Gaprindo Minta Kepastian IHT di Tengah Aturan Eksesif
A
A
A
JAKARTA - Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, industri ini mengalami penurunan volume produksi.
Saat ini hanya tersisa sekitar 700 pabrikan kecil, menengah dan besar di Indonesia. Padahal tahun 2007 lalu tercatat ada lebih dari 4.000-an pabrikan. Penurunan ini berdampak pula pada sektor tenaga kerja.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, salah satu isu yang kini tengah menjadi pembahasan luas dan menambah keresahan para pelaku IHT adalah proses revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Revisi yang digagas oleh tim Kementerian Kesehatan tanpa pelibatan pelaku usaha tersebut mencakup beberapa poin perubahan yang berdampak pada keberlangsungan IHT.
"Kami menyadari bahwa produk tembakau merupakan produk yang memiliki resiko. Karena itu kami senantiasa berkoordinasi dan sepenuhnya menghormati upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsinya," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (25/12/2019).
Moeftie berharap pemerintah selayaknya mencari solusi yang adil dan berimbang. Pemerintah turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh asosiasi tembakau lainnya, Gaprindo meyakini bahwa PP No. 109 tahun 2012 yang berlaku saat ini sebetulnya telah mengakomodasi dengan tepat hak pelaku industri maupun hak publik.
Dia memaparkan, banyak sekali upaya strategis yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di bawah umur tanpa harus menekan keberlangsungan IHT. Antara lain sosialisasi kepada pengecer/peritel, memasukkan materi bahaya merokok ke dalam kurikulum pendidikan, edukasi mengenai pengasuhan anak bagi orang tua, pertemuan rutin bersama kelompok pemuda di daerah.
"Dengan edukasi yang lebih terstruktur dan menarget banyak lapisan, tentu bisa membuat langkah pencegahan perokok anak semakin efektif, bukan lantas menghukum pelaku industri secara sepihak," jelasnya.
Lebih lanjut, Gaprindo berharap hendaknya pemerintah mempertimbangkan untuk menghentikan proses revisi PP No.109 tahun 2012. Gaprindo juga meminta pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk membuka pintu diskusi dengan industri guna menghasilkan solusi yang tepat bagi seluruh pihak.
Sebagai industri legal yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara, Gaprindo berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri yang menaungi 6 juta masyarakat Indonesia itu.
"Kekhawatiran kami, jika upaya pengendalian konsumsi ini tidak diputuskan dengan bijak dan akomodatif bagi seluruh pihak, hanya akan menimbulkan dampak lanjutan yang malah merugikan Pemerintah dan masyarakat sendiri," pungkasnya.
Saat ini hanya tersisa sekitar 700 pabrikan kecil, menengah dan besar di Indonesia. Padahal tahun 2007 lalu tercatat ada lebih dari 4.000-an pabrikan. Penurunan ini berdampak pula pada sektor tenaga kerja.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, salah satu isu yang kini tengah menjadi pembahasan luas dan menambah keresahan para pelaku IHT adalah proses revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Revisi yang digagas oleh tim Kementerian Kesehatan tanpa pelibatan pelaku usaha tersebut mencakup beberapa poin perubahan yang berdampak pada keberlangsungan IHT.
"Kami menyadari bahwa produk tembakau merupakan produk yang memiliki resiko. Karena itu kami senantiasa berkoordinasi dan sepenuhnya menghormati upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsinya," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (25/12/2019).
Moeftie berharap pemerintah selayaknya mencari solusi yang adil dan berimbang. Pemerintah turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh asosiasi tembakau lainnya, Gaprindo meyakini bahwa PP No. 109 tahun 2012 yang berlaku saat ini sebetulnya telah mengakomodasi dengan tepat hak pelaku industri maupun hak publik.
Dia memaparkan, banyak sekali upaya strategis yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di bawah umur tanpa harus menekan keberlangsungan IHT. Antara lain sosialisasi kepada pengecer/peritel, memasukkan materi bahaya merokok ke dalam kurikulum pendidikan, edukasi mengenai pengasuhan anak bagi orang tua, pertemuan rutin bersama kelompok pemuda di daerah.
"Dengan edukasi yang lebih terstruktur dan menarget banyak lapisan, tentu bisa membuat langkah pencegahan perokok anak semakin efektif, bukan lantas menghukum pelaku industri secara sepihak," jelasnya.
Lebih lanjut, Gaprindo berharap hendaknya pemerintah mempertimbangkan untuk menghentikan proses revisi PP No.109 tahun 2012. Gaprindo juga meminta pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan untuk membuka pintu diskusi dengan industri guna menghasilkan solusi yang tepat bagi seluruh pihak.
Sebagai industri legal yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara, Gaprindo berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri yang menaungi 6 juta masyarakat Indonesia itu.
"Kekhawatiran kami, jika upaya pengendalian konsumsi ini tidak diputuskan dengan bijak dan akomodatif bagi seluruh pihak, hanya akan menimbulkan dampak lanjutan yang malah merugikan Pemerintah dan masyarakat sendiri," pungkasnya.
(ind)