Ketahanan Pangan Masih Lemah, Indonesia Perlu Tiru Singapura

Rabu, 11 Desember 2019 - 07:03 WIB
Ketahanan Pangan Masih...
Ketahanan Pangan Masih Lemah, Indonesia Perlu Tiru Singapura
A A A
LONDON - Indonesia dituntut bekerja keras untuk meningkatkan ketahanan pangannya. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI) yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), negeri ini berada di peringkat ke-62 dari 113 negara di dunia. Walaupun ada kemajuan dari tahun sebelumnya, peringkat ini menunjukkan ketahanan pangan Indonesia masih lemah.

Posisi Indonesia ini jauh berada di bawah Singapura yang menempati posisi pertama. Singapura berada di posisi teratas bersama Irlandia, Amerika Serikat (AS), Swiss, dan Finlandia. Adapun Kuwait, Qatar, dan Malawi menjadi negara dengan perkembangan pangan paling signifikan. Sebaliknya Nikaragua, Argentina, Tunisia, dan Ekuador terus mengalami kemerosotan sejak beberapa tahun terakhir.

Lemahnya ketahanan pangan tentu harus menjadi perhatian serius karena mencerminkan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting. Semakin rendah indeks yang diperoleh, berarti jaminan ketersediaan suplai pangan semakin tidak aman.

Menurut EIU, tantangan yang masih menghambat ketahanan pangan Indonesia ialah rendahnya PDB per kapita, infrastruktur pertanian, kualitas protein, pola makan, sulitnya akses dana bagi para petani, dan korupsi. Namun EIU juga melihat sejumlah sektor lain yang dinilai cukup baik.

Sektor dimaksud antara lain perubahan rata-rata harga pangan, proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan global, tarif impor pertanian, program keamanan pangan, pasokan pangan, produksi pertanian, risiko stabilitas politik, kapasitas penyerapan urban, standar nutrisi, dan keamanan pangan.

Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Andriko Noto Susanto mengakui ketahanan pangan belum ideal. Kendati demikian dia menandaskan, posisi index ketahanan pangan paada 2019 ini mengalami peningkatan jika ditinjau dari tahun-tahun sebelumnya dibandingkan dengan Negara tetangga. “Dilihat bukan saat ini, posisi Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga itu posisi terus meningkat,” kata dia saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, kemarin.

Dia pun menegaskan, pemerintah terus berupaya meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan, akses, pemanfaatan dan keamanan pangan. Untuk meningkatkan ketersediaan pangan, misalnya, pemerintah terus berupaya mencukupi kebutuhan pangan dari dalam negeri ataupun impor sesuai dengan komparatif dan kompetitifnya.

Adapun untuk meningkatkan akses pangan, pemerintah mendekatkan sentra produksi pangan dari Jawa ke wilayah timur Indonesia. “Untuk masuk ke wilayah tersebut butuh sistem logistik. Nah ini bagaimana sistem logistiknya harus ditingkatkan,” kata dia.

Setelah akses berhasil ditingkatkan, selanjutnya pemerintah harus memastikan pemanfaatannya. Artinya setelah sentra produksi berhasil didekatkan dengan konsumen, harganya harus terjangkau. “Setelah itu dipastikan keamanan pangan. Poduksi pangan harus dipastikan aman untuk dikonsumsi masyarakat,” jelas Andriko. Dia lantas memaparkan, saat ini masih 18% wilayah yang tergolong rentan pangan.

Wilayah dimaksud tersebar di Indonesia timur, yakni Papua, Papua Barat, Maluku Utara. Selain itu masih terjadi di daerah pemekaran dan daerah perbatasan yang jauh dari ibu kota provinsi. “Terdapat sekitar 88 kabupaten kota atau sekitar 900 kecamatan yang masih rentan pangan. Dengan upaya itu diharapkan ketahanan pangan akan meningkat. Tapi tetap harus didukung dengan akses jalan, listrik, dan membangun lumbung baru,” ujarnya.

Sebelumnya, untuk memacu ketahanan pangan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pada akhir tahun lalu menggelar diskusi bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan seperti Perum Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian membahas ketahanan pangan di Tahun Politik 2019.

Dalam kesempatan tersebut Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso yang sering disapa dengan panggilan Buwas itu mengatakan ketahanan pangan belum sepenuhnya tercapai karena Indonesia hingga saat ini masih membuka impor beras. Menurut Buwas, pemerintah belum bersinergi untuk benar-benar menghentikan impor.

"Saya miris negara agraris besar masa pangan impor? Apalagi kalau saya jadi petani, seolah-olah kita tidak berpihak ke petani. Jadi bagaimana kita berpikir sinergis membangun ketahanan pangan," kata Buwas.

Adapun Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani berharap selain ketahanan pangan meningkatkan, Indonesia juga harus memenuhi target sebagai lumbung pangan dunia pada 2045."Yang paling penting juga bersamaan dengan meningkatkan kesejahteraan para petani. Itu penting karena hal itu bisa terwujud dengan kerja sama semua pihak, pengusaha, dan pengambil kebijakan," kata Rosan.

Meniru Singapura

Melalui program dan kebijakan yang tangguh dan tepat, Singapura menjadi negara dengan ketahanan pangan terbaik di dunia pada 2019. Berdasarkan GFSI, negeri tersebut berada di urutan pertama mengalahkan 113 negara lainnya.

Capaian itu berhasil dipertahankan Singapura sejak 2018 kendati EIU memasukkan sejumlah faktor baru dalam GFSI 2019 seperti biaya pangan, penelitian dan pengembangan (R&D) di bidang pertanian, dan standar nutrisi. Singapura memperoleh nilai amat bagus dalam sektor ketersediaan dan keterjangkauan pangan.

EIU menyatakan GFSI 2019 merupakan catatan sistem pangan di 113 negara, baik kemampuan dalam menyediakan pangan maupun kondisi yang disebabkan krisis politik ataupun perubahan iklim. Sekitar 88% negara memiliki ketersediaan pasokan pangan yang cukup. Namun, sekitar 10% berada di bawah gizi buruk.

“Seperti ditunjukkan dalam GFSI, hampir 80% negara yang masuk daftar mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, sedangkan 10% atau lebih masih kekurangan. Ketahanan pangan merupakan masalah yang rumit dan mutlidimensi,” ujar Kepala Proyek GFSI EIU, Priya Bapat, dalam keterangan persnya.

EIU menerangkan sekitar 90% lahan pertanian di 79 negara tidak memiliki irigasi yang memadai. Kondisi itu perlu diperhatikan menyusul adanya ancaman perubahan iklim. Namun infrastruktur pertanian mulai berkembang pesat di sejumlah negara, tak terkecuali di Qatar, Belarusia, Slovakia, Australia, dan Kuwait.

Dalam beberapa tahun terakhir, Qatar meningkatkan infrastruktur pelabuhan dan kereta api, sedangkan negara lainnya memperluas fasilitas gudang hasil pertanian. Australia mengucurkan dana inovasi untuk mendukung industri gandum dan Suriah membangun kembali gudang gandum yang hancur akibat perang.

Namun alokasi dana di sektor pertanian berlangsung stagnan, setidaknya sejak tahun 2000, terutama di Asia Tenggara dan Asia Timur. Menurut EIU, R&D di sektor pertanian diperlukan untuk pengembangan teknologi dan inovasi dalam mendukung peningkatan produktivitas dan mengurangi dampak terhadap lingkungan.

Para petani juga disebut kesulitan mengakses pinjaman dana. Bahkan, sebanyak enam negara sama sekali tidak memberikan akses pinjaman. Negara yang dimaksud ialah Venezuela, Chad, Kongo, Haiti, Suriah, dan Yaman. Dengan kebijakan itu, kualitas ketahanan pangan mereka menurun drastis dibanding tahun lalu.

Ketahanan pangan di negara konflik juga memburuk. Memang pasokan pangan meningkat di Timur Tengah, Yaman, dan Suriah, tetapi hal itu tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok penduduknya akibat putusnya akses dan hancurnya fasilitas pertanian. Kedua negara sangat bergantung pada bantuan dari luar negeri.

“Harga pangan dunia juga naik dalam lima tahun terakhir, terutama di negara yang mengalami konflik,” ungkap EIU. “Sebanyak 26 negara di dalam daftar GFSI mengalami inflasi harga makanan sekitar 5% pada tahun lalu. Argentina mengalami angka inflasi tertinggi, yakni 51%. Lalu Turki 25% dan Mesir 19%,”

China dan Bangladesh merupakan dua negara yang mengalami produksi pangan paling stabil dalam lima tahun terakhir. Adapun Paraguay, Burundi, dan Suriah paling buruk. Kondisi stabil dapat membantu otoritas terkait negara dalam mengelola ketersediaan pangan secara lebih baik dan mengantisipasi krisis pangan.

Berdasarkan GFSI, sebanyak 91% negara memiliki strategi atau rencana nutrisi yang bagus, baik untuk orang dewasa ataupun anak-anak. Namun, hanya 80% negara yang mampu mencapai target melalui peraturan yang ketat. Kekurangan nutrisi sejak dini dapat menyebabkan kerusakan kognitif dan fisik saat dewasa.

“Permasalahan yang dihadapi setiap negara berbeda-beda. Beberapa faktor risiko yang paling umum dan besar ialah krisis air akibat kemarau panjang, banjir, kenaikan tingkat air laut, degradasi tanah, dan eutrofikasi laut. Irlandia merupakan negara dengan resiliensi dan sumber daya alam terkuat di dunia,” ungkap EIU.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1105 seconds (0.1#10.140)