DPR Dorong Percepatan Pengalihan Asabri dan Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong percepatan pengalihan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dan Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Badan Anggaran DPR, M. Said Abdullah, mengatakan selain menyelamatkan kedua lembaga tersebut, percepatan pengalihan juga akan memperkuat keberadaan BPJS Ketenagakerjaan, baik dari sisi aset maupun sumber daya lainnya.
"Yang paling penting saya kira perlu ada audit terhadap kondisi BPJS Ketenagakerjaan terlebih dahulu, apakah dalam kondisi sehat atau tidak? Audit ini juga sebagai trigger apakah percepatan pengalihan ini dilakukan sebelum tahun 2029 atau melihat kondisi masing-masing lembaga," tuturnya di Jakarta, Sabtu (25/1/2020).
Anggota Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan ini mengatakan, proses peleburan ini harus dilakukan secara hati-hati dan transparan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan ketika kebijakan ini diimplementasikan.
"Tentu, kita tidak ingin kasus Jiwasraya ini merembet ke Taspen dan Asabri yang juga mengelola dana nasabah khususnya pensiunan yang jumlahnya triliunan rupiah," tegasnya.
Said menjelaskan, proses peleburan Asabri dan Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan sudah masuk dalam program peta jalan (roadmap) pemerintah. Rencananya, pengalihan ini tuntas pada 2029. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 65, Ayat (1) dan (2), Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011.
Namun, politikus PDIP ini mengingatkan bahwa waktu sembilan tahun lagi untuk merealisasikan pengalihan terlalu lama. Karena itu, proses peleburannya harus dipercepat. Apalagi, Indonesia mempunyai succes story saat peleburan Jamsostek dan PT Askes.
Pada 1 Januari 2014 silam, Jamsostek dilebur menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan PT Askes kemudian menjadi BPJS Kesehatan. Hebatnya lagi, peleburan kedua lembaga tersebut tanpa melalui proses likuidasi terlebih dahulu, tetapi langsung masuk dari statusnya Perseroan Terbatas (PT) ke Wali Amanah.
"Saya kira, pengalaman berharga ini bisa menjadi model peleburan lembaga kepada lembaga baru yang sudah masuk kedalam road map, terutama yang sudah diamanahkan oleh konstitusi," ucapnya.
Karena itu, wacana pengalihan ini terus digulirkan, agar mendapat perhatian dan kajian dari publik. Hasil kajian ini harus menjadi pedoman, mengingat proses pengalihan secara terburu-buru memiliki risiko yang besar.
"Perlu ada kajian yang mendalam dan komprehensif terhadap wacana ini. Jika ini bisa terus digulirkan, tentu akan semakin baik bagi masa depan Taspen dan Asabri," imbuhnya.
Said meminta pemerintah belajar dari kasus Asuransi Jiwasraya. Kasus ini mengkonfirmasukan ada kesalahan dalam pengelolaan beberapa Asuransi pelat merah selama ini. Padahal berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), perusahaan Asuransi Jiwasraya pernah mencatatkan laba pada 2006. Namun, ternyata laba tersebut hanyalah laba semu alias laporan keuangan dimanipulasi dari rugi menjadi untung.
Hingga akhir 2019, manajemen PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengakui tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai Rp12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019.
Kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya tersebut, kemudian memaksa Kementerian BUMN mengambil langkah membuat holding asuransi guna menyelamatkan perusahaan milik negara tersebut. Diperkirakan, proses holding dapat mulai dilakukan pada pertengahan Februari 2020.
Namun Said mengaku tidak menginginkan jika setiap permasalahan yang dihadapi oleh BUMN manapun, penyelesaiannya melalui mekanisme holding. Kebijakan ini tidak baik bagi pengembangan BUMN kedepannya. "Apalagi, BUMN mungkin sudah memiliki blue print dalam pengembangan BUMN, diantaranya BUMN Asuransi," jelasnya.
Ketua Badan Anggaran DPR, M. Said Abdullah, mengatakan selain menyelamatkan kedua lembaga tersebut, percepatan pengalihan juga akan memperkuat keberadaan BPJS Ketenagakerjaan, baik dari sisi aset maupun sumber daya lainnya.
"Yang paling penting saya kira perlu ada audit terhadap kondisi BPJS Ketenagakerjaan terlebih dahulu, apakah dalam kondisi sehat atau tidak? Audit ini juga sebagai trigger apakah percepatan pengalihan ini dilakukan sebelum tahun 2029 atau melihat kondisi masing-masing lembaga," tuturnya di Jakarta, Sabtu (25/1/2020).
Anggota Komisi XI yang membidangi keuangan dan perbankan ini mengatakan, proses peleburan ini harus dilakukan secara hati-hati dan transparan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan ketika kebijakan ini diimplementasikan.
"Tentu, kita tidak ingin kasus Jiwasraya ini merembet ke Taspen dan Asabri yang juga mengelola dana nasabah khususnya pensiunan yang jumlahnya triliunan rupiah," tegasnya.
Said menjelaskan, proses peleburan Asabri dan Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan sudah masuk dalam program peta jalan (roadmap) pemerintah. Rencananya, pengalihan ini tuntas pada 2029. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 65, Ayat (1) dan (2), Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011.
Namun, politikus PDIP ini mengingatkan bahwa waktu sembilan tahun lagi untuk merealisasikan pengalihan terlalu lama. Karena itu, proses peleburannya harus dipercepat. Apalagi, Indonesia mempunyai succes story saat peleburan Jamsostek dan PT Askes.
Pada 1 Januari 2014 silam, Jamsostek dilebur menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan PT Askes kemudian menjadi BPJS Kesehatan. Hebatnya lagi, peleburan kedua lembaga tersebut tanpa melalui proses likuidasi terlebih dahulu, tetapi langsung masuk dari statusnya Perseroan Terbatas (PT) ke Wali Amanah.
"Saya kira, pengalaman berharga ini bisa menjadi model peleburan lembaga kepada lembaga baru yang sudah masuk kedalam road map, terutama yang sudah diamanahkan oleh konstitusi," ucapnya.
Karena itu, wacana pengalihan ini terus digulirkan, agar mendapat perhatian dan kajian dari publik. Hasil kajian ini harus menjadi pedoman, mengingat proses pengalihan secara terburu-buru memiliki risiko yang besar.
"Perlu ada kajian yang mendalam dan komprehensif terhadap wacana ini. Jika ini bisa terus digulirkan, tentu akan semakin baik bagi masa depan Taspen dan Asabri," imbuhnya.
Said meminta pemerintah belajar dari kasus Asuransi Jiwasraya. Kasus ini mengkonfirmasukan ada kesalahan dalam pengelolaan beberapa Asuransi pelat merah selama ini. Padahal berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), perusahaan Asuransi Jiwasraya pernah mencatatkan laba pada 2006. Namun, ternyata laba tersebut hanyalah laba semu alias laporan keuangan dimanipulasi dari rugi menjadi untung.
Hingga akhir 2019, manajemen PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengakui tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai Rp12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019.
Kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya tersebut, kemudian memaksa Kementerian BUMN mengambil langkah membuat holding asuransi guna menyelamatkan perusahaan milik negara tersebut. Diperkirakan, proses holding dapat mulai dilakukan pada pertengahan Februari 2020.
Namun Said mengaku tidak menginginkan jika setiap permasalahan yang dihadapi oleh BUMN manapun, penyelesaiannya melalui mekanisme holding. Kebijakan ini tidak baik bagi pengembangan BUMN kedepannya. "Apalagi, BUMN mungkin sudah memiliki blue print dalam pengembangan BUMN, diantaranya BUMN Asuransi," jelasnya.
(ven)