Pemerintah Harus Antisipasi Dampak Konflik AS-Iran

Kamis, 09 Januari 2020 - 06:55 WIB
Pemerintah Harus Antisipasi Dampak Konflik AS-Iran
Pemerintah Harus Antisipasi Dampak Konflik AS-Iran
A A A
JAKARTA - Serangan Iran ke sejumlah pangkalan militer Amerika Serikat (AS) sebagai balasan atas serangan drone terhadap komandan militer Iran Jenderal Qassem Soleimani dikhawatirkan mengguncang perekonomian global. Kondisinya akan semakin parah jika kedua pihak tidak mau menahan diri yang berujung pada pecahnya perang terbuka di kawasan Timur Tengah tersebut.

Pascaserangan balasan Iran, dampak ekonomi belum terasa, termasuk harga minyak yang kemarin tetap stabil. Berdasar laporan JBC Energy, harga minyak kemarin turun 1,5% menjadi USD61,75 per barel. Kondisi ini terjadi karena serangan balasan Iran dilakukan secara terbatas.

Namun kekhawatiran tetap saja muncul, termasuk dampaknya ke Indonesia. Kekhawatiran di antaranya disampaikan analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu dan analis Mandiri Sekuritas Handy Yunianto. Di antara dampak yang perlu diantisipasi adalah terjadinya fluktuasi di pasar modal Indonesia atau IHSG tahun 2020 ini.

Dessy Lapagu menyebut indikasi dampak krisis di Timur Tengah akan signifikan memengaruhi fluktuasi IHSG sudah terlihat pada pergerakan IHSG minggu ini. "Tapi pertanyaan besarnya adalah akan berapa lama tensi geopolitik ini terjadi? Ditambah lagi, belum ada rilis data domestik yang signifikan yang dapat mendorong pergerakan IHSG secara signifikan," ujar Dessy kemarin di Jakarta.

Menurutnya isu geopolitik AS-Iran ini berdampak signifikan memengaruhi pergerakan harga emas dan minyak. Pertama untuk komoditas emas, investor cenderung melihat emas sebagai komoditas safe haven.

Artinya semakin meningkat tensi politik, semakin naik harga emas yang dilihat sebagai pegangan investasi long term bagi investor. Pada penutupan market sore kemarin, harga emas naik +0,48% ke level USD 1.581 per troy oz. "Ini juga sejalan dengan kenaikan harga minyak Brent sebesar +0,51% ke level USD 68,8 per barel," ujarnya.

Kemudian menurutnya untuk komoditas minyak, Arab Saudi dan UAE berkontribusi sebesar 17% terhadap produksi minyak dunia atau setara dengan 16 juta barel per hari. Adapun lokasi Iran yang berada di Selat Hormuz sebagai jalur aktivitas bisnis juga berpotensi berdampak terhadap supply-demand oil di Timur Tengah.

"Meski demikian kami melihat apabila respons Iran tidak terlalu agresif terhadap AS, kenaikan harga emas yang cukup signifikan ini akan kembali ke harga awal pada level sekitar 1.450 hingga 1.500," ujarnya.

Handy Yunianto mengingatkan para investor pasar modal untuk menyiapkan diri menghadapi volatilitas pasar modal yang akan meningkat pada 2020. Karena itu, menurutnya, dampak yang paling signifikan adalah kenaikan harga minyak.

“Tentu ini akan menekan, khususnya negara pengimpor minyak dan bagi kepemilikan asing di pasar modalnya tinggi. Tapi kuncinya apakah konflik ini akan menjalar lebih luas menuju perang atau tidak. Tidak ada yang tahu," ujar Handy.

Kepada pemerintah dia berhadap agar bisa menjaga gejolak yang bersumber eksternal tersebut dengan memperkuat makroekonomi domestik dan meningkatkan partisipasi investor lokal. Menurut dia langkah tersebut penting demi menahan volatilitas tinggi. "Meskipun terkesan buruk, ini momentum bagus untuk trader di market. Bagi para trader volatility create opportunity," ujarnya.

Adapun Head of Equity Research BNI Sekuritas Kim Kwie Sjamsudin juga mengaku masih melakukan penilaian dan sulit menentukan arah konflik Timur Tengah. Namun selama harga minyaknya tidak melesat, indeks juga tidak akan tertekan terlalu dalam. "Ini sulit untuk mengalkulasi karena kita tidak tahu berapa lama konfliknya akan berlangsung," ujar Kim.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto meyakini pemerintah akan melakukan langkah-langkah antisipasi atas berbagai soal yang mungkin muncul akibat meningkatnya tensi ketegangan antara AS dan Iran.
"Pesiden Jokowi kami yakini akan melakukan antisipasi terhadap hal tersebut," ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kepada wartawan di Kantor DPP PDIP, Jakarta, kemarin.

Kemarin Iran mulai meluncurkan serangan ke basis pertahanan pasukan AS di Irak sebagai balasan atas serangan drone terhadap komandam militer Iran Jenderal Qassem Soleimani. Pemimpin Iran Ayatollah Khamenei mengungkapkan, serangan tersebut sebagai "tamparan di wajah" bagi AS.

"Kita menyerukan berakhirnya kehadiran AS di Timur Tengah," ungkap Khamenei. Presiden Iran Hassan Rouhani juga menegaskan serangan tersebut sebagai jawaban atas pembunuhan Jenderal Soleimani. "Kita akan mengusir seluruh pasukan AS keluar dari kawasan," ujarnya.

Militer AS mengakui Teheran telah menembakkan puluhan misil balistik dari teritorial Iran terhadap dua pangkalan militer AS di Irak. “Serangan terhadap pangkalan militer terjadi pukul 1.30 Rabu pagi,” demikian keterangan militer AS seperti dilansir Reuters. Pasukan Garda Revolusi Islam Irak membenarkan serangan tersebut dan menyebut sebanyak 15 misil balistik ditembakkan ke dua pangkalan militer AS.

Pihak AS seperti disampaikan seorang pejabat AS kepada CNN masih menyangkal adanya korban jiwa dalam serangan tersebut. Presiden AS Donald Trump juga menyebut kondisi baik-baik saja seperti disampaikan Trump melalui akun Twitter-nya. Jerman, Denmark, Norwegia, dan Polandia juga menyatakan tidak ada satu pun pasukan mereka yang terluka.

Pentagon tidak memberikan laporan korban atas serangan tersebut. “Kita sedang menilai dampak kerusakan,” ujar juru bicara Pentagon, Jonathan Hoffman. Dia mengungkapkan, target serangan adalah pangkalan udara Al-Asad dan Erbil, Irak. “Setelah mengevaluasi situasi dan respons kita, kita akan mengambil langkah seperlunya untuk melindungi dan membela personel AS, mitra, dan aliansi di kawasan,” ujarnya.

Namun stasiun televisi milik Pemerintah Iran melaporkan jumlah korban militer AS yang tewas dalam serangan tersebut mencapai 80 orang dan 200 orang terluka. Tapi laporan tersebut tidak mencantumkan sumber. Sputnik News melaporkan serangan juga merusak helikopter dan peralatan militer AS. Apalagi Iran dengan bangganya menyatakan tidak ada misil yang berhasil ditangkis rudal AS.

Presiden AS Donald Trump yang pernah berkunjung ke pangkalan udara Al-Asad pada Desember 2018 telah mendapatkan laporan tentang serangan tersebut. “Presiden Trump terus memonitor situasi terakhir,” ungkap juru bicara Gedung Putih Stephanie Grisham. Dia mengungkapkan, Gedung Putih mengetahui serangan terhadap fasilitas di Irak. “Presiden Trump terus berkonsultasi dengan tim keamanan nasional,” papar Grisham.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menteri Pertahanan AS Mark Esper tiba di Gedung Putih menyusul serangan tersebut. Belum jelas bagaimana mereka merespons serangan tersebut. “AS seharusnya mengantisipasi serangan balasan dari Iran,” ujar Esper.

“Saya pikir kita seharusnya memperkirakan bahwa mereka akan melakukan serangan balasan,” jelasnya. Dia mengungkapkan, serangan balasan bisa saja dilakukan kelompok pendukung Iran di luar negara itu. Segala kemungkinan, kata dia, juga sudah disiapkan. “Kita akan merespons sesuai dengan apa yang mereka lakukan,” ujarnya.

Serangan balasan Iran sebelumnya sudah disampaikan setelah tewasnya Jenderal Qassem Soleimani. Seorang pejabat senior Iran kemarin menyatakan Teheran mempertimbangkan 13 skenario untuk membalas dendam atas kematian Soleimani.

“Sebanyak 13 skenario balas dendam itu sedang dipertimbangkan,” kata Ali Shamkhani, pejabat Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, kepada kantor berita Fars. Dia mengungkapkan, opsi paling lemah akan menjadi mimpi buruk dalam sejarah orang AS.

Iran memiliki garis pantai yang menjadi rute perdagangan minyak di Teluk, termasuk Selat Hormuz. Para analis menyatakan Iran seperti akan menghindari konflik konvensional dengan AS, tetapi cenderung melakukan serangan asimetris seperti sabotase atau tindakan militer lain.

Merespons ancaman tersebut, AS sebelumnya juga berjanji akan menyerang 52 target Iran, termasuk situs warisan budaya, jika Iran melakukan serangan terhadap fasilitas dan warga AS.Berbagai ancaman dan peringatan serangan balasan memicu perhatian dunia internasional.

Dunia khawatir konflik Timur Tengah akan memanas. Kongres AS juga diminta menghentikan langkah Presiden AS Donald Trump untuk berperang dengan Iran. Sementara itu publik AS semakin kritis terhadap penanganan krisis Iran yang dilakukan Presiden Trump.

Jajak pendapat yang dilaksanakan Reuters/Ipsos menyebutkan 53% orang dewasa di AS tidak sepakat dengan penanganan krisis Iran yang dilakukan Trump. Itu meningkat 9% bila dibandingkan dengan jajak pendapat yang sama ketika ditanya tentang penanganan krisis Timur Tengah oleh Trump pada Desember lalu.

Jumlah responden dewasa yang menyatakan tidak sepakat dengan tindakan Trump terhadap Iran mencapai 39% atau naik 10% bila dibandingkan dengan jajak pendapat pada Desember lalu. Sekitar sembilan dari 10 pendukung 9 dan 5 dari 10 yang independen tidak sepakat dengan tindakan Trump di Iran, sedangkan di kubu Republik, hanya 1 dari 10 orang yang tidak suka dengan Trump.

Survei Reuters/Ipsos tersebut dilaksanakan secara online di AS. Sebanyak 1.108 orang dewasa disurvei pada 6–7 Januari dan 1.005 orang dewasa pada 3–6 Januari. Interval kredibilitas survei tersebut mencapai 4%.

Zona Larangan Terbang Sudah Diumumkan

Badan Penerbangan Federal (FAA) AS telah mengumumkan larangan terbang bagi maskapai di atas Teluk, Irak, dan Iran setelah adanya serangan misil. Perairan di antara Iran dan Arab Saudi juga menjadi zona larangan terbang.

“FAA mengeluarkan peringatan ke maskapai (NOTAMS) untuk membatasi penerbangan yang melarang penerbangan sipil AS beroperasi di wilayah udara Irak, Iran, perairan Teluk Persia, dan Teluk Oman,” demikian keterangan FAA.

Singapore Airlines melaporkan setelah serangan ke pangkalan AS di Irak, mereka mengalihkan semua penerbangan menjauh dari wilayah udara Iran. Badan penerbangan global International Air Transport Association (IATA) menyatakan tim penerbangan internasional mengaktifkan koordinasi dan komunikasi antara maskapai dan negara yang bersitegang di Timur Tengah.

Maskapai dan badan penerbangan PBB juga mulai memonitor wilayah udara di atas Iran dan Irak. “Negara yang berkonflik juga berkewajiban mengomunikasikan potensi risiko terhadap penerbangan sipil,” demikian keterangan IATA.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4423 seconds (0.1#10.140)