Evaluasi Tarif Penyeberangan Didorong Rampung Demi Keberlangsungan Usaha
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) didorong untuk segara menyelesaikan evaluasi dan penetapan tarif moda transportasi angkutan penyeberangan yang telat berlarut-larut. Pasalnya menurut praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, Bambang Haryo Soekartono yang menerangkan evaluasi tersebut belum juga menemui kejelasan untuk membuat pelaku usaha angkutan penyeberangan dipenuhi ketidakpastian.
“Usulan evaluasi tarif sama seperti perizinan karena menyangkut pelayanan publik. Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal 3 jam, kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun ditambah birokrasinya panjang karena sekarang melibatkan tiga instansi, yakni Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM,” kata Bambang Haryo, Selasa (3/12/2019).
Dia mengatakan, hal ini melanggar yakni Keputusan Menhub No. KM 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap 6 bulan sekali. “Evaluasi tarif sudah 1,5 tahun tapi belum juga ditetapkan, sementara tarif belum naik dalam 3 tahun terakhir,” ungkapnya.
Menurutnya berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan. Pada era Orde Baru saja, tuturnya, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub. “Jadi birokrasi tarif yang panjang dan bertele-tele saat ini merupakan suatu kemunduran, tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas hambatan usaha dan birokrasi,” tegasnya.
Lebih mengherankan lagi, lanjut Bambang Haryo, Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama tiga tahun ke depan. Padahal menurutnya, perhitungan tarif sudah sangat transparan karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Pemerintah mengetahui bahwa pendapatan itu sulit untuk menutupi keselamatan dan kenyamanan pelayaran.
“Sebagai sarana (alat angkut) sekaligus prasarana publik yang supermassal, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda lain. Oleh karena itulah harus dilindungi oleh negara agar kondisi usaha kondusif demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya,” kata Bambang Haryo.
Anggota Komisi V DPR DRI periode 2014-2019 sekaligus Dewan Pembina Gapasdap ini menyadari, kenaikan tarif bukan kebijakan populer bagi pemerintah, namun keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi popularitas. Terang dia dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Sebagai gambaran, apabila sebuah truk mengangkut 30 ton beras atau senilai Rp300 juta (30 ton x harga beras Rp10.000 per kg) di lintas Merak-Bakauheni, maka akan membayar tambahan tarif Rp150.000 dengan asumsi dikenakan kenaikan tarif teringgi yakni 38%. Artinya, dampak kenaikan tarif itu terhadap harga beras yang termasuk komoditas bawah hanya Rp5 per kg atau 0,05%. Apabila yang diangkut produk bernilai tinggi, kenaikan tarifnya tentu menjadi relatif lebih rendah.
"Kenaikan itu mungkin sangat kecil bagi pemilik barang, tetapi bagi operator angkutan penyeberangan sangat besar artinya untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik," ujarnya.
Bambang Haryo mengingatkan kepada pemerintah, bahwa kondisi angkutan penyeberangan saat ini sangat memprihatinkan. Banyak perusahaan yang kesulitan keuangan, kesulitan membayar gaji tepat waktu dan mencicil tagihan.
“Beberapa perusahaan terpaksa dijual ke investor baru karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Ini akibat pemerintah kurangnya perhatian pemerintah, yang selalu menunda-nunda kenaikan tarif," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya tarif penyeberangan tidak perlu diatur pemerintah, sebab pemerintah tidak sanggup memberikan subsidi PSO (public service obligation) seperti yang diberikan untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter.
“Kenapa diskriminatif, KA diberikan PSO tetapi pelayaran tidak? Padahal, kapal penyeberangan sangat vital dan tidak bisa digantikan dengan moda lain, sedangkan KA masih bisa diganti dengan moda darat lain, seperti bus, mobil pribadi, atau sepeda motor,” ungkapnya.
Apabila pemerintah tidak sanggup atau tidak mau memberikan PSO kepada angkutan penyeberangan, maka tarifnya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Apalagi, tarif untuk penyeberangan di lintas komersial.
Bambang Haryo mengatakan, bertele-telenya masalah tarif ini membuktikan tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan dan tidak peduli dengan konsep kemaritiman. “Kemenhub lebih memperhatikan transportasi darat daripada kemaritiman. Ini sangat disesalkan, padahal the real tol laut itu adalah penyeberangan, bukan seperti kapal tol laut yang sekarang tidak menentu jadwalnya,” tukasnya.
“Usulan evaluasi tarif sama seperti perizinan karena menyangkut pelayanan publik. Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal 3 jam, kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun ditambah birokrasinya panjang karena sekarang melibatkan tiga instansi, yakni Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM,” kata Bambang Haryo, Selasa (3/12/2019).
Dia mengatakan, hal ini melanggar yakni Keputusan Menhub No. KM 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap 6 bulan sekali. “Evaluasi tarif sudah 1,5 tahun tapi belum juga ditetapkan, sementara tarif belum naik dalam 3 tahun terakhir,” ungkapnya.
Menurutnya berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan. Pada era Orde Baru saja, tuturnya, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub. “Jadi birokrasi tarif yang panjang dan bertele-tele saat ini merupakan suatu kemunduran, tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas hambatan usaha dan birokrasi,” tegasnya.
Lebih mengherankan lagi, lanjut Bambang Haryo, Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama tiga tahun ke depan. Padahal menurutnya, perhitungan tarif sudah sangat transparan karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Pemerintah mengetahui bahwa pendapatan itu sulit untuk menutupi keselamatan dan kenyamanan pelayaran.
“Sebagai sarana (alat angkut) sekaligus prasarana publik yang supermassal, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda lain. Oleh karena itulah harus dilindungi oleh negara agar kondisi usaha kondusif demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya,” kata Bambang Haryo.
Anggota Komisi V DPR DRI periode 2014-2019 sekaligus Dewan Pembina Gapasdap ini menyadari, kenaikan tarif bukan kebijakan populer bagi pemerintah, namun keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi popularitas. Terang dia dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Sebagai gambaran, apabila sebuah truk mengangkut 30 ton beras atau senilai Rp300 juta (30 ton x harga beras Rp10.000 per kg) di lintas Merak-Bakauheni, maka akan membayar tambahan tarif Rp150.000 dengan asumsi dikenakan kenaikan tarif teringgi yakni 38%. Artinya, dampak kenaikan tarif itu terhadap harga beras yang termasuk komoditas bawah hanya Rp5 per kg atau 0,05%. Apabila yang diangkut produk bernilai tinggi, kenaikan tarifnya tentu menjadi relatif lebih rendah.
"Kenaikan itu mungkin sangat kecil bagi pemilik barang, tetapi bagi operator angkutan penyeberangan sangat besar artinya untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik," ujarnya.
Bambang Haryo mengingatkan kepada pemerintah, bahwa kondisi angkutan penyeberangan saat ini sangat memprihatinkan. Banyak perusahaan yang kesulitan keuangan, kesulitan membayar gaji tepat waktu dan mencicil tagihan.
“Beberapa perusahaan terpaksa dijual ke investor baru karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Ini akibat pemerintah kurangnya perhatian pemerintah, yang selalu menunda-nunda kenaikan tarif," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya tarif penyeberangan tidak perlu diatur pemerintah, sebab pemerintah tidak sanggup memberikan subsidi PSO (public service obligation) seperti yang diberikan untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter.
“Kenapa diskriminatif, KA diberikan PSO tetapi pelayaran tidak? Padahal, kapal penyeberangan sangat vital dan tidak bisa digantikan dengan moda lain, sedangkan KA masih bisa diganti dengan moda darat lain, seperti bus, mobil pribadi, atau sepeda motor,” ungkapnya.
Apabila pemerintah tidak sanggup atau tidak mau memberikan PSO kepada angkutan penyeberangan, maka tarifnya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Apalagi, tarif untuk penyeberangan di lintas komersial.
Bambang Haryo mengatakan, bertele-telenya masalah tarif ini membuktikan tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan dan tidak peduli dengan konsep kemaritiman. “Kemenhub lebih memperhatikan transportasi darat daripada kemaritiman. Ini sangat disesalkan, padahal the real tol laut itu adalah penyeberangan, bukan seperti kapal tol laut yang sekarang tidak menentu jadwalnya,” tukasnya.
(akr)