Kadin-APBI Dorong Penerapan Bahan Bakar Berbasis Karet Alam
A
A
A
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) mendorong penerapan teknologi bahan bakar nabati untuk mendukung kesinambungan industri berbasis karet alam.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan, dalam industri karet, hasil utama yang diambil dari tanaman karet adalah latex. Sementara biji karet masih belum dimanfaatkan dan dibuang sebagai limbah.
"Padahal biji karet dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati yang potensial untuk dikembangkan secara teknis maupun keekonomiannya," ujarnya di Menara Kadin Indonesia, Senin (20/1/2020).
Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia dengan total produksi pada tahun 2019 mencapai 3,55 juta ton/tahun, dan luas seluruh area perkebunan karet di Indonesia mencapai 3,4 juta hektare.
Produksi karet nasional (lateks) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cukup besar, yakni di atas 3,3 juta ton. Sedangkan untuk harga karet dalam 5 tahun terakhir terus mengalami tekanan pada level yang dinilai tidak remunerative bagi produsen. Selain itu, daya serap karet (lateks) untuk industri ban hanya menyerap 70% dari konsumsi karet alam nasional.
Menurut Johnny, saat ini harus dicarikan solusi karena petani mengalami kesulitan penjualan dan kesulitan meningkatkan harga karet. "Harus ada upaya lain agar petani tidak tambah rugi. Untuk meningkatkan ketahanan para petani bisa melalui pemanfaatan karet dan biji karet sebagai bahan baku bahan bakar nabati selain kelapa sawit," jelasnya.
Upaya pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar nabati untuk mengurangi konsumsi BBM yang berasal dari minyak bumi diawali dengan Peraturan Presiden RI No 5 tahun 2006 yang menargetkan pemanfaatan BBN hingga 5% dari total energi primer pada tahun 2025. Kemudian, ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya mandatori penggunaan bahan bakar nabati melalui Peraturan Menteri ESDM No 32 tahun 2008. Namun, pemanfaatan bahan bakar nabati semenjak dikeluarkannya aturan tersebut belum pernah mencapai target.
Johnny menambahkan, untuk mewujudkan keberlangsungan industri berbasis karet, maka diperlukan dukungan dan kerjasama dari pemerintah, yakni terkait konsistensi terhadap kebijakan hilirisasi hasil perkebunan (karet) menjadi produk yang bernilai tambah.
"Perlu adanya kebijakan nasional yang mampu secara masif dan cepat, diantaranya pengembangan bahan bakar nabati berbasis karet dan pemanfaatannya di dalam negeri sebagai bahan bauran energi yang berdaya saing," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan, dalam industri karet, hasil utama yang diambil dari tanaman karet adalah latex. Sementara biji karet masih belum dimanfaatkan dan dibuang sebagai limbah.
"Padahal biji karet dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar nabati yang potensial untuk dikembangkan secara teknis maupun keekonomiannya," ujarnya di Menara Kadin Indonesia, Senin (20/1/2020).
Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia dengan total produksi pada tahun 2019 mencapai 3,55 juta ton/tahun, dan luas seluruh area perkebunan karet di Indonesia mencapai 3,4 juta hektare.
Produksi karet nasional (lateks) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cukup besar, yakni di atas 3,3 juta ton. Sedangkan untuk harga karet dalam 5 tahun terakhir terus mengalami tekanan pada level yang dinilai tidak remunerative bagi produsen. Selain itu, daya serap karet (lateks) untuk industri ban hanya menyerap 70% dari konsumsi karet alam nasional.
Menurut Johnny, saat ini harus dicarikan solusi karena petani mengalami kesulitan penjualan dan kesulitan meningkatkan harga karet. "Harus ada upaya lain agar petani tidak tambah rugi. Untuk meningkatkan ketahanan para petani bisa melalui pemanfaatan karet dan biji karet sebagai bahan baku bahan bakar nabati selain kelapa sawit," jelasnya.
Upaya pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar nabati untuk mengurangi konsumsi BBM yang berasal dari minyak bumi diawali dengan Peraturan Presiden RI No 5 tahun 2006 yang menargetkan pemanfaatan BBN hingga 5% dari total energi primer pada tahun 2025. Kemudian, ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya mandatori penggunaan bahan bakar nabati melalui Peraturan Menteri ESDM No 32 tahun 2008. Namun, pemanfaatan bahan bakar nabati semenjak dikeluarkannya aturan tersebut belum pernah mencapai target.
Johnny menambahkan, untuk mewujudkan keberlangsungan industri berbasis karet, maka diperlukan dukungan dan kerjasama dari pemerintah, yakni terkait konsistensi terhadap kebijakan hilirisasi hasil perkebunan (karet) menjadi produk yang bernilai tambah.
"Perlu adanya kebijakan nasional yang mampu secara masif dan cepat, diantaranya pengembangan bahan bakar nabati berbasis karet dan pemanfaatannya di dalam negeri sebagai bahan bauran energi yang berdaya saing," tuturnya.
(fjo)