Membuka Lapak-Lapak Investasi, Daerah Tunggu Realisasi
A
A
A
PADA 11–13 Januari 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Uni Emirat Arab (UEA). Kunjungan selama empat hari tersebut menghasilkan komitmen kerja sama senilai US$22,89 miliar atau Rp313,04 triliun (US$1= Rp13.676). Ada 16 kesepakatan yang dibuat. Sebagiannya berupa kerja sama di bidang investasi.
Lima di antaranya merupakan kerja sama antara kedua pemerintah yang meliputi bidang keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme. Selain itu, Jokowi juga menyaksikan penandatangan sebelas kerja sama business to business (B to B) antara pelaku usaha kedua negara di bidang energi, migas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset.
Kerja sama B to B tersebut antara lain power purchase agreement (PPA) antara konsorsium PT PJB Investasi (PT PJBi dan Masdar) serta PT PLN (Persero) dalam floating solar PV PP 145 MWAC di Danau Cirata, Jawa Barat, senilai US$129 juta atau Rp1,76 triliun (selengkapnya lihat infografik). “UEA akan tetap menjadi salah satu mitra penting kerja sama ekonomi Indonesia, terutama di bidang investasi,” kata Jokowi di Abu Dhabi sebelum kembali ke Tanah Air.
Oleh-oleh kunjungan Jokowi dari UEA tersebut sangat penting bagi Indonesia yang mencanangkan pertumbuhan di atas 5% pada 2020. Dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan ekonomi tumbuh sebesar 5,3%. Masuknya investasi dalam jumlah besar diharapkan mampu mempercepat tercapainya target pertumbuhan tersebut.
Sayangnya, ekonomi global tahun ini juga masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Tak mengherankan banyak analis memprediksi target pertumbuhan nasional tersebut agak sulit dicapai. Salah satunya karena situasi politik global yang belum menentu, khususnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok yang masih berlangsung. (Baca: Dapatkan Investasi Rp270 Triliun, Jokowi Ajak Swasta dan Kadin ke UEA)
“Biasanya, setelah pemilu ada kenaikan investasi. Namun, lantaran masalah perang dagang dan geopolitik, sepertinya akan sulit untuk kita alami di tahun depan,” jelas Berly Martawardaya, Direktur Program Indef, dalam acara bertajuk Proyeksi Ekonomi Indonesia 2020 di Jakarta, akhir tahun lalu.
Beruntung, situasi politik dalam negeri berbeda. Setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 selesai, kondisi politik nasional 2020 relatif lebih stabil. Sedikit banyak hal ini membantu ”pemulihan” ekonomi nasional. Oleh karena itu, para ekonom sepakat bahwa pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tinggal bergantung pada investasi.
Efek Berantai
Dalam teori ekonomi makro, investasi berperan sebagai salah satu komponen dari pendapatan nasional alias produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP). Lantaran hubungan tersebut, naiknya nilai investasi naik juga mendongkrak PDB. Pun sebaliknya, ketika investasi turun, PDB pun ikut turun.
Oleh karena itu, pembentukan investasi merupakan salah satu faktor penting yang memainkan peran vital terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Ketika pengusaha, individu, atau pemerintah melakukan investasi, akan ada sejumlah modal yang ditanam. Ada sejumlah pembelian barang modal (yang tidak dikonsumsi), tetapi digunakan untuk produksi sehingga bisa memacu produktivitas untuk menghasilkan barang dan jasa.
Nah, Indonesia kini sedang dalam posisi sangat membutuhkan investasi tersebut. Tidak lain tujuannya demi memompa pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Beragam proyek di daerah dari investasi yang masuk secara tidak langsung juga diharapkan menjawab persoalan disparitas pembangunan yang masih dirasakan. Dengan kata lain, daerah bisa merasakan secara langsung multiplier effect alias efek berantai ekonomi dari investasi yang ditanam.
Bagi daerah, masuknya investasi bukan saja berpeluang menambah pundi-pundi pendapatan asli. Lebih dari itu, investasi bisa berdampak pada penyerapan tenaga kerja lebih banyak dan merangsang hidupnya sektor mikro. Ini pun ditegaskan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Dia meminta daerah untuk tidak mempersulit masuknya investasi. Sebaliknya, dia ingin pemerintah daerah segera menerbitkan izin pendirian industri, apapun bidangnya dengan “melonggar”.
Keinginan tersebut tidak berlebihan. Dalam lima tahun terakhir, meskipun tidak bisa disebut melorot, realisasi investasi asing relatif stagnan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa selama kurun 2014–2019, tidak pergerakan nilai investasi yang berarti. Kisarannya berada di angka US$28 miliar. Memang sempat menyentuh US$32 miliar pada 2017, tetapi realisasi investasi anjlok ke US$21 miliar pada 2019.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Farah Ratnadewi Indriani mengungkapkan investasi asing yang masuk masih didominasi negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Meski demikian, banyak juga komitmen yang didapatkan dari investor lain seperti UEA (Timur Tengah) dan Jerman (Eropa). (Baca juga: Percepatan Investasi Investor UEA Sepakat Tanam Modal di Indonesia)
Hingga kini, BKPM mencatat masih ada lebih dari Rp500 triliun komitmen proyek investasi yang tertunda alias belum terealisasi. Sementara, yang sudah terealisasi sekitar Rp200 triliun meliputi bidang industri petrokimia dan pembangkit listrik. “Ke depan, pemerintah menargetkan bisa menggaet investor untuk kilang minyak, industri petrokimia, dan smelter,” ujar Farah kepada SINDO Weekly, Jumat pekan lalu.
Pemerintah, lanjut Farah, tidak hanya berhenti pada komitmen. Kesepakatan yang telah ditandatangani terus dimonitor sehingga terealisasi. Dia mencontohkan komitmen investasi Hyundai Motor dari Korea Selatan senilai US$1,5 miliar yang dihasilkan dari kunjungan Presiden Jokowi pada November 2019. Rencananya, investasi tersebut akan terealisasi mulai Maret 2020, yaitu melalui pendirian pabrik mobil listrik.
“Awal tahun ini juga telah terselesaikan kerja sama pembangunan kilang minyak dan suplai bahan baku petrokimia antara Pertamina-Chandra Asri-Adnoc saat kunjungan kerja Presiden Indonesia ke UEA,” katanya.
Pemerintah daerah pun sejatinya telah bersiap menyambut kedatangan investor. Perlahan tetapi pasti, perubahan pola pikir pemerintah daerah mulai tampak. Hambatan-hambatan investasi sedikit demi sedikit dikikis demi memuluskan masuknya investasi. Namun, bukan berarti hambatan sudah hilang sama sekali.
“Kalau soal perizinan kami bisa cepat, di manapun bisa. Masalahnya sekarang ini adalah data. Kelemahan kita itu sebenarnya masalah data untuk disampaikan ke publik,” ujar Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji.
Daya tarik Kalimantan Barat tentu saja kekayaan alam perut buminya. Namun demikian, menurut Sutarmidji, akan lebih baik bila data yang disajikan kepada masyarakat luas bukan hanya berkaitan dengan kondisi daratan, tetapi juga potensi ekonominya. Oleh karena itu, dia berharap badan geospasial lebih cepat mengumpulkan dan menyampaikan data-data lebih komprehensif.
Dengan begitu, pemerintah daerah pun bisa lebih mudah menjual potensi ekonomi yang dimiliki daerah tersebut. “Harusnya, geospasial tidak hanya menampilkan kondisi daratan (permukaan) saja, tapi juga potensi apa yang ada di daratan itu sehingga investor bisa tahu,” katanya.
Di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi global sebagai dampak ketidakpastian politik, ekonomi Indonesia dipandang masih berpeluang untuk berkibar. Potensi sumber daya ekonomi yang besar sangat memikat investor agar mau menanamkan modal. Kuncinya kini terletak pada keseriusan pemerintah untuk meyakinkan calon-calon investor soal kenyamanan dan keamanan usaha mereka, termasuk dalam isu-isu korupsi. (Muhibuddin Kamali/Ade Nyong La Tayeb/Efi Susiyanti)
Lima di antaranya merupakan kerja sama antara kedua pemerintah yang meliputi bidang keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme. Selain itu, Jokowi juga menyaksikan penandatangan sebelas kerja sama business to business (B to B) antara pelaku usaha kedua negara di bidang energi, migas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset.
Kerja sama B to B tersebut antara lain power purchase agreement (PPA) antara konsorsium PT PJB Investasi (PT PJBi dan Masdar) serta PT PLN (Persero) dalam floating solar PV PP 145 MWAC di Danau Cirata, Jawa Barat, senilai US$129 juta atau Rp1,76 triliun (selengkapnya lihat infografik). “UEA akan tetap menjadi salah satu mitra penting kerja sama ekonomi Indonesia, terutama di bidang investasi,” kata Jokowi di Abu Dhabi sebelum kembali ke Tanah Air.
Oleh-oleh kunjungan Jokowi dari UEA tersebut sangat penting bagi Indonesia yang mencanangkan pertumbuhan di atas 5% pada 2020. Dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan ekonomi tumbuh sebesar 5,3%. Masuknya investasi dalam jumlah besar diharapkan mampu mempercepat tercapainya target pertumbuhan tersebut.
Sayangnya, ekonomi global tahun ini juga masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Tak mengherankan banyak analis memprediksi target pertumbuhan nasional tersebut agak sulit dicapai. Salah satunya karena situasi politik global yang belum menentu, khususnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok yang masih berlangsung. (Baca: Dapatkan Investasi Rp270 Triliun, Jokowi Ajak Swasta dan Kadin ke UEA)
“Biasanya, setelah pemilu ada kenaikan investasi. Namun, lantaran masalah perang dagang dan geopolitik, sepertinya akan sulit untuk kita alami di tahun depan,” jelas Berly Martawardaya, Direktur Program Indef, dalam acara bertajuk Proyeksi Ekonomi Indonesia 2020 di Jakarta, akhir tahun lalu.
Beruntung, situasi politik dalam negeri berbeda. Setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 selesai, kondisi politik nasional 2020 relatif lebih stabil. Sedikit banyak hal ini membantu ”pemulihan” ekonomi nasional. Oleh karena itu, para ekonom sepakat bahwa pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tinggal bergantung pada investasi.
Efek Berantai
Dalam teori ekonomi makro, investasi berperan sebagai salah satu komponen dari pendapatan nasional alias produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP). Lantaran hubungan tersebut, naiknya nilai investasi naik juga mendongkrak PDB. Pun sebaliknya, ketika investasi turun, PDB pun ikut turun.
Oleh karena itu, pembentukan investasi merupakan salah satu faktor penting yang memainkan peran vital terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara. Ketika pengusaha, individu, atau pemerintah melakukan investasi, akan ada sejumlah modal yang ditanam. Ada sejumlah pembelian barang modal (yang tidak dikonsumsi), tetapi digunakan untuk produksi sehingga bisa memacu produktivitas untuk menghasilkan barang dan jasa.
Nah, Indonesia kini sedang dalam posisi sangat membutuhkan investasi tersebut. Tidak lain tujuannya demi memompa pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Beragam proyek di daerah dari investasi yang masuk secara tidak langsung juga diharapkan menjawab persoalan disparitas pembangunan yang masih dirasakan. Dengan kata lain, daerah bisa merasakan secara langsung multiplier effect alias efek berantai ekonomi dari investasi yang ditanam.
Bagi daerah, masuknya investasi bukan saja berpeluang menambah pundi-pundi pendapatan asli. Lebih dari itu, investasi bisa berdampak pada penyerapan tenaga kerja lebih banyak dan merangsang hidupnya sektor mikro. Ini pun ditegaskan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Dia meminta daerah untuk tidak mempersulit masuknya investasi. Sebaliknya, dia ingin pemerintah daerah segera menerbitkan izin pendirian industri, apapun bidangnya dengan “melonggar”.
Keinginan tersebut tidak berlebihan. Dalam lima tahun terakhir, meskipun tidak bisa disebut melorot, realisasi investasi asing relatif stagnan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa selama kurun 2014–2019, tidak pergerakan nilai investasi yang berarti. Kisarannya berada di angka US$28 miliar. Memang sempat menyentuh US$32 miliar pada 2017, tetapi realisasi investasi anjlok ke US$21 miliar pada 2019.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Farah Ratnadewi Indriani mengungkapkan investasi asing yang masuk masih didominasi negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Meski demikian, banyak juga komitmen yang didapatkan dari investor lain seperti UEA (Timur Tengah) dan Jerman (Eropa). (Baca juga: Percepatan Investasi Investor UEA Sepakat Tanam Modal di Indonesia)
Hingga kini, BKPM mencatat masih ada lebih dari Rp500 triliun komitmen proyek investasi yang tertunda alias belum terealisasi. Sementara, yang sudah terealisasi sekitar Rp200 triliun meliputi bidang industri petrokimia dan pembangkit listrik. “Ke depan, pemerintah menargetkan bisa menggaet investor untuk kilang minyak, industri petrokimia, dan smelter,” ujar Farah kepada SINDO Weekly, Jumat pekan lalu.
Pemerintah, lanjut Farah, tidak hanya berhenti pada komitmen. Kesepakatan yang telah ditandatangani terus dimonitor sehingga terealisasi. Dia mencontohkan komitmen investasi Hyundai Motor dari Korea Selatan senilai US$1,5 miliar yang dihasilkan dari kunjungan Presiden Jokowi pada November 2019. Rencananya, investasi tersebut akan terealisasi mulai Maret 2020, yaitu melalui pendirian pabrik mobil listrik.
“Awal tahun ini juga telah terselesaikan kerja sama pembangunan kilang minyak dan suplai bahan baku petrokimia antara Pertamina-Chandra Asri-Adnoc saat kunjungan kerja Presiden Indonesia ke UEA,” katanya.
Pemerintah daerah pun sejatinya telah bersiap menyambut kedatangan investor. Perlahan tetapi pasti, perubahan pola pikir pemerintah daerah mulai tampak. Hambatan-hambatan investasi sedikit demi sedikit dikikis demi memuluskan masuknya investasi. Namun, bukan berarti hambatan sudah hilang sama sekali.
“Kalau soal perizinan kami bisa cepat, di manapun bisa. Masalahnya sekarang ini adalah data. Kelemahan kita itu sebenarnya masalah data untuk disampaikan ke publik,” ujar Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji.
Daya tarik Kalimantan Barat tentu saja kekayaan alam perut buminya. Namun demikian, menurut Sutarmidji, akan lebih baik bila data yang disajikan kepada masyarakat luas bukan hanya berkaitan dengan kondisi daratan, tetapi juga potensi ekonominya. Oleh karena itu, dia berharap badan geospasial lebih cepat mengumpulkan dan menyampaikan data-data lebih komprehensif.
Dengan begitu, pemerintah daerah pun bisa lebih mudah menjual potensi ekonomi yang dimiliki daerah tersebut. “Harusnya, geospasial tidak hanya menampilkan kondisi daratan (permukaan) saja, tapi juga potensi apa yang ada di daratan itu sehingga investor bisa tahu,” katanya.
Di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi global sebagai dampak ketidakpastian politik, ekonomi Indonesia dipandang masih berpeluang untuk berkibar. Potensi sumber daya ekonomi yang besar sangat memikat investor agar mau menanamkan modal. Kuncinya kini terletak pada keseriusan pemerintah untuk meyakinkan calon-calon investor soal kenyamanan dan keamanan usaha mereka, termasuk dalam isu-isu korupsi. (Muhibuddin Kamali/Ade Nyong La Tayeb/Efi Susiyanti)
(ysw)