Moratorium Tak Bertaji, Lahan Sawit Terus Tumbuh Tiap Tahun
A
A
A
AWALNYA, moratorium (penghentian sementara) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit dibuat untuk menjaga hutan agar tak semena-mena menjelma perkebunan sawit. Moratorium juga bertujuan untuk mengevaluasi dan menata kembali izin-izin perkebunan sawit dan meningkatkan produktivitas.
Regulasi itu tertuang dalam Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018. Lewat Inpres itu, pemerintah menegaskan penghentian sementara selama masa tiga tahun.
Selain itu, regulasi ini menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunda izin baru perkebunan sawit, baik permohonan baru, permohonan telah mendapatkan persetujuan prinsip, maupun permohonan yang diajukan, tetapi belum melengkapi persyaratan. Menteri juga bertugas dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi izin perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan.
Namun, moratorium sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada perkebunan sawit. Pasalnya, luas area sawit terus meningkat setiap tahunnya.
Ambil contoh, berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian, luas dan pertumbuhan lahan sawit Indonesia periode 1970–2017 rata-rata tumbuh 10,31% per tahun. Jadi, total luas lahan sawit di Indonesia pada 2017 mencapai 12,3 juta hektare.
Sementara itu, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman dan Perkebunan, Kementerian Pertanian pada 2018, total area kelapa sawit Indonesia seluas 14,3 juta hektare. Luas perkebunan rakyat mencapai 5,8 juta hektare atau 41% dari total area. Data Sawit Watch pada 2019 menyebutkan, terdapat 22,2 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia pada 2019 dan 30% dimiliki petani. Nah, terbukti setelah moratorium sawit sekalipun, luas perkebunan sawit tetap tumbuh.
Sawit Watch juga menyebutkan, dari 25 provinsi dan 247 kabupaten/kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respons terhadap Inpres ini. Rinciannya, 19 provinsi dan 239 kabupaten/kota.
Ada beberapa kendala dalam mengimplementasikan inpres, seperti belum ada alokasi anggaran pemerintah daerah untuk operasional implementasi inpres dan tidak ada panduan lebih teknis yang dapat diadopsi pemerintah daerah untuk mengimplementasikan inpres. Juga, tidak ada akses keterbukaan bagi masyarakat sipil untuk mendapatkan perkembangan implementasi Inpres tim kerja nasional.
Memang pada level nasional, pemerintah sudah membentuk Tim Kerja Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit. Tim ini bertugas memverifikasi data pelepasan hutan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan, peta izin usaha perkebunan (IUP) atau surat daftar usaha perkebunan (STDUP), izin lokasi, dan hak guna usaha (HGU). “Enam provinsi dan delapan pemerintah kabupaten mempunyai komitmen mengimplementasikan inpres ini,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, dalam diskusi di Jakarta belum lama ini.
Terpisah, Yosi Amelia, dari Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, implementasi inpres masih lamban. Banyak kasus belum selesai, seperti silang sengkarut perkebunan sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Padahal, Tesso Nilo merupakan habitat penting satwa dilindungi terancam punah, seperti harimau Sumatera dan gajah Sumatera.
Praktik perambahan, katanya, mengubah wajah dari Taman Nasional Tesso Nilo. Dengan luasan awal 81.793 hektare, perambahan mencapai 54%, setara 44.544 hektare.
“Soal perkebunan sawit di kawasan hutan Riau juga belum terselesaikan. Kejahatan hutan di Riau masih terus berlangsung hingga kini. Satu per satu hutan Riau terus tergerus,” ungkapnya.
Implementasi inpres ini, sebutnya, belum optimal dilakukan pemerintah. Kerjanya masih bersifat persiapan dan koordinasi. “Hasil pemantauan kami menunjukkan, 19 provinsi dan 239 kabupaten kota belum memberikan respons,” tegasnya.
Pemerintah pusat, katanya, perlu menyiapkan anggaran khusus bagi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan inpres ini di tingkat daerah. Tim kerja nasional perlu menyusun dokumen peta jalan dan panduan yang jadi rujukan pemerintah daerah. “Hingga bisa mempermudah kerja, agar lebih terarah,” sebutnya lagi.
Untuk wilayah-wilayah yang belum memiliki perkebunan sawit atau perkebunan sawit tak luas, katanya, perlu jadi prioritas. Dia menyarankan, pemerintah membangun sebuah mekanisme atau platform komunikasi antara tim kerja nasional dan pemerintah daerah. “Ini perlu agar koordinasi kerja antara keduanya lebih terkomunikasikan dengan baik dan sistematis,” tuturnya. (B. Lilia Nova)
Regulasi itu tertuang dalam Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018. Lewat Inpres itu, pemerintah menegaskan penghentian sementara selama masa tiga tahun.
Selain itu, regulasi ini menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunda izin baru perkebunan sawit, baik permohonan baru, permohonan telah mendapatkan persetujuan prinsip, maupun permohonan yang diajukan, tetapi belum melengkapi persyaratan. Menteri juga bertugas dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi izin perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan.
Namun, moratorium sepertinya tidak terlalu berpengaruh pada perkebunan sawit. Pasalnya, luas area sawit terus meningkat setiap tahunnya.
Ambil contoh, berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian, luas dan pertumbuhan lahan sawit Indonesia periode 1970–2017 rata-rata tumbuh 10,31% per tahun. Jadi, total luas lahan sawit di Indonesia pada 2017 mencapai 12,3 juta hektare.
Sementara itu, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Tanaman dan Perkebunan, Kementerian Pertanian pada 2018, total area kelapa sawit Indonesia seluas 14,3 juta hektare. Luas perkebunan rakyat mencapai 5,8 juta hektare atau 41% dari total area. Data Sawit Watch pada 2019 menyebutkan, terdapat 22,2 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia pada 2019 dan 30% dimiliki petani. Nah, terbukti setelah moratorium sawit sekalipun, luas perkebunan sawit tetap tumbuh.
Sawit Watch juga menyebutkan, dari 25 provinsi dan 247 kabupaten/kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respons terhadap Inpres ini. Rinciannya, 19 provinsi dan 239 kabupaten/kota.
Ada beberapa kendala dalam mengimplementasikan inpres, seperti belum ada alokasi anggaran pemerintah daerah untuk operasional implementasi inpres dan tidak ada panduan lebih teknis yang dapat diadopsi pemerintah daerah untuk mengimplementasikan inpres. Juga, tidak ada akses keterbukaan bagi masyarakat sipil untuk mendapatkan perkembangan implementasi Inpres tim kerja nasional.
Memang pada level nasional, pemerintah sudah membentuk Tim Kerja Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit. Tim ini bertugas memverifikasi data pelepasan hutan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan, peta izin usaha perkebunan (IUP) atau surat daftar usaha perkebunan (STDUP), izin lokasi, dan hak guna usaha (HGU). “Enam provinsi dan delapan pemerintah kabupaten mempunyai komitmen mengimplementasikan inpres ini,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, dalam diskusi di Jakarta belum lama ini.
Terpisah, Yosi Amelia, dari Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, implementasi inpres masih lamban. Banyak kasus belum selesai, seperti silang sengkarut perkebunan sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Padahal, Tesso Nilo merupakan habitat penting satwa dilindungi terancam punah, seperti harimau Sumatera dan gajah Sumatera.
Praktik perambahan, katanya, mengubah wajah dari Taman Nasional Tesso Nilo. Dengan luasan awal 81.793 hektare, perambahan mencapai 54%, setara 44.544 hektare.
“Soal perkebunan sawit di kawasan hutan Riau juga belum terselesaikan. Kejahatan hutan di Riau masih terus berlangsung hingga kini. Satu per satu hutan Riau terus tergerus,” ungkapnya.
Implementasi inpres ini, sebutnya, belum optimal dilakukan pemerintah. Kerjanya masih bersifat persiapan dan koordinasi. “Hasil pemantauan kami menunjukkan, 19 provinsi dan 239 kabupaten kota belum memberikan respons,” tegasnya.
Pemerintah pusat, katanya, perlu menyiapkan anggaran khusus bagi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan inpres ini di tingkat daerah. Tim kerja nasional perlu menyusun dokumen peta jalan dan panduan yang jadi rujukan pemerintah daerah. “Hingga bisa mempermudah kerja, agar lebih terarah,” sebutnya lagi.
Untuk wilayah-wilayah yang belum memiliki perkebunan sawit atau perkebunan sawit tak luas, katanya, perlu jadi prioritas. Dia menyarankan, pemerintah membangun sebuah mekanisme atau platform komunikasi antara tim kerja nasional dan pemerintah daerah. “Ini perlu agar koordinasi kerja antara keduanya lebih terkomunikasikan dengan baik dan sistematis,” tuturnya. (B. Lilia Nova)
(ysw)