Hanura Ungkap Indikasi Mafia Migas dalam Pengadaan LNG
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPP Partai Hanura Inas N Zubir mengungkapkan, kontrak impor LNG yang dilakukan oleh Pertamina dengan anak perusahaan Cherniere Energy Inc. (USA) yakni, Corpus Christi Liquefaction LLC, tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Dia menuturkan, kontrak pembelian LNG dari Corpus Christi Liquefaction LLC itu diteken Pertamina pada 26 Oktober 2015 dan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo di Washington DC, Amerika Serikat (AS). Dalam kontrak tersebut diketahui, Pertamina akan menerima LNG dari Cherniere pada awal tahun 2019, dengan durasi kontrak selama 20 tahun hingga 2039.
"Tapi, faktanya barang tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia. LNG dari AS tersebut pada saat itu digembar-gemborkan sangat murah, tapi mengapa justru tidak masuk ke Indonesia? Padahal kalau memang murah dan ekonomis, segera saja didatangkan ke Indonesia untuk mengatasi tingginya harga gas domestik saat ini," ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (9/1/2019).
Inas melanjutkan, harga LNG dari Cherniere tersebut ternyata justri tidak ekonomis jika didistribusikan ke dalam negeri. Pasalnya adalah formula harga yang digunakan dalam kontrak dengan Cherniere tersebut adalah HH x 1,15, belum termasuk biaya likuifaksi sebesar USD3,50/MMBTU, dimana HH adalah publikasi harga gas Henry Hub yang merupakan basis harga gas yang digunakakan di Amerika.
Dengan formula itu, papar Inas, jika publikasi harga gas Henry Hub untuk loading di bulan Januari 2019 adalah USD3,11/MMBTU, maka harga FOB LNG berdasarkan kontrak tersebut adalah USD7/MMBTU. Selain itu masih ada biaya tambahan seperti freight, insurance, regasifikasi dan tol fee untuk transmisi dan distribusi, sehingga harga di pengguna akhir bisa lebih dari USD11-12/MMBTU.
Selain itu, terbatasnya fasilitas penampungan LNG yang ada di Indonesia atau yang dimiliki oleh Pertamina menurutnya juga tidak diperhitungkan. Karena itu, kata Inas, patut diduga ada campur tangan mafia migas pada saat itu. "Apalagi impor LNG dari Amerika tersebut di-handling oleh PPT Tokyo, yakni perusahaan Jepang yang 50% sahamnya dimiliki oleh Pertamina. Kabarnya bisnis LNG tersebut bukannya untung, tapi malahan rugi," tambahnya. Oleh karena itu, Inas meminta agar pemerintah segera turun tangan menyelidiki persoalan impor LNG dari AS tersebut.
Dia menuturkan, kontrak pembelian LNG dari Corpus Christi Liquefaction LLC itu diteken Pertamina pada 26 Oktober 2015 dan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo di Washington DC, Amerika Serikat (AS). Dalam kontrak tersebut diketahui, Pertamina akan menerima LNG dari Cherniere pada awal tahun 2019, dengan durasi kontrak selama 20 tahun hingga 2039.
"Tapi, faktanya barang tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia. LNG dari AS tersebut pada saat itu digembar-gemborkan sangat murah, tapi mengapa justru tidak masuk ke Indonesia? Padahal kalau memang murah dan ekonomis, segera saja didatangkan ke Indonesia untuk mengatasi tingginya harga gas domestik saat ini," ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (9/1/2019).
Inas melanjutkan, harga LNG dari Cherniere tersebut ternyata justri tidak ekonomis jika didistribusikan ke dalam negeri. Pasalnya adalah formula harga yang digunakan dalam kontrak dengan Cherniere tersebut adalah HH x 1,15, belum termasuk biaya likuifaksi sebesar USD3,50/MMBTU, dimana HH adalah publikasi harga gas Henry Hub yang merupakan basis harga gas yang digunakakan di Amerika.
Dengan formula itu, papar Inas, jika publikasi harga gas Henry Hub untuk loading di bulan Januari 2019 adalah USD3,11/MMBTU, maka harga FOB LNG berdasarkan kontrak tersebut adalah USD7/MMBTU. Selain itu masih ada biaya tambahan seperti freight, insurance, regasifikasi dan tol fee untuk transmisi dan distribusi, sehingga harga di pengguna akhir bisa lebih dari USD11-12/MMBTU.
Selain itu, terbatasnya fasilitas penampungan LNG yang ada di Indonesia atau yang dimiliki oleh Pertamina menurutnya juga tidak diperhitungkan. Karena itu, kata Inas, patut diduga ada campur tangan mafia migas pada saat itu. "Apalagi impor LNG dari Amerika tersebut di-handling oleh PPT Tokyo, yakni perusahaan Jepang yang 50% sahamnya dimiliki oleh Pertamina. Kabarnya bisnis LNG tersebut bukannya untung, tapi malahan rugi," tambahnya. Oleh karena itu, Inas meminta agar pemerintah segera turun tangan menyelidiki persoalan impor LNG dari AS tersebut.
(fjo)