. PLN pun ‘menantang’ para investor untuk menanamkan modalnya di pulau tersebut. Perusahaan listrik pelat merah itu bahkan menegaskan siap memenuhi kebutuhan listrik para pebisnis yang akan melakukan ekspansi di Flores dan sekitarnya.
“Kita telah menyiapkan infrastruktur kelistrikan hingga beberapa tahun mendatang. Selain pembangkit, kita juga siapkan transmisi interkoneksi yang akan menghubungkan seluruh Pulau Flores,” kata Manajer Unit Pelaksana Pembangkitan Flores PLN Lambok Siregar di Labuan Bajo, NTT, pekan lalu.
Dia menambahkan, PLN sedang mengembangkan sejumlah pembangkit listrik yang tersebar di beberapa daerah mulai dari Labuan Bajo di ujung barat Flores hingga Larantuka di bagian timur. Pasokan listrik dari pembangkit baru itu akan disalurkan secara interkoneksi melalui jaringan transmisi sepanjang total 600 kilometer sirkit (kms).
Adapun untuk pasokan listriknya, ke depan Flores akan mengandalkan pembangkit listrik panas bumi (PLPT) sebagai sumber energi utama. Total akan ada enam PLTP untuk memperkuat keandalan pasokan listrik.
Keenamnya adalah PLTP Sokoria berkapasitas total 30 megawatt (MW) yang akan masuk ke sistem kelistrikan pada 2020 hingga 2028, kemudian PLTP Ulumbu #5 berkapasitas 20 MW pada 2024, PLTP Mataloko 2x10 MW (2024), PLTP Ulumbu #6 sebesar 20 MW (2027), PLTP Oka Ile Ange 10 MW (2028), dan PLTP Atadei 10 MW (2025-2027). Khusus untuk PLTP Sokoria, tahap pertama akan memproduksi listrik sebesar 5 MW pada Februari 2020.
“Nanti listrik dari panas bumi ini akan menjadi tulang punggung kelistrikan di Flores karena potensinya besar berdasarkan hasil studi mencapai 660 MW,” ujar Lambok. Berdasarkan data PLN, hingga November 2019, kapasitas terpasang pembangkit listrik di Flores mencapai 190 MW.
Dari jumlah tersebut berasal dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang mencapai 45,01%, pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) 37,09%, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 7,36%, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 6,63%, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 2,36%, dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) 1,52%.
Keberadaan PLTP di Flores, ujar Lambok, juga diharapkan berkontribusi terhadap program bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2024. Saat ini bauran EBT di Flores diklaim mencapai 18,29%. Menurut Lambok, pasokan listrik dari PLTP itu secara bertahap akan menggantikan listrik yang selama ini mengandalkan PLTD.
“Harapannya, dengan adanya listrik dari PLTP ini biaya produksi menjadi lebih murah. Selain itu, juga lebih ramah lingkungan,” katanya. Vice President Public Relations PLN Dwi Suryo Abdullah mengatakan, dalam mengembangkan sistem kelistrikan di NTT dan sekitarnya, perusahaan listrik pelat merah tersebut mempertimbangkan potensi daerah yang ada.
“Panas bumi di Flores potensinya besar itu yang dikembangkan. Begitu juga tenaga matahari, itu cocok untuk kebutuhan di pulau-pulau yang kecil,” katanya. Dwi berharap sejumlah pengembangan infrastruktur kelistrikan di Flores dapat membantu cita-cita pemerintah mencapai rasio elektrifikasi 100% secara nasional pada 2020.
Per Agustus 2019, secara umum kondisi kelistrikan di NTT memiliki daya mampu sebesar 335 (MW) dengan beban puncak mencapai 214,3 MW. Adapun dari sisi jaringan, NTT memiliki jalur transmisi sepanjang 387,4 kms dengan total gardu induk berkapasitas 235 MVA. Sementara rasio elektrifikasi di NTT baru mencapai 84,68% dengan jumlah pelanggan total 785.775 sambungan di 22 kabupaten. PLN menargetkan rasio elektrifikasi di NTT bisa mencapai 100% pada tahun depan.
Menurut Dwi, salah satu untuk mencapai tingkat rasio elektrifikasi di NTT adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Di wilayah Flores terdapat sejumlah pulau yang mengandalkan sumber listrik dari PLTS, di antaranya Pulau Messa, Nuca Molas, Papagarang, Tribur, Seraya Marannnu, Batu Tiga, Kojandoi, Permaan, Treseng, dan Usulanu.
“Kita telah menyiapkan infrastruktur kelistrikan hingga beberapa tahun mendatang. Selain pembangkit, kita juga siapkan transmisi interkoneksi yang akan menghubungkan seluruh Pulau Flores,” kata Manajer Unit Pelaksana Pembangkitan Flores PLN Lambok Siregar di Labuan Bajo, NTT, pekan lalu.
Dia menambahkan, PLN sedang mengembangkan sejumlah pembangkit listrik yang tersebar di beberapa daerah mulai dari Labuan Bajo di ujung barat Flores hingga Larantuka di bagian timur. Pasokan listrik dari pembangkit baru itu akan disalurkan secara interkoneksi melalui jaringan transmisi sepanjang total 600 kilometer sirkit (kms).
Adapun untuk pasokan listriknya, ke depan Flores akan mengandalkan pembangkit listrik panas bumi (PLPT) sebagai sumber energi utama. Total akan ada enam PLTP untuk memperkuat keandalan pasokan listrik.
Keenamnya adalah PLTP Sokoria berkapasitas total 30 megawatt (MW) yang akan masuk ke sistem kelistrikan pada 2020 hingga 2028, kemudian PLTP Ulumbu #5 berkapasitas 20 MW pada 2024, PLTP Mataloko 2x10 MW (2024), PLTP Ulumbu #6 sebesar 20 MW (2027), PLTP Oka Ile Ange 10 MW (2028), dan PLTP Atadei 10 MW (2025-2027). Khusus untuk PLTP Sokoria, tahap pertama akan memproduksi listrik sebesar 5 MW pada Februari 2020.
“Nanti listrik dari panas bumi ini akan menjadi tulang punggung kelistrikan di Flores karena potensinya besar berdasarkan hasil studi mencapai 660 MW,” ujar Lambok. Berdasarkan data PLN, hingga November 2019, kapasitas terpasang pembangkit listrik di Flores mencapai 190 MW.
Dari jumlah tersebut berasal dari pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang mencapai 45,01%, pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) 37,09%, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 7,36%, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 6,63%, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 2,36%, dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) 1,52%.
Keberadaan PLTP di Flores, ujar Lambok, juga diharapkan berkontribusi terhadap program bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2024. Saat ini bauran EBT di Flores diklaim mencapai 18,29%. Menurut Lambok, pasokan listrik dari PLTP itu secara bertahap akan menggantikan listrik yang selama ini mengandalkan PLTD.
“Harapannya, dengan adanya listrik dari PLTP ini biaya produksi menjadi lebih murah. Selain itu, juga lebih ramah lingkungan,” katanya. Vice President Public Relations PLN Dwi Suryo Abdullah mengatakan, dalam mengembangkan sistem kelistrikan di NTT dan sekitarnya, perusahaan listrik pelat merah tersebut mempertimbangkan potensi daerah yang ada.
“Panas bumi di Flores potensinya besar itu yang dikembangkan. Begitu juga tenaga matahari, itu cocok untuk kebutuhan di pulau-pulau yang kecil,” katanya. Dwi berharap sejumlah pengembangan infrastruktur kelistrikan di Flores dapat membantu cita-cita pemerintah mencapai rasio elektrifikasi 100% secara nasional pada 2020.
Per Agustus 2019, secara umum kondisi kelistrikan di NTT memiliki daya mampu sebesar 335 (MW) dengan beban puncak mencapai 214,3 MW. Adapun dari sisi jaringan, NTT memiliki jalur transmisi sepanjang 387,4 kms dengan total gardu induk berkapasitas 235 MVA. Sementara rasio elektrifikasi di NTT baru mencapai 84,68% dengan jumlah pelanggan total 785.775 sambungan di 22 kabupaten. PLN menargetkan rasio elektrifikasi di NTT bisa mencapai 100% pada tahun depan.
Menurut Dwi, salah satu untuk mencapai tingkat rasio elektrifikasi di NTT adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Di wilayah Flores terdapat sejumlah pulau yang mengandalkan sumber listrik dari PLTS, di antaranya Pulau Messa, Nuca Molas, Papagarang, Tribur, Seraya Marannnu, Batu Tiga, Kojandoi, Permaan, Treseng, dan Usulanu.
(don)