Kasus Investasi Ilegal MeMiles, Memikat Namun Menjerat
A
A
A
JAKARTA - Lagi-lagi kasus kejahatan bermodus investasi fiktif terjadi. Dalam beberapa pekan terakhir ini, aksi penipuan investasi yang dilakukan PT Kam And Kam melalui aplikasinya bernama “MeMiles” tengah hangat dibicarakan. Aplikasi ini dinyatakan ilegal karena belum mengantongi izin dari pihak berwenang untuk menjalankan operasinya.
Begitu pun MeMiles diduga menerapkan skema Ponzi, sebuah cara investasi yang mengandalkan aliran investasi baru. Di Indonesia, skema bisnis ini sudah dilarang melalui Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7/2014 tentang Perdagangan.
Faktanya, kasus kejahatan investasi ilegal bukan hal baru lagi terjadi di Indonesia. Seperti termuat dalam siaran pers OJK pada Maret 2019, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan kegiatan 47 entitas yang di duga merupakan investasi ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat.
Menilik sejumlah kasus kejahatan investasi yang pernah terjadi, semua modus yang dilakukan pelaku kejahatan ini nyaris serupa. Mereka selalu menawarkan iming-iming super fantastis kepada calon korbannya. Dalam kasus MeMiles misalnya, pelaku menjanjikan calon anggota baru dengan sejumlah bonus memikat mulai dari smartphone mahal sampai dengan mobil mewah.
Cukup dengan menyetor uang ratusan ribu, anggota bisa mendapatkan smartphone senilai jutaan rupiah atau dengan hanya membayar nilai belasan juta, mobil senilai ratusan juta sudah bisa menjadi milik pribadi. Siapa yang tidak tergiur dengan hadiah spektakuler semacam itu.
“Masyarakat download aplikasinya, kemudian top up sejumlah uang untuk dapat bonus-bonus tertentu, lalu klik-klik iklan dalam jangka waktu tertentu untuk dapat bonus itu,” ungkap Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing saat menjelaskan sistem operasional MeMiles, Sabtu (11/1) lalu.
Otak dari kasus investasi MeMiles, Kamal Tarachanyang ternyata bukan pemain baru dalam bisnis investasi akal-akalan ini, juga menerapkan pola sama dalam kasus sebelumnya. Modus operandi dilakukan Tarachan pada kasus investasi tisu tahun 2015 turut menawarkan reward bombastis bagi para nasabah nya, yaitu uang sebesar Rp200.000 per hari.
Meski sulit diterima dengan akal sehat, nyatanya banyak masyarakat masih percaya dengan rayuan maut pelaku investasi ilegal. Dalam kasus MeMiles misalnya, hanya dalam waktu 8 bulan ada 264.000 orang yang termakan bujuk rayu pelaku. MeMiles bahkan mampu membuat korbannya menggelontorkan dana secara kontinu sehingga aplikasi jasa periklanan ini sukses mengantongi omzet hingga Rp750 miliar.
Kasus investasi ala MeMiles juga menunjukkan bahwa korban investasi ilegal tidak “tebang pilih”. Para korban bisa berasal dari semua lapisan mulai dari masyarakat kelas bawah hingga atas juga mulai dari pendidikan rendah sampai dengan pendidikan tinggi. Korban juga tak pandang profesi, mulai dari masyarakat biasa, public figure, bahkan pejabat negarapun ikut terjerat. “Ada yang berhalangan hadir karena sakit. Jadi rencananya akan datang pekan depan. Ada juga yang masih ada kesibukan lain,” kata Dirreskrimsus Polda Jatim Kombes Pol Gidion Arief Setyawan saat menginformasikan adanya keterlibatan sejumlah public figure dalam kasus ini.
Banyak pihak kemudian mempertanyakan, mengapa korban bisa begitu dengan mudahnya jatuh dalam perangkap kejahatan semacam ini. Jika melihat sistem operasional yang diterapkan, semua pelaku selalu memulai misinya dengan terlebih dahulu menghimpun kepercayaan calon anggotanya agar mau bergabung.
Pada kasus MeMiles, misi itu dicapai dengan mempertontonkan berbagai bukti kesuksesan yang sudah diterima anggota lain. Pelaku juga memperdayai calon korbannya dengan melibatkan para public figure yang notabene adalah orang-orang berpengaruh sehingga mereka pun tertarik ikut bergabung sebagai anggota.
Para anggota yang sudah bergabung kemudian dipancing untuk terus merekrut anggota baru agar bisa mendapat keuntungan ganda. Tergiur dengan hasil yang lebih besar, anggota lama kemudian berburu anggota baru dengan mengajak orang lain, khususnya orang yang berada dilingkaran terdekatnya, seperti keluarga, teman, serta rekan kerja. Kepercayaan terhadap “orang dekat” pada akhirnya sukses menyeret orang-orang tersebut masuk dalam lingkaran itu.
Pola ini akan berlangsung terus menerus selama keinginan anggota untuk mengeruk keuntungan tetap ada. Hal inilah menjadi harapan pelaku, karena dalam skema Ponzi, jika aliran investasi baru terhenti, maka alur bisnis pun akan ikut berantakan.
Hans Von Hertig, pionir viktimologi mengategorisasikan jenis korban kejahatan berdasarkan alasan korban mengalami viktimisasi. Diantara 11 jenis korban yang dipaparkannya, orang yang memiliki sifat serakah adalah salah satunya (Wells and Rankin, 1995). Orang-orang yang selalu tergiur untuk mengeruk keuntungan menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan karena sifat tidak pernah puas dan cenderung mencari jalan pintas demi memuluskan tujuan.
Cara-cara investasi ilegal semacam ini tentu akan sangat memikat bagi mereka, karena mereka bisa terus mendapatkan bonus tanpa perlu mengeluarkan banyak upaya. Selain sifat serakah, faktor pengetahuan turut berkontribusi dalam menyebabkan seseorang mengalami viktimisasi. Dalam kontekstipologi korban, Benjamin Mendelshon (1956) memperkenalkan konsep Innocent Victim. Istilah ini diartikan sebagai seseorang yang tidak berkontribusi pada viktimisasi karena memang ia tidak menyadarinya.
Kondisi itu salah satunya bisa dipicu dari kurangnya pengetahuan individu. Dalam konteks kejahatan investasi, individu rentan menjadi korban karena tidak memiliki pemahaman memadai atas risiko yang mungkin muncul dari program investasi yang diikutinya. Faktanya, tingkat literasi masyarakat seputar investasi keuangan belum mencapai hasil optimal.
Seperti dilansir dari Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) yang dimuat dalam situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2019 indeks literasi ke uangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%. Meski angka itu meningkat dibandingkan hasil survei tahun 2016, dengan masih maraknya korban investasi bodong saat ini, maka upaya memaksimalkan kesadaran masyarakat terkait literasi keuangan tetap diperlukan.
Motif ekonomi juga masuk jajaran faktor yang bisa membuat seseorang terjerat kejahatan ini. Beberapa orang kerap menjalani cara hidup berisiko demi memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya adalah menjalani kebiasaan menanamkan uang pada praktek investasi ilegal. Meski mengetahui risiko yang dihadapinya, tapi orang sulit mengubah kebiasaan tersebut. Hal itu karena keterbatasan yang dimilikinya, seperti kurangnya keahlian, pendidikan, serta modal.
Sementara di sisi lain, dia juga terdesak dengan kebutuhan ekonomi. Sebagaimana dijelaskan dalam teori pilihan struktural (Miethe& Meier, 1990) bahwa kemampuan seseorang sangat menentukan risiko viktimisasi yang dihadapinya. Ketidak mampuan mereka untuk mengubah keadaan dibatasi oleh apa yang disebut Hindelang dkk(1978) sebagai “kendala struktural”. Kendala struktural inilah yang membuat seseorang ter -paksa memilih cara-cara tertentu yang disesuaikan dengankondisinya. (Wiendy Hapsari/Head Of Research & Development SINDO Media)
Begitu pun MeMiles diduga menerapkan skema Ponzi, sebuah cara investasi yang mengandalkan aliran investasi baru. Di Indonesia, skema bisnis ini sudah dilarang melalui Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7/2014 tentang Perdagangan.
Faktanya, kasus kejahatan investasi ilegal bukan hal baru lagi terjadi di Indonesia. Seperti termuat dalam siaran pers OJK pada Maret 2019, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan kegiatan 47 entitas yang di duga merupakan investasi ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat.
Menilik sejumlah kasus kejahatan investasi yang pernah terjadi, semua modus yang dilakukan pelaku kejahatan ini nyaris serupa. Mereka selalu menawarkan iming-iming super fantastis kepada calon korbannya. Dalam kasus MeMiles misalnya, pelaku menjanjikan calon anggota baru dengan sejumlah bonus memikat mulai dari smartphone mahal sampai dengan mobil mewah.
Cukup dengan menyetor uang ratusan ribu, anggota bisa mendapatkan smartphone senilai jutaan rupiah atau dengan hanya membayar nilai belasan juta, mobil senilai ratusan juta sudah bisa menjadi milik pribadi. Siapa yang tidak tergiur dengan hadiah spektakuler semacam itu.
“Masyarakat download aplikasinya, kemudian top up sejumlah uang untuk dapat bonus-bonus tertentu, lalu klik-klik iklan dalam jangka waktu tertentu untuk dapat bonus itu,” ungkap Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing saat menjelaskan sistem operasional MeMiles, Sabtu (11/1) lalu.
Otak dari kasus investasi MeMiles, Kamal Tarachanyang ternyata bukan pemain baru dalam bisnis investasi akal-akalan ini, juga menerapkan pola sama dalam kasus sebelumnya. Modus operandi dilakukan Tarachan pada kasus investasi tisu tahun 2015 turut menawarkan reward bombastis bagi para nasabah nya, yaitu uang sebesar Rp200.000 per hari.
Meski sulit diterima dengan akal sehat, nyatanya banyak masyarakat masih percaya dengan rayuan maut pelaku investasi ilegal. Dalam kasus MeMiles misalnya, hanya dalam waktu 8 bulan ada 264.000 orang yang termakan bujuk rayu pelaku. MeMiles bahkan mampu membuat korbannya menggelontorkan dana secara kontinu sehingga aplikasi jasa periklanan ini sukses mengantongi omzet hingga Rp750 miliar.
Kasus investasi ala MeMiles juga menunjukkan bahwa korban investasi ilegal tidak “tebang pilih”. Para korban bisa berasal dari semua lapisan mulai dari masyarakat kelas bawah hingga atas juga mulai dari pendidikan rendah sampai dengan pendidikan tinggi. Korban juga tak pandang profesi, mulai dari masyarakat biasa, public figure, bahkan pejabat negarapun ikut terjerat. “Ada yang berhalangan hadir karena sakit. Jadi rencananya akan datang pekan depan. Ada juga yang masih ada kesibukan lain,” kata Dirreskrimsus Polda Jatim Kombes Pol Gidion Arief Setyawan saat menginformasikan adanya keterlibatan sejumlah public figure dalam kasus ini.
Banyak pihak kemudian mempertanyakan, mengapa korban bisa begitu dengan mudahnya jatuh dalam perangkap kejahatan semacam ini. Jika melihat sistem operasional yang diterapkan, semua pelaku selalu memulai misinya dengan terlebih dahulu menghimpun kepercayaan calon anggotanya agar mau bergabung.
Pada kasus MeMiles, misi itu dicapai dengan mempertontonkan berbagai bukti kesuksesan yang sudah diterima anggota lain. Pelaku juga memperdayai calon korbannya dengan melibatkan para public figure yang notabene adalah orang-orang berpengaruh sehingga mereka pun tertarik ikut bergabung sebagai anggota.
Para anggota yang sudah bergabung kemudian dipancing untuk terus merekrut anggota baru agar bisa mendapat keuntungan ganda. Tergiur dengan hasil yang lebih besar, anggota lama kemudian berburu anggota baru dengan mengajak orang lain, khususnya orang yang berada dilingkaran terdekatnya, seperti keluarga, teman, serta rekan kerja. Kepercayaan terhadap “orang dekat” pada akhirnya sukses menyeret orang-orang tersebut masuk dalam lingkaran itu.
Pola ini akan berlangsung terus menerus selama keinginan anggota untuk mengeruk keuntungan tetap ada. Hal inilah menjadi harapan pelaku, karena dalam skema Ponzi, jika aliran investasi baru terhenti, maka alur bisnis pun akan ikut berantakan.
Hans Von Hertig, pionir viktimologi mengategorisasikan jenis korban kejahatan berdasarkan alasan korban mengalami viktimisasi. Diantara 11 jenis korban yang dipaparkannya, orang yang memiliki sifat serakah adalah salah satunya (Wells and Rankin, 1995). Orang-orang yang selalu tergiur untuk mengeruk keuntungan menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan karena sifat tidak pernah puas dan cenderung mencari jalan pintas demi memuluskan tujuan.
Cara-cara investasi ilegal semacam ini tentu akan sangat memikat bagi mereka, karena mereka bisa terus mendapatkan bonus tanpa perlu mengeluarkan banyak upaya. Selain sifat serakah, faktor pengetahuan turut berkontribusi dalam menyebabkan seseorang mengalami viktimisasi. Dalam kontekstipologi korban, Benjamin Mendelshon (1956) memperkenalkan konsep Innocent Victim. Istilah ini diartikan sebagai seseorang yang tidak berkontribusi pada viktimisasi karena memang ia tidak menyadarinya.
Kondisi itu salah satunya bisa dipicu dari kurangnya pengetahuan individu. Dalam konteks kejahatan investasi, individu rentan menjadi korban karena tidak memiliki pemahaman memadai atas risiko yang mungkin muncul dari program investasi yang diikutinya. Faktanya, tingkat literasi masyarakat seputar investasi keuangan belum mencapai hasil optimal.
Seperti dilansir dari Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) yang dimuat dalam situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2019 indeks literasi ke uangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%. Meski angka itu meningkat dibandingkan hasil survei tahun 2016, dengan masih maraknya korban investasi bodong saat ini, maka upaya memaksimalkan kesadaran masyarakat terkait literasi keuangan tetap diperlukan.
Motif ekonomi juga masuk jajaran faktor yang bisa membuat seseorang terjerat kejahatan ini. Beberapa orang kerap menjalani cara hidup berisiko demi memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya adalah menjalani kebiasaan menanamkan uang pada praktek investasi ilegal. Meski mengetahui risiko yang dihadapinya, tapi orang sulit mengubah kebiasaan tersebut. Hal itu karena keterbatasan yang dimilikinya, seperti kurangnya keahlian, pendidikan, serta modal.
Sementara di sisi lain, dia juga terdesak dengan kebutuhan ekonomi. Sebagaimana dijelaskan dalam teori pilihan struktural (Miethe& Meier, 1990) bahwa kemampuan seseorang sangat menentukan risiko viktimisasi yang dihadapinya. Ketidak mampuan mereka untuk mengubah keadaan dibatasi oleh apa yang disebut Hindelang dkk(1978) sebagai “kendala struktural”. Kendala struktural inilah yang membuat seseorang ter -paksa memilih cara-cara tertentu yang disesuaikan dengankondisinya. (Wiendy Hapsari/Head Of Research & Development SINDO Media)
(ysw)