Penghuni Rusun dan Apartemen Harus Taat Bayar IPL
A
A
A
JAKARTA - Pengelola apartemen dan rumah susun milik (rusunami) meminta para penghuni agar taat membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) atau service charge meski aturan baru yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta sangat meringankan.
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 133/2019 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 132/2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rusunami, disebutkan penghuni rusun atau apartemen yang tidak membayar IPL tetap bisa mendapatkan fasilitas dasar. Fasilitas itu meliputi penyediaan energi listrik, penyediaan sumber air bersih dan pemanfaatan atas benda, bagian dan tanah bersama, termasuk pemberian akses keluar masuk hunian.
Johan, salah satu pemilik apartemen di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, mengatakan kebijakan itu akan mengganggu layanan dan fasilitas di rusun. Sebab, IPL merupakan sumber dana operasional dalam pengelolaan rusun atau apartemen, seperti untuk biaya pemeliharaan gedung, lift, kebersihan lingkungan, keamanan, serta utilitas yang meliputi listrik, air bersih, dan gas pada fasilitas bersama.
Misalnya jika di satu tower rusun atau apartemen dimiliki 400 orang dan separuh dari para pemilik tersebut tidak membayar IPL karena ketiadaan sanksi, lalu siapa yang akan menanggung biaya pengelolaan dan perawatan gedung. “Revisi peraturan dari 132 tahun 2018 ke 133 tahun 2019, bukannya semakin baik, malah semakin tidak karuan,” kata Johan di Jakarta, baru-baru ini.
Analis hukum pertanahan dan properti, Eddy Leks mengatakan, ketentuan itu justru bisa dimanfaatkan oleh penghuni yang memang sengaja tidak mau membayar. Padahal, di sisi lain, uang pengelolaan itu sangat penting. Tanpa itu, rumah susun tidak bisa beroperasi dengan baik dan akan muncul banyak masalah, seperti keamanan dan keselamatan.
Selain itu, ketentuan tersebut adalah hal baru yang tidak ada sebelumnya dalam Peraturan Menteri PUPR (Permen). “Justru dalam lampiran permen (ada di dalam ART), malah diatur bahwa layanan bisa dihentikan berdasarkan tata tertib,” ujarnya.
Hal-hal seperti ini, kata Eddy, sering kali muncul dalam penerbitan aturan-aturan di level daerah. Tidak heran jika pemerintah pusat mencanangkan omnibus law karena aturan-aturan di level daerah malah sering menyimpang atau tidak selaras dengan aturan pemerintah pusat. “Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi terdistorsi dan ini tidak baik bagi negara hukum seperti negara Indonesia,” katanya. (Rakhmat Baihaqi)
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 133/2019 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 132/2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rusunami, disebutkan penghuni rusun atau apartemen yang tidak membayar IPL tetap bisa mendapatkan fasilitas dasar. Fasilitas itu meliputi penyediaan energi listrik, penyediaan sumber air bersih dan pemanfaatan atas benda, bagian dan tanah bersama, termasuk pemberian akses keluar masuk hunian.
Johan, salah satu pemilik apartemen di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, mengatakan kebijakan itu akan mengganggu layanan dan fasilitas di rusun. Sebab, IPL merupakan sumber dana operasional dalam pengelolaan rusun atau apartemen, seperti untuk biaya pemeliharaan gedung, lift, kebersihan lingkungan, keamanan, serta utilitas yang meliputi listrik, air bersih, dan gas pada fasilitas bersama.
Misalnya jika di satu tower rusun atau apartemen dimiliki 400 orang dan separuh dari para pemilik tersebut tidak membayar IPL karena ketiadaan sanksi, lalu siapa yang akan menanggung biaya pengelolaan dan perawatan gedung. “Revisi peraturan dari 132 tahun 2018 ke 133 tahun 2019, bukannya semakin baik, malah semakin tidak karuan,” kata Johan di Jakarta, baru-baru ini.
Analis hukum pertanahan dan properti, Eddy Leks mengatakan, ketentuan itu justru bisa dimanfaatkan oleh penghuni yang memang sengaja tidak mau membayar. Padahal, di sisi lain, uang pengelolaan itu sangat penting. Tanpa itu, rumah susun tidak bisa beroperasi dengan baik dan akan muncul banyak masalah, seperti keamanan dan keselamatan.
Selain itu, ketentuan tersebut adalah hal baru yang tidak ada sebelumnya dalam Peraturan Menteri PUPR (Permen). “Justru dalam lampiran permen (ada di dalam ART), malah diatur bahwa layanan bisa dihentikan berdasarkan tata tertib,” ujarnya.
Hal-hal seperti ini, kata Eddy, sering kali muncul dalam penerbitan aturan-aturan di level daerah. Tidak heran jika pemerintah pusat mencanangkan omnibus law karena aturan-aturan di level daerah malah sering menyimpang atau tidak selaras dengan aturan pemerintah pusat. “Dengan demikian, penafsiran hukum menjadi terdistorsi dan ini tidak baik bagi negara hukum seperti negara Indonesia,” katanya. (Rakhmat Baihaqi)
(nfl)