UNEP: Karhutla Mayoritas Terjadi di Lahan Telantar

Selasa, 10 Desember 2019 - 08:05 WIB
UNEP: Karhutla Mayoritas Terjadi di Lahan Telantar
UNEP: Karhutla Mayoritas Terjadi di Lahan Telantar
A A A
JAKARTA - Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Environment Programme (UNEP) mengeluarkan data terbaru yang menyatakan luasan hutan dan lahan terbakar pada tujuh provinsi di Indonesia selama Januari-Oktober 2019 mencapai 1,64 juta hektare (ha). Dari luasan tersebut sekitar 76% karhutla terjadi di lahan telantar.

Data itu mengungkapkan hanya 3% kebakaran terjadi di lahan pertanian kelapa sawit. Begitu juga kebakaran di kawasan hutan mencapai 3% dari total keseluruhan area. Diperkirakan, pada 1 Januari hingga 31 Oktober 2019 sekitar 60.000 ha hutan terkena dampak kebakaran dan sebagian berada di lahan gambut.

Menanggapi laporan itu, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan, konsesi tidak produktif seperti kawasan telantar yang tidak dibebani izin, punya potensi karhutla tinggi. Hal ini, berbeda dengan kawasan yang dibebani izin seperti perkebunan sawit.

“Kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri terbakar dan punya banyak hotspot kecil,” kata Sudarsono di Jakarta, kemarin. Karena itu, kata Sudarsono, untuk memperkecil potensi karhutla, para pemegang konsesi termasuk pemerintah wajib dibebani tanggung jawab termasuk pemberlakukan tanggung jawab mutlak jika konsesinya terbakar. “Cara pencegahan ini lebih efektif dibandingkan penanggulangan jika sudah terjadi kebakaran,” katanya.

Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso berpendapat tanggung jawab itu akan memaksa setiap pemegang konsesi aktif menjaga konsesi. Baik Sudarsono maupun Petrus berpendapat, kesetaraan tanggung jawab pemegang konsesi bisa memperkecil terjadinya karhutla sekaligus meminimalir kampanye hitam terhadap industri sawit di Indonesia yang selama ini selalu dikambinghitamkan.

“Seharusnya saat terjadi kebakaran hutan di Pulau Jawa, Perum Perhutani sebagai BUMN pemegang konsesi hutan bisa diminta pertanggungjawaban dan dikenai sanksi sama seperti korporasi dan masyarakat,” kata Sudarsono.

Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit. “Naif rasanya jika untuk membeli bibit sawit saja butuh dana Rp25 juta hingga Rp50 juta dan belum termasuk biaya lain seperti pupuk, jika kemudian hanya untuk dibakar,” kata Musdalifah.

Sudarsono menambahkan, banyak hal yang perlu dicermati dan bisa diperdebatkan dalam Permen LHK No 7 Tahun 2014 terkait metode penghitungan besaran ganti rugi dan biaya pemulihan. Hal ini karena sejumlah aturan dalam regulasi tersebut memberlakukan penghitungan ganda (double counting) bahkan multiple counting.

Menurut Sudarsono, penghitungan ganda misalnya terjadi pada penghitungan ekosistem dan biodiversity serta carbon indeed dan carbon loss. Dalam penghitungan hilang peluang ekonomi (economic losses) juga terjadi double counting. Permen tersebutnya memisahkan antara pendapatan dan keuntungan. Padahal, logikanya keuntungan merupakan bagian dari pendapatan.

“Penghitungan ganda berakibat pada nilai ganti rugi atas gugatan secara perdata yang nilainya fantastis Rp315 triliun atau jika dirata-rata sebesar Rp300 juta per ha. Padahal sejumlah kajian hanya menghitung nilai ganti rugi dalam kisaran Rp10 juta hingga Rp20 juta per ha.

Jika regulasi itu dipaksakan, potensi kebangkrutan investasi berbasis sumber saya alam seperti perkebunan sawit dan hutan Tanaman Industri (HTI) sangat besar karena tidak mampu membayar. “Jika KLHK yakin bahwa angka fantastis gugatan bisa bisa dipertanggungjawabkan, sebaiknya nilai tersebut diajukan ke Uni Eropa sebagai kompensasi untuk untuk menjaga kawasan hutan dari karhutla,” katanya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1870 seconds (0.1#10.140)