Genjot Ekspor, Kemenperin Petakan 15 Sektor Industri Potensial
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sudah memetakan 15 sektor yang akan mendapat prioritas pengembangan untuk digenjot kinerja ekspornya.
Ke-15 sektor potensial tersebut, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri tekstil dan produk tekstil.
Selanjutnya, industri alas kaki, industri kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian, industri elektronika konsumsi, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, upaya ini dilakukan untuk membenahi masalah struktural ekonomi saat ini, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
"Kita ketahui, kontribusi sektor industri manufaktur hingga saat ini masih mendominasi terhadap capaian nilai ekspor nasional. Jadi, ini merupakan salah satu poin bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus pada pengembangan sektor industri manufaktur," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Desember 2019, ekspor produk industri pengolahan mampu menembus hingga USD126,57 miliar atau menyumbang sebesar 75,5% terhadap total ekspor Indonesia yang menyentuh di angka USD167,53 miliar sepanjang tahun lalu.
"Kita sudah punya peta jalan Making Indonesia 4.0, yang menjadi strategi kesiapan kita memasuki era industri 4.0. Melalui roadmap ini, kita juga akan meningkatkan 10 persen dari kontribusi ekspor netto terhadap PDB," tuturnya.
Agus menambahkan, kementeriannya juga fokus untuk turut menarik investasi bagi sektor industri yang menghasilkan produk substitusi impor dan tetap menjalankan kebijakan hilirisasi industri. "Untuk mengatasi defisit neraca perdagangan sektor industri, juga dapat melalui substitusi impor dan hilirisasi," jelasnya.
Langkah-langkah strategis yang dijalankan, di antaranya implementasi mandatori B-30. Hal ini dapat memberikan penghematan devisa sebesar USD4,8 miliar sekaligus menjamin ketersediaan bahan bakan minyak jenis biosolar.
Langkah lainnya, pengembangan litbang industri farmasi dengan tujuan menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional dan mengurangi impor bahan baku obat.
Selanjutnya, melakukan penguatan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) guna mengurangi impor produk petrokimia dan menghemat devisa negara hingga USD1 miliar per tahun. Berikutnya, pengembangan gasifikasi batubara di Peranap dan Tanjung Enim untuk mengurangi ketergantungan impor polypropylene dan LPG.
Kemudian, pengembangan hortikultura berorientasi ekspor untuk membantu tumbuhnya kapasitas industri konsentrat di dalam negeri dan mendorong kinerja ekspor. Selain itu, pengoperasin Green Refinery di Plaju untuk menghasilkan diesel nabati (green diesel) dan mengurangi ketergantungan impor BBM.
“Kami juga fokus mendorong pengembangan industri berbasis stainless steel di Morowali dalam rangka meningkatkan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri,” imbuhnya.
Bahkan, dilakukan pula pengembangan investasi industri petrokimia di Cilegon dan Merak, Banten untuk dapat mengurangi ketergantungan impor produk petrokimia serta akselerasi pengembangan kawasan industri petrokimia di Teluk Bintuni guna mengurangi ketergantungan impor produk petrokimia.
Ke-15 sektor potensial tersebut, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri tekstil dan produk tekstil.
Selanjutnya, industri alas kaki, industri kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian, industri elektronika konsumsi, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, upaya ini dilakukan untuk membenahi masalah struktural ekonomi saat ini, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.
"Kita ketahui, kontribusi sektor industri manufaktur hingga saat ini masih mendominasi terhadap capaian nilai ekspor nasional. Jadi, ini merupakan salah satu poin bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus pada pengembangan sektor industri manufaktur," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Desember 2019, ekspor produk industri pengolahan mampu menembus hingga USD126,57 miliar atau menyumbang sebesar 75,5% terhadap total ekspor Indonesia yang menyentuh di angka USD167,53 miliar sepanjang tahun lalu.
"Kita sudah punya peta jalan Making Indonesia 4.0, yang menjadi strategi kesiapan kita memasuki era industri 4.0. Melalui roadmap ini, kita juga akan meningkatkan 10 persen dari kontribusi ekspor netto terhadap PDB," tuturnya.
Agus menambahkan, kementeriannya juga fokus untuk turut menarik investasi bagi sektor industri yang menghasilkan produk substitusi impor dan tetap menjalankan kebijakan hilirisasi industri. "Untuk mengatasi defisit neraca perdagangan sektor industri, juga dapat melalui substitusi impor dan hilirisasi," jelasnya.
Langkah-langkah strategis yang dijalankan, di antaranya implementasi mandatori B-30. Hal ini dapat memberikan penghematan devisa sebesar USD4,8 miliar sekaligus menjamin ketersediaan bahan bakan minyak jenis biosolar.
Langkah lainnya, pengembangan litbang industri farmasi dengan tujuan menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional dan mengurangi impor bahan baku obat.
Selanjutnya, melakukan penguatan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) guna mengurangi impor produk petrokimia dan menghemat devisa negara hingga USD1 miliar per tahun. Berikutnya, pengembangan gasifikasi batubara di Peranap dan Tanjung Enim untuk mengurangi ketergantungan impor polypropylene dan LPG.
Kemudian, pengembangan hortikultura berorientasi ekspor untuk membantu tumbuhnya kapasitas industri konsentrat di dalam negeri dan mendorong kinerja ekspor. Selain itu, pengoperasin Green Refinery di Plaju untuk menghasilkan diesel nabati (green diesel) dan mengurangi ketergantungan impor BBM.
“Kami juga fokus mendorong pengembangan industri berbasis stainless steel di Morowali dalam rangka meningkatkan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri,” imbuhnya.
Bahkan, dilakukan pula pengembangan investasi industri petrokimia di Cilegon dan Merak, Banten untuk dapat mengurangi ketergantungan impor produk petrokimia serta akselerasi pengembangan kawasan industri petrokimia di Teluk Bintuni guna mengurangi ketergantungan impor produk petrokimia.
(ind)